tirto.id - Kabinet Indonesia Maju yang terdiri dari 34 menteri tidak bisa disebut benar-benar bersih. Ada sembilan nama menteri yang pernah terseret perkara korupsi.
Oktober tahun lalu, Eni Maulani Saragih pernah mengatakan Airlangga Hartarto, kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, tertarik membantu pengusaha Johannes B Kotjo untuk memperoleh proyek PLTU Riau-1. Rumah Airlangga sempat jadi lokasi pertemuan untuk membicarakan proyek itu, katanya.
Eni juga bilang mendapat perintah langsung dari Airlangga untuk 'mengawal' proyek ini.
Airlangga membantah. Rabu, 26 September 2018, dia mengatakan, "saya tidak pernah memerintahkan kader untuk mencari dana yang tidak benar atau melanggar hukum."
Menteri lain yang pernah disebut dalam sidang perkara korupsi adalah Agus Gumiwang, kini Menteri Perindustrian. Namanya pernah disebut oleh keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi yang duduk di kursi terdakwa, Oktober 2018.
Irvan mengaku masih memiliki jatah uang sebesar Rp5 miliar di tangan Agus Gumiwang. Informasi tersebut menurutnya disampaikan oleh Fayakhun saat berada di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan. Agus Gumiwang tidak bersuara soal tuduhan ini, tapi Fayakhun membantahnya.
Kemudian, pada April 2019, LSM internasional Global Witness merilis laporan tentang bisnis Luhut Binsar Pandjaitan yang menurut mereka "tak terungkap" dan merugikan "kepentingan publik." Transaksi bisnis Luhut disebut melibatkan perusahaan offshore--dalam kasus Panama dan Paradise Paper, memindahkan uang ke perusahaan seperti ini adalah upaya menghindari pajak.
Luhut, kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, tidak ambil pusing. Dia mengatakan laporan ini "ngarang".
Ada pula nama Tito Karnavian, kini jadi Menteri Dalam Negeri, yang dicurigai menerima uang korupsi dari Basuki Hariman saat masih menjabat Kapolda Metro Jaya. Kasus ini umum dikaitkan dengan 'skandal buku merah'--perobekan barang bukti yang di dalamnya tercantum nama Tito sebagai salah satu penerima duit oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berasal dari Polri.
Polisi baru saja mengatakan tidak menemukan "adanya perusakan catatan tersebut."
Tahun 2014 lalu, untuk mengusut korupsi dana haji, KPK memanggil Ida Fauziah yang saat itu menjabat Ketua Komisi VII DPR RI. Ida, kini menjabat Menteri Ketenagakerjaan, mengatakan saat itu dia hanya "diminta penjelasan tentang peran ketua komisi terkait pengelolaan anggaran haji."
Kolega Ida sesama kader PKB, Abdul Halim Iskandar, kini Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), juga pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus gratifikasi Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman. Halim mengatakan dia "clear" dan "tidak ada masalah" karena hanya jadi saksi.
Yasonna Laoly, yang tetap jadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, juga pernah diperiksa sebagai saksi korupsi KTP-elektronik. Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Yasonna bahkan disebut menerima duit puluhan ribu dolar AS.
Yasonna membantah. "Enggak ada cerita itu. Tidak adalah," katanya.
Jika Ida, Halim, dan Yasonna jadi saksi, Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian, berurusan dengan KPK dengan jalan berbeda. Dia dilaporkan ke KPK karena dianggap menyalahgunakan wewenang pemberian izin reklamasi Pantai Losari saat menjabat Gubernur Sulawesi Selatan tiga tahun lalu.
Dia heran ada yang lapor ke KPK. "Saya berhak mengeluarkan izin," katanya.
Terakhir adalah Zainudin Amali. Namanya bahkan muncul di dua kasus sekaligus: suap sengketa pilkada yang melibatkan bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan korupsi di SKK Migas. Dia, seperti menteri lain, membantah terlibat. "Enggak ada sama sekali itu," katanya di Istana Negara, Jakarta.
Sehari sebelum pelantikan kabinet, Selasa (22/10/2019), Juru Bicara KPK Febri Diansyah membenarkan memang ada menteri-menteri yang "pernah diperiksa KPK sebagai saksi dalam sejumlah perkara terpisah"--tanpa menyebut nama spesifik. "Bahkan ada yang pernah masuk di komunikasi tersangka yang diperdengarkan di persidangan," Febri menambahkan.
Akibat Tidak Melibatkan KPK
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Yuris Rezha menduga kemunculan nama-nama di atas adalah karena Presiden Joko Widodo tidak melibatkan KPK atau tim independen dalam merumuskan kabinet.
"Sehingga informasi terkait nama-nama yang pernah diperiksa dalam perkara korupsi tersebut tidak sampai ke presiden," Kata Yuris kepada reporter Tirto, Kamis (24/10/2019).
Pernyataan bahwa KPK tidak dilibatkan datang langsung dari Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif. "Kami tidak diikutkan, tapi kami berharap yang ditunjuk presiden adalah orang-orang yang mempunyai track record yang bagus," katanya, Senin 14 Oktober.
Sementara peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan KPK tidak dilibatkan karena memang prioritas pembangunan Jokowi adalah "ekonomi, infrastruktur, dan pengembangan teknologi." "Dan pemberantasan korupsi tidak dianggap sebagai faktor untuk mengakselerasi itu," katanya.
Meski demikian, dia berharap jika di masa depan ada lagi menteri yang korup--seperti Imam Nahrawi dan Idrus Marham--Jokowi tak ragu mencopotnya.
"Tapi dengan situasi sekarang, dengan pimpinan dan UU baru, rasanya [KPK] tidak akan menyenggol pemerintah," pungkasnya.
Editor: Rio Apinino