Menuju konten utama

Menuju Indonesia Intoleran

Pemerintah provinsi dan daerah acap kali membuka ruang bagi kelompok-kelompok intoleran untuk melakukan tindak-tindak kekerasan. Sementara aparat memilih mencari aman dengan diam ataupun mendiamkan. Banyaknya tindakan intoleran di Indonesia, ini menjadikan Indonesia negara dengan indeks toleransi paling rendah di dunia, terkait dengan banyaknya kasus pelanggaran hak asasi yang tak mendapatkan keadilan.

Menuju Indonesia Intoleran
Pementasan monolog teater Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” yang sebelumnya mendapat pelarangan dari ormas Islam, akhirnya dipentaskan. ANTARA FOTO/Agus Bebeng

tirto.id - Pemerintah provinsi dan daerah acap kali membuka ruang bagi kelompok-kelompok intoleran untuk melakukan tindak-tindak kekerasan. Sementara aparat memilih mencari aman dengan diam ataupun mendiamkan.

Ada baiknya Bandung mencopot label kota ramah Hak Asasi Manusia yang ditempelkan oleh walikotanya, Ridwan Kamil. Klaim itu terbukti sebagai humor buruk ketika dua kali berturut-turut ekspresi di ruang publik dibekap oleh intoleransi.

Pertama, intimidasi dan pelarangan pementasan Monolog Tan Malaka di Institut Français Indonesia (IFI) Bandung pada 23 Maret silam oleh FPI. Kedua, aksi pantomim Wanggi Hoediyanto pada Hari Tubuh Internasional, 27 Maret, dihentikan polisi Bandung dengan dalih kegiatan tersebut tak disertai izin.

Bandung adalah salah satu kota yang justru paling tidak ramah HAM. Menurut hasil riset Setara Institute, Bandung menempati peringkat keenam dari sembilan puluh empat kota di Indonesia dalam hal intoleransi. Namun, Bandung tentu tidak sendirian. Setidaknya masih ada sembilan kota lain, penghuni daftar sepuluh besar, yang perlu diperhatikan secara serius.

Penelitian Setara Institute yang mendaftar sepuluh kota paling toleran dan sepuluh kota paling intoleran di Indonesia ini menggunakan sejumlah variabel, antara lain regulasi pemerintah daerah terkait dengan kerukunan antar umat beragama, bagaimana implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan apakah ada peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Selain itu, pernyataan dan respons pemerintah atas peristiwa yang berhubungan dengan kelompok minoritas juga dijadikan tolok ukur.

Kota-kota dalam kategori yang sama dengan Bandung antara lain Bogor, Bekasi, Banda Aceh, Tangerang, Depok, Serang, Mataram, Sukabumi, dan Tasikmalaya. Tujuh dari sepuluh kota tersebut adalah bagian dari provinsi Jawa Barat. Hal ini menabalkan temuan Elsam pada 2013, yaitu Jawa Barat sebagai provinsi paling intoleran di Indonesia dan Bogor sebagai pemilik terbanyak catatan buruk dalam hal kebebasan sipil dan berkeyakinan.

Elsam menyatakan pemberlakuan Peraturan Daerah Syariah—yang baik sebagai gagasan maupun praktik nyaris sepenuhnya berseberangan dengan perlindungan hak-hak asasi manusia—dan arogansi mayoritas sebagai penyumbang derita paling royal untuk kaum minoritas.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Jemaat Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) adalah kelompok-kelompok yang paling sering menjadi korban intoleransi dan kekerasan berbasiskan agama dan keyakinan.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan Program Studi Lintas Agama dan Budaya (CRCS) UGM terkait intoleransi terkuak selama delapan tahun terakhir Jawa Barat adalah provinsi yang paling buruk dalam pelaksanaan toleransi antar umat beragama.

Kasus intoleran tersebut berupa kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, penutupan gereja, kampanye anti perbedaan, peraturan daerah yang diskriminatif, serta pelanggaran hak-hak sipil.

Sebenarnya apa yang membuat intoleransi merajalela? Marzuki Wahid, peneliti dari Fahmina Institute, mengatakan pemerintah provinsi dan daerah acap kali membuka ruang bagi kelompok-kelompok intoleran untuk melakukan tindak-tindak kekerasan.

Meski sebenarnya jumlah mereka tak cukup banyak untuk dianggap signifikan, tetapi dukungan dari pemerintah setempat, militansi anggota, serta perencanaan gerakan yang sistematis dengan tujuan yang jelas menjadikan pergerakan mereka sukar dibendung.

Setara Institute juga mencatat empat puluh empat kasus pelanggaran hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Jawa Barat. Menurut hasil riset Wahid Institute, sepanjang 2015 terjadi empat puluh enam peristiwa pelanggaran KBB di provinsi Jawa Barat. Komnas HAM, dalam laporan mereka tentang kebebasan beragama, menerima 20 pengaduan dari Jawa Barat—yang tertinggi pada 2015.

Perkembangan di lingkup nasional pun jauh dari menggembirakan. Dalam dua tahun terakhir, intoleransi tumbuh dan membengkak di banyak kota di Indonesia. Selama dua bulan pertama 2015, misalnya, terjadi pelarangan diskusi mengenai 1965 dan pemutaran film Senyap karya Joshua Oppenheimer di Yogyakarta. Lalu pada Februari 2015, ada intimidasi dan penggeledahan terhadap peserta pertemuan korban atau penyintas 1965 yang diselenggarakan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Di Salatiga, Jawa Tengah, pada 7-8 Agustus 2015 terjadi intimidasi terhadap pertemuan korban 1965. Kemudian ada pencekalan Tom Illyas, penyintas 1965 yang selama ini menjadi eksil di Eropa pada 11 Oktober 2015 oleh pihak imigrasi Sumatera Barat. Pelarangan diskusi 1965 di Ubud Writers Readers Festival di Bali, akhir Oktober 2015. Pelarangan pembacaan naskah drama 50 tahun memori 1965 di Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Kapolda Jakarta, pada Desember 2015.

Peristiwa demi peristiwa intoleran yang terjadi di Indonesia membuat negara ini menjadi salah satu negara dengan indeks toleransi paling rendah di dunia. Berdasarkan Legatum Prospereti Index yang disusun Legatum Institute, Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja perihal intoleransi dan jauh di bawah Israel, Zimbabwe, Irak, dan Lebanon. Variabel yang digunakan untuk menilai Legatum Prospereti Index adalah: toleransi terhadap imigran, toleransi terhadap minoritas, kebebasan sipil, kebebasan berpendapat, dan kepuasan terhadap kebebasan sipil.

Mengapa indeks toleransi Indonesia sangat rendah? Jawabannya adalah keberpihakan negara dalam kasus-kasus pelanggaran hak sipil, perlindungan terhadap kelompok minoritas, dan sanksi terhadap tindakan intoleran. Sikap negara ketika kasus pelanggaran hak asasi manusia masih jauh dari adil. Malah pada beberapa kasus, negara dalam hal ini pemerintah daerah, menjadi pelaku tindak intoleran. Seperti bupati Sungailiat yang berencana mengusir kelompok Ahmadiyah, Walikota Bogor yang melarang peribadatan GKI Yasmin, dan contoh terbaru pembubaran-pembubaran diskusi yang berbau kiri oleh pihak kepolisian.

Sejauh ini kepolisian ibarat bandul yang bergerak di antara dua kutub: tak ambil pusing atau justru melindungi dan mengayomi kelompok-kelompok intoleran. Itulah yang menjadikan peristiwa kekerasan, vandalisme, dan pengrusuhan berkembang biak dengan cepat dan terus mengepung kita. Semakin lama semakin mendesak, dan apabila dibiarkan, bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan menjadi picu konflik horisontal.

Baca juga artikel terkait HAM atau tulisan lainnya

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Arman Dhani