tirto.id - Soleh Surya Komarudin kaget sekaligus geli ketika seorang petugas Pengadilan Negeri Bandung menyambangi rumahnya, awal Desember 2016. Si petugas mengetuk pintu, disusul beberapa warga Dago Elos lain. Kata si petugas, Soleh menjadi salah satu dari tiga ratusan warga yang digugat oleh keluarga Muller karena menduduki tanah yang diklaim milik keluarga si orang Jerman tersebut.
Soleh menganggap gugatan itu lucu dan salah sasaran. Ia masuk ke rumah, mengambil sertifikat tanah.
“Tanah saya ini bersertifikat, gimana ceritanya jadi punya keluarga Muller?”
Di tengah perbincangan antara Soleh dan petugas PN Bandung, puluhan warga yang marah karena gugatan serupa, sudah berkerumun di rumah Soleh. Si petugas lantas dibawa ke balai rukun warga untuk mengantisipasi amarah warga.
“Dari mana cerita keluarga Muller kok klaim-klaim begitu?” ujar Soleh.
Keluarga Muller yang menggugat warga Dago Elos adalah Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller. Ketiganya keturunan dari George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda. Ketiganya kini sudah menjadi warga negara Indonesia. Mereka mengklaim bahwa tanah seluas 6,3 hektare di Dago Elos sudah diwariskan kepada mereka.
Tanah itu diklaim berasal dari Eigendom Verponding atau hak milik dalam produk hukum pertanahan pada masa kolonial Belanda. Tanah seluas 6,3 ha itu terbagi dalam tiga Verponding: nomor 3740 seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 seluas 44.780 meter persegi. Sertifikat tanah itu dikeluarkan oleh Kerajaan Belanda pada 1934.
Semula di atas tanah itu berdiri pabrik N.V. Cement Tegel Fabriek dan Materialen Handel Simoengan atau PT Tegel Semen Handeel Simoengan, tambang pasir, dan kebun-kebun kecil. Kini kondisinya sudah berbeda jauh. Di atas lahan itu kini ada Kantor Pos, Terminal Dago, dan didominasi oleh rumah-rumah warga rukun tetangga 01 dan 02 dari RW 02 Dago Elos. Meski demikian, tidak seluruh warga RW 02 menempati lahan 6,3 ha yang diklaim keluarga Muller.
Rumah Soleh adalah satu dari 40 rumah lain yang tidak masuk ke dalam tanah sengketa tersebut. Soleh berkata tanah yang ditempatinya adalah tanah adat yang kini sudah sah milik masing-masing warga.
“Tanah saya itu tidak masuk yang disebut punya Muller. Kalau mau lihat peta, itu yang masuk tanah yang diklaim Muller ada di atas situ, dari tempat Pak RW Asep,” kata Soleh sembari menunjuk ke arah utara.
Sisi utara rumah Soleh adalah pemukiman padat penduduk, masih dalam lingkup RW 02. Jalannya sempit, hanya cukup dilalui dua motor. Mobil tak bisa masuk sampai ke depan rumah, hanya sampai di belakang Terminal Dago atau terpaksa parkir di lapangan depan Balai RW. Batas sisi utara lahan yang diklaim oleh Mulller berbatasan dengan apartemen The MAJ yang baru selesai dibangun.
Salah satu rumah di sisi utara adalah yang ditinggali Epul yang diwariskan dari orangtuanya. Rumah ini di dekat Balai RW, termasuk ke dalam 6,3 ha bekas Eigendom Verponding. Sejak lahir, Epul dan keluarganya sudah tinggal di sana. Pria yang kini berumur 41 tahun ini masih ingat ketika tanah di Dago Elos masih dirimbuni kebun dan Terminal Dago baru dibangun.
Meski masuk dalam area yang jadi sengketa, keluarga Epul tak mendapat gugatan dari keluarga Muller, berkebalikan dengan Soleh.
Keganjilan tuntutan bukan hanya itu. Sejumlah warga juga mendapatkan lebih dari satu surat gugatan dengan nama berbeda; ada pula nama warga yang sudah meninggal.
Meski ada kejanggalan dalam tuntutan, pada 24 Agustus 2017, Pengadilan Negeri Bandung memenangkan gugatan keluarga Muller yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Alvin Wijaya Kesuma.
PN Bandung memutuskan bahwa tanah itu sah milik Muller meski hanya berbekal bukti surat kepemilikan dari Kerajaan Belanda. Putusan pengadilan memerintahkan agar 331 warga tergugat, yang sudah tinggal turun-temurun, meninggalkan lahan di Dago Elos tersebut. Warga juga dibebani biaya perkara Rp238 juta.
Dago Elos Milik Siapa?
Meski sudah ada surat keputusan, warga bersikukuh bertahan. Warga memegang bukti yang menguatkan pendirian mereka, yang menunjukkan versi lain dari status tanah yang kini ditempati mereka.
Pertama adalah versi keluarga Muller. Berdasarkan putusan persidangan, tanah di sana sah milik keluarga Muller. Tanah itu didapat George Hendrik Muller, kakek tiga penggugat, dari hasil peralihan pemilik tanah sebelumnya, yakni PT Tegel Semen Handeel Simoengan pada 1936. Namun, dalam sertifikat kepemilikan tanah dari Kerajaan Belanda yang dibawa ke pengadilan, tertulis bahwa tanah itu milik PT Tegel Semen Handeel Simoengan.
Reporter Tirto mencoba mendapatkan penjelasan dari kuasa hukum keluarga Muller, Alvin Wijaya Kesuma. Sayangnya, Alvin enggan memberikan keterangan terkait sengketa dan kepemilikan tanah itu.
“Mohon maaf, ahli waris tidak mengizinkan saya sebagai penerima kuasa untuk memberikan keterangan dan informasi apa pun kepada siapa pun,” tulisnya lewat pesan singkat, awal Desember lalu.
Versi lain datang dari Ketua RW 02, Asep Ma’mun. Asep adalah satu satu sesepuh Kampung Dago Elos dan penggarap lahan pertama di sana. Ia berkata memiliki dokumen lengkap terkait status tanah yang kini ditempatinya.
“Tidak pernah ada pelimpahan. Ini tanah milik pabrik Simoengan. Sekarang jadi tanah yang dikuasai negara. Bukan punya Muller,” kata Asep kepada reporter Tirto, awal Desember.
Menurut cerita Asep, pada 2015, Badan Pertanahan Nasional Kota Bandung pernah menyurati Rahmul, yang mengklaim sebagai ahli waris Goerge Hendrik Muller. Intinya, tanah itu tak pernah tercatat sebagai milik George Hendrik Muller.
Usai kemerdekaan, tanah bekas hak Eigendom Verponding itu tidak dimiliki oleh siapa pun. Sampai akhirnya pada 1974, seorang warga bernama Nini Karim dan beberapa orang lain yang menempati sebagian lahan bekas milik pabrik Simoengan melayangkan peningkatan hak. Mereka mengajukan lahan seluas 2,2 hektare sebagai Hak Guna Bangunan dan disetujui oleh pemerintah.
“Lahan itu kini sudah bersertifikat SHM dan sah milik warga. Jadi sekarang ada empat hektare yang belum bersertifikat. Pertanyaannya, kenapa yang dua hektare sekian itu bisa disertifikatkan? Kalau memang itu adalah hak waris Muller, pasti tidak bisa jadi SHM. Patokan saya itu saja dan BPN pun sudah bilang, itu bukan tanah milik Muller,” ujar Asep.
Perusahaan di Balik Keluarga Muller
Gugatan keluarga Muller yang oleh warga terkesan mendadak memunculkan pertanyaan: mengapa baru sekarang? Tak ada jawaban yang memuaskan warga.
Spekulasi yang muncul adalah pembangunan apartemen The MAJ di Dago Elos yang terhenti karena membutuhkan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau. Posisi apartemen milik Gita Wirjawan, mantan menteri perdagangan era Susilo Bambang Yudhoyono, itu tepat di belakang Kampung Dago Elos.
“Itu baru analisis, tapi karena tidak ada bukti, ya tidak bisa menuduh sembarangan,” ujar Asep Ma'mun.
Pada saat hampir bersamaan dengan kebutuhan tanah apartemen The MAJ, keluarga Muller pun melayangkan gugatan. Rupanya Muller bersaudara tidak sendiri. Ia menggugat bersama PT Dago Inti Graha, sebuah perusahaan properti di Bandung.
Keterlibatan PT Dago Inti Graha lantaran Eigendom Verponding yang diklaim milik keluarga Muller itu sudah diserahkan haknya kepada PT Dago Inti Graha. Perusahaan ini adalah perusahaan yang baru didirikan pada 4 Agustus 2016.
Direktur utama perusahaan itu Jo Budi Hartanto, serta Erwin Senjaya Hartanto sebagai direktur dan Lionny Sutisna sebagai komisaris. Saham terbesar perusahaan dipegang oleh Jo Budi, yakni Rp15 miliar, sementara Erwin dan Lionny masing-masing Rp7,5 miliar.
Meski PT Dago Inti Graha adalah perusahaan baru, tetapi Jo Budi dan Erwin bukan pengusaha baru. Jo Budi adalah pemilik perusahaan tekstil PT Tridayamas Sinarpusaka, sementara Erwin adalah putranya yang bekerja di sana. Selain itu, Erwin memiliki PT Pusaka Mas Persada, perusahaan developer perumahan yang membangun Green Sukamanah Residence di Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Perlawanan Warga Dago Elos
Kekalahan warga Dago Elos tak membuat mereka serta-merta menyerah. Meski sebagian warga pasrah, tetapi sebagian tetap berjuang untuk mempertahankan tempat tinggal mereka. Warga yang semula menghadapi gugatan pengadilan tanpa pengacara, kini sudah didampingi oleh para advokat publik dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung.
Namun, sebelum banding diajukan, warga harus memikirkan biaya perkara sebesar Rp230 juta—sebagaimana perintah putusan PN Bandung pada akhir Agustus lalu. Untuk menanggung biaya itu, warga pun membuat strategi pengumpulan dana. Masing-masing warga dimintai sumbangan sepunya mereka.
Dodon, salah seorang warga yang mengurusi dana, mengatakan warga membuat usaha bersama yang keuntungannya disumbangkan untuk biaya pengadilan. Usaha ini mulai dari jualan jus sampai jualan cireng.
“Kalau Sabtu-Minggu, ibu-ibu ngamen, minta sumbangan di pinggir jalan,” kata Dodon.
Namun, sampai mendekati hari pembayaran, masih ada kekurangan dana Rp60 juta. Biaya ini akhirnya ditutupi dengan berutang kepada warga yang memiliki uang lebih. Utang ini akan dibayar dengan upaya bikin usaha apa pun dan pencarian sumbangan.
Hirson Kharisma, kuasa hukum warga Dago Elos dari LBH Bandung, mengatakan ia bersama warga sudah mengajukan banding atas putusan PN Bandung. Salah satu poin banding soal status sertifikat tanah dari Kerajaan Belanda yang tak pernah dialihkan ke tiga Muller bersaudara.
“Selain itu juga soal kejanggalan dalam gugatan: ada orang yang sudah mati digugat. Ini, kan, kacau. Gimana bisa gugatan seperti ini dimenangkan?” kata Hirson.
Saat warga berjuang lewat proses banding, Pemerintah Kota Bandung, yang menguasai Terminal Dago, justru diam. Pemerintahan Walikota Ridwan Kamil ini tak mengajukan banding untuk mempertahankan wilayah publik tersebut. Begitu pula Kantor Pos Dago yang tidak mengajukan banding.
“Ini cukup aneh, kenapa mereka tidak banding? Tapi kami tak mau pikirkan itu. Kami fokus pada banding sendiri, berjuang mandiri,” ucap Hirson.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam