tirto.id - Pemerintah mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445 H/2024 di angka rata-rata Rp105 juta per jemaah. Nominal ini merupakan usulan awal yang diajukan Kementerian Agama (Kemenag) dalam rapat kerja bersama DPR RI. Angka ini terbilang naik cukup pesat dibandingkan usulan awal BPIH 2023, kala itu diajukan Rp98 juta per jemaah.
Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menyatakan bahwa BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam Pasal 44, BPIH bersumber dari Bipih (Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang harus dibayar jemaah), anggaran pendapatan dan belanja negara, nilai manfaat, dana efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyatakan, ada yang berbeda dalam skema pengusulan biaya haji 2024. Saat ini, pemerintah dalam Raker DPR hanya mengusulkan besaran BPIH saja. Pemerintah tidak lagi menghitung komposisi besaran Bipih yang akan dibayar jemaah dan nilai manfaat yang digunakan per jemaah. Hal ini karena telah dibentuk Panja BPIH antara pemerintah dan DPR, yang secara khusus membahas ihwal ini.
“Selanjutnya akan dibahas secara lebih detail setiap komponennya oleh Panja BPIH. Setelah BPIH disepakati, baru akan dihitung komposisi berapa besaran Bipih yang dibayar jemaah dan berapa yang bersumber dari nilai manfaat,” kata Menag Yaqut dalam keterangan resmi, Selasa (14/11/2023).
Dalam menyusun usulan BPIH, kata Yaqut, pemerintah menggunakan asumsi nilai tukar kurs dolar terhadap rupiah sebesar Rp16 ribu. Sedangkan asumsi nilai tukar SAR terhadap rupiah sebesar Rp4.000. Ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan usulan awal BPIH 2024 lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
“Pemerintah mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam menentukan komponen BPIH, sehingga penyelenggaraan ibadah haji dapat terlaksana dengan baik, dengan biaya yang wajar,” kata Yaqut.
Pada pelaksanaan ibadah Haji 2023, setelah dilakukan serangkaian pembahasan, pada akhirnya disepakati BPIH 2023 rata-rata sebesar Rp90 juta dengan asumsi kurs 1 dolar AS sebesar Rp15 ribu dan 1 SAR sebesar Rp4.000. Selanjutnya, disepakati komposisi BPIH yakni, Bipih yang dibayar jemaah pada 2023 rata-rata sebesar Rp49 juta (55,3%), sementara yang bersumber dari nilai manfaat sebesar rata-rata Rp40 juta (44,7%).
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai dengan usulan awal BPIH yang diajukan Kemenag saat ini, sangat memungkinkan Bipih yang dibayar jemaah akan mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Menurut Tauhid, pemerintah perlu melakukan transparansi atas kenaikan angka usulan awal BPIH yang dinilainya besar sekali dibanding ibadah Haji 2023.
“Karena kalau kita sudah taruh 25 juta plus imbal hasil, maka penambahannya akan jauh banyak. Nah ini yang berimplikasi banyak jemaah yang akan mundur,” ujar Tauhid dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/11/2023).
Tauhid menambahkan, masih sangat mungkin biaya ini ditekan oleh pemerintah. Misalnya, dengan menekan biaya pesawat dengan mencari alternatif maskapai yang lebih sesuai.
Selain itu, kata dia, investasi untuk pemondokan/hotel jemaah harus diperbesar. Perlu juga ada optimalisasi dana investasi yang ada, skema yang dilakukan bisa di luar obligasi namun harus dicari alternatif yang relatif aman.
“Harus disosialisasikan ke masyarakat bahwa sekarang biaya haji sangat mahal dan perlu perubahan mendasar skema pembiayaan. Jangan sampai masyarakat banyak yang mundur akibat ketidakpastian biaya,” ungkap Tauhid.
Ironi Saat Mutu Pelayanan Rendah
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI), Yusuf Wibisono, menyatakan usulan kenaikan BPIH 2024 sangat tinggi, hal ini tentu akan sangat memberatkan jemaah. Ia menilai hal ini menjadi ironi ketika di saat yang sama, kualitas pelayanan haji tetap rendah, bahkan cenderung semakin buruk pascapandemi.
“Tahun 2023 ini, ketika biaya haji di kisaran Rp95 juta saja, dengan beban yang ditanggung jemaah sekitar Rp50 juta, banyak calon jemaah haji yang gagal berangkat karena tidak mampu melunasi biaya haji,” ujar Yusuf dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/11/2023).
Buruknya pelayanan haji, kata dia, terjadi hampir merata di semua tahapan, mulai dari pelayanan sebelum keberangkatan, selama di tanah suci, hingga pelayanan pascahaji. Menurut dia, pada haji tahun ini saja, penyelenggaraan haji banyak mengalami kekacauan yang mengindikasikan tidak adanya perbaikan yang berarti dalam pengelolaan haji kita.
“Akar masalah hal ini menurut saya adalah peran ganda Kemenag dalam penyelenggaraan haji, yaitu sebagai regulator sekaligus operator haji. Hal ini seringkali diperburuk dengan lemahnya kinerja pengawas haji oleh KPHI (Komisi Pengawas Haji Indonesia),” kata dia.
Kendati demikian, Yusuf menilai, kenaikan BPIH yang sangat tinggi ini di satu sisi punya nilai positif, yaitu akan menyelamatkan hak jemaah haji di masa depan. Ini disebabkan jika pola pembiayaan seperti saat ini tetap dipertahankan, di mana jemaah hanya menanggung 40 persen dari biaya haji dan BPKH 60 persen sisanya.
“Maka nilai manfaat dana haji akan habis pada 2027. Dengan kata lain, jika pola lama dilanjutkan terus, jemaah akan menanggung biaya haji secara penuh, 100 persen pada 2028,” ujar Yusuf.
Maka dari itu, ia mempertanyakan pola pengelolaan dana haji yang disebutnya tidak sehat. Nilai manfaat digunakan sangat berlebihan untuk jemaah yang akan berangkat. Hal ini menunjukkan pengawasan dana haji masih lemah.
“Padahal ada kewajiban BPKH untuk transparansi, ada KPHI komisi pengawas haji, ada audit BPK,” ungkap dia.
Yusuf menambahkan, kenaikan BPIH secara drastis seharusnya sejak awal sangat bisa dicegah. Jika tidak bisa ditahan peningkatan tersebut, seharusnya tetap dilakukan secara halus bukan drastis seperti saat ini.
“Sangat memberatkan banyak jemaah dan melanggar hak mereka untuk menunaikan ibadah haji tahun ini. Akan semakin banyak calon jemaah haji yang gagal berangkat karena tidak mampu melunasi sisa BPIH,” ujar Yusuf.
Utamakan Kepentingan Jemaah
Pengamat kebijakan haji dan umrah, Ade Marfuddin, menyatakan pemerintah seharusnya lebih dulu berkomunikasi dengan jemaah sebelum memberikan usulan BPIH yang tinggi. Apalagi kenaikan ini terlalu tiba-tiba, maka perlu dijelaskan kepada publik agar tidak muncul asumsi.
“Ini bahaya karena bisa digoreng di mana-mana karena ini tahun politik. Harusnya pengguna yaitu masyarakat haji diajak bicara. BPKH harusnya diajak juga dari awal sebagai perwakilan yang menjaga uang jemaah,” kata Ade dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/11/2023).
Ade mendesak adanya harmonisasi antara Kemenag dan BPKH agar bisa memberikan pelayanan haji yang baik dan tidak memberatkan jemaah. Seharusnya, kata dia, nasib jemaah harus didahulukan dibahas sebelum ada usul awal BPIH yang tinggi.
“Harus ada aturan misal yang masuk jemaah tahun 2024 harus pembayaran lunas, karena tidak sanggup melunasi, maka itu tidak hangus, itu diatur dulu. Atau bagaimana jemaah yang tahun itu ternyata sedang uzur bisa enggak diwariskan, itu dibenahi dulu,” ujar Ade.
Ia menyarankan, seharusnya ada batas atas dan bawah dalam pembiyaan haji. Misalnya, batas atas adalah Rp105 juta dan batas bawah misal Rp80 juta untuk BPIH, hal ini agar ada acuan dan membuat masyarakat bisa bersiap jika ada peningkatan biaya haji.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily, menyatakan usulan kenaikan biaya BPIH 2024 harus mengedepankan nilai kemampuan jamaah atau istitha’ah. Ia menambahkan, angka usulan BPIH 2024 naik sekitar Rp25 juta dari penetapan tahun sebelumnya.
“Kami juga harus memperhatikan aspek keadilan dalam menggunakan nilai manfaat dan mengedepankan kemampuan jemaah atau istitha’ah,” kata Ace dalam keterangan tertulis, diterima Rabu (15/11/2023).
Ace menyebut, Komisi VIII DPR akan mengkaji unsur mana saja yang mengalami kenaikan. Dengan begitu dapat diketahui alasan perubahan pada BPIH di tahun depan.
“Kami akan telisik di mana letak kenaikan biaya yang diusulkan Kementerian Agama RI. Apa saja komponen biaya Haji yang mengalami kenaikan. Apa saja biaya yang mengalami kenaikan itu, baik di Arab Saudi maupun layanan dalam negeri,” jelas Ace.
Masih Usulan Awal
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, menyatakan masih menegosiasikan komposisi biaya haji 2024 bersama DPR RI. Ia berharap bisa mencapai titik temu yang tidak memberatkan calon jemaah haji mendatang, sekalipun ada peningkatan namun tidak terlalu besar.
“Harapannya bisa terjangkau, dan bila ada penyesuaian, tidak terlalu besar. Kemenag sangat menginginkan biaya yang proporsional yang terjangkau oleh jamaah dan tetap meningkatkan kualitas layanan,” kata Hilman dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/11/2023).
Sementara melalui keterangan resmi, Staf Khusus Menteri Agama bidang Media dan Komunikasi Publik, Wibowo Prasetyo, menjelaskan angka Rp105 juta yang diusulkan tersebut adalah BPIH yang memiliki komposisi biaya bersumber dari Bipih (biaya perjalanan ibadah haji yang harus dibayar jemaah), anggaran pendapatan dan belanja negara, nilai manfaat, dana efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Jadi Bipih yang harus dibayar jemaah itu adalah bagian dari BPIH. Kalau Kemenag sampaikan usulan awal BPIH sebesar Rp105 juta bukan berarti sejumlah itu juga yang harus dibayar langsung jemaah,” jelas Wibowo di Jakarta, Rabu (15/11/2023).
Menurut dia, usulan awal dari Kemenag akan didiskusikan terlebih dahulu oleh Panitia Kerja (Panja) BPIH. Nantinya, kesepakatan pemerintah dan DPR terkait biaya haji, akan disampaikan ke presiden untuk ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Isinya, mencakup berapa biaya haji yang dibayar jemaah dan biaya haji yang bersumber dari nilai manfaat sesuai kesepakatan pemerintah dan DPR.
“(Jadi) berapa biaya yang akan dibayar jemaah haji 2024 belum ditentukan, masih akan dibahas, sabar,” kata dia.
Baca juga:
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz