Menuju konten utama

Menteri LHK: Data Hot Spot Tidak Bisa Dijadikan Acuan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tidak bergantung sepenuhnya pada sistem "Hot Spot" seperti yang dilakukan di negara lain, karena Indonesia memiliki kondisi yang berbeda dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, data dari satelit tidak bisa dijadikan acuan.

Menteri LHK: Data Hot Spot Tidak Bisa Dijadikan Acuan
Areal lahan dan hutan terbakar terlihat dari atas helikopter BNPB jenis MI-8 di Desa Pangkalan Terap, Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, Jumat (10/6). Antara Foto/Rony Muharrman.

tirto.id - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan pihaknya tidak bisa bergantung sepenuhnya pada data “hot spot” dalam menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebab sistem “ hot spot” tidak bisa sepenuhnya dijadikan acuan.

"Yang paling efektif adalah mengecek langsung di lapangan dengan sistem patroli terpadu," kata Siti Nurbaya usai halalbihalal dengan Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, Senin, (11/7/2016)

ia menambahkan, sistim “hot spot” tidak bisa digunakan mentah-mentah di Indonesia melihat kondisi Indonesia berbeda dengan negara lain yang sifatnya lebih homogen.

"Negara lain itu homogen sehingga mereka bisa pakai sistem kontrol komputer dan sejenisnya. Kalau sistem itu dipakai di Indonesia, ternyata setelah dicek di lapangan ternyata hot spot itu tobong pembakaran batu bata, tempat pembuatan arang oleh rakyat. Karena itu sistem hot spot itu tidak bisa sepenuhnya jadi acuan," tuturnya.

Siti mengatakan cara melihat data titip api harus melihat peluang berapa besar potensinya, misal 50 persen. Artinya, kalau dicek di lapangan, 50 persennya memang ada hot spot itu.

"Saya paling kaget itu waktu tanggal 2 atau 3 Juli, katanya ada 300 hot spot, saya nggak percaya dengan data itu dan minta direktur saya langsung turun ke lapangan," terang Siti.

Ia mengakui, data “hot spot” dari satelit menjadi acuan, namun tidak mau tergesa-gera. Maka, ketika memperoleh data sebesar itu, ia segera mengirim direkturnya untuk melihat kondisi sebenarnya di lapangan dengan sistem patroli terpadu.

"Memang data hot spot dari satelit menjadi acuan, tapi itu sentralnya ada di Singapura. Saya tidak mau curiga tetapi kita harus tetap waspada," ucapnya.

Sebelumnya Menteri LHK menjelaskan potensi kebakaran hutan setiap tahunnya di Indonesia dapat terbagi menjadi tiga tahap krisis. Fase pertama kebakaran hutan kerap terjadi antara awal bulan Februari hingga Maret. Krisis tahap kedua, terjadi sekitar akhir Juni hingga akhir Juli.

Sedangkan krisis tahap ketiga, terjadi sekitar bulan September hingga Oktober. Krisis kebakaran hutan pada fase ini biasanya dipicu akibat musim kemarau yang berlebihan atau biasa disebut fenomena el nino.

Baca juga artikel terkait TITIK PANAS KARHUTLA

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: Antara
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh