tirto.id - Sejak 2016, Kemendagri mencanangkan program pembuatan Kartu Identitas Anak (KIA) dan hal ini diatur dalam Permendagri Nomor 2 Tahun 2016. Mulanya, pemberlakuan KIA dilakukan di 50 kota, di antaranya Malang, Jogja, Pangkalpinang, dan Makassar. Jumlah daerah yang menerbitkan KIA bertambah pada 2017 ini hingga mencapai 108 kota. Rencananya pada 2019 nanti, program ini sudah dapat berlaku secara nasional.
Ada dua jenis KIA yang diterbitkan. Pertama, untuk anak-anak usia 0-5 tahun dan yang kedua, untuk anak usia 5-17 tahun. Syarat pembuatan KIA adalah fotokopi akta kelahiran, KK orangtua/wali, serta KTP orangtua/wali. Untuk anak usia 5-17 tahun juga diminta untuk menyertakan foto diri mereka.
Menurut Mendagri, Tjahjo Kumolo, ketika anak memasuki usia 17, secara otomatis KIA akan menjadi KTP. Sebab, nomor yang tertera di KIA tidak akan berbeda dengan yang ada di KTP.
Sederet alasan mengenai manfaat KIA dikemukakan Kemendagri. Pertama, untuk meningkatkan pendataan, perlindungan, dan pelayanan publik kepada anak. Di samping itu, KIA juga disebut-sebut mendukung upaya perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional anak.
Bila KTP dapat digunakan untuk persyaratan transaksi atau keperluan administratif lainnya, KIA pun memiliki kegunaan-kegunaan sejenis. Pemenuhan kelengkapan dokumen pendaftaran sekolah, keimigrasian, pelayanan kesehatan di puskesmas atau rumah sakit, keperluan klaim santunan kematian, dan pencegahan perdagangan anak adalah beberapa hal yang melibatkan penyertaan KIA.
Lebih lanjut mengenai keuntungan pembuatan KIA, dilansir Kompas.com, pemegang KIA dapat memperoleh diskon khusus ketika berbelanja di toko-toko atau tempat yang bermitra dengan pemerintah daerah. Di Batu, Malang, misalnya, pemegang KIA bisa mendapat potongan 50 persen untuk tiket masuk wahana wisata di sana.
Sementara itu, di Bandung perusahaan-perusahaan seperti lembaga kursus bahasa Inggris LIA dan TBI, bimbel SSC, Ganesha Operation, dan Tridaya, toko buku Gramedia dan Rumah Buku, serta BJB diwartakan Tempo.co bekerja sama dengan pemerintah untuk memberikan keuntungan bagi anak-anak yang mengantongi KIA.
Beberapa manfaat yang dijabarkan dari kepemilikan KIA ini tidak 100 persen ditanggapi positif oleh semua pihak. Alasan menghabiskan anggaran daerah atau negara adalah salah satunya. Dalam penerapan program KIA tahun 2016, pemerintah menggelontorkan dana 8,7 miliar rupiah dari APBN yang ditujukan untuk sosialisasi pelatihan dan penyediaan blanko.
Selain itu, anggota komisi II DPR Agung Widyantoro juga beropini bahwa program KIA tumpang tindih dengan sistem administrasi yang telah ada sebelumnya. Waktu mendaftarkan anak ke sekolah, sejak awal hanya diperlukan akta kelahiran. Asumsi bahwa program KIA hanyalah upaya mencari dana proyek pun tak terhindarkan, apalagi ditambah fakta tersendatnya penyelesaian program e-KTP.
“Persoalan kependudukan tolong buatlah kebijakan makro yang mengarahkan single identity. Satu penduduk, satu identitas baik untuk pajak dan lain-lain,” ungkapnya seperti dikutip Gatra. Ia juga menilai bahwa anak-anak tak seperti orang dewasa yang kerap melakukan transaksi bernilai besar yang memerlukan kartu identitas. Sebutlah pembelian tanah, kendaraan, dan sebagainya.
Dua orang ibu yang Tirto wawancarai mengenai program ini pun menyatakan KIA belum begitu mendesak untuk dijalankan. Nurvina Alifa (27), ibu rumah tangga berdomisili di Depok, memaparkan alasannya menganggap KIA belum dibutuhkan untuk balitanya yang baru berusia 2, “Pertama, anak selalu bareng sama saya atau suami. Kalau kami bepergian naik pesawat pun, petugas juga nggak menanyai apakah anak kami sudah mempunyai KIA. Terus, kalau alasannya untuk membuka tabungan, jelas anak kami belum butuh membuka rekening sendiri di bank.”
Di samping itu, perempuan yang akrab dipanggil Vivin ini pun mengatakan bahwa proses pembuatan kartu identitas di Depok memakan waktu. “Ga dibilang berapa lama, sih. Yang jelas, katanya blankonya belum ada,” aku Vivin.
Alasan senada pun disampaikan Anne (33), ibu dari balita usia 3, “Bagi saya sih, perlu nggak perlu. Kalau untuk usia anak saya mungkin nggak, ya, karena dia lebih sering sama orangtuanya.” Anne juga mempermasalahkan pemegang kartu bagi balita-balita yang belum paham soal tanda pengenal. “Kalau orangtuanya terus yang pegang, ya percuma juga kan, dibuat?” imbuhnya.
Tirto juga mewawancarai pemerhati persoalan kebijakan anak, Nilla Sari Dewi Iustitiani, mengenai KIA. Terkait dengan tujuan pendataan dan penjaminan hak konstitusi anak, ia memandang program KIA perlu dikaji lebih dalam lagi meski kini sudah telanjur diterapkan di beberapa daerah. Pasalnya, sampai saat ini di tempat-tempat tertentu, tidak semua anak memiliki akta kelahiran yang memungkinkan penjaminan hak konstitusinya.
“Pengurusan akta lahir yang mensyaratkan surat nikah kedua orangtua masih terkendala beberapa hal di lapangan. Pertama, karena kurangnya pengetahuan sebagian masyarakat mengenai hal ini dan kedua, perkara ekonomi. Untuk mengurus surat nikah, diperlukan biaya administrasi yang tidak semua orang bisa menyanggupi,” ungkap perempuan yang bekerja sebagai peneliti di Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atma Jaya ini.
Di beberapa pulau misalnya, tidak semua orangtua dapat mengurus akta kelahiran karena Dukcapil berada di pulau lain. Akses untuk mencapai kantor Dukcapil tentu saja menuntut biaya lagi. “Untuk mengurus akta kelahiran saja sudah sedemikian kompleksnya, apalagi jika mau membuat KIA. Jangan sampai hal ini memberatkan masyarakat,” imbuh Nilla.
Beberapa manfaat KIA memang dapat memfasilitasi anak memenuhi berbagai kebutuhannya.
Meski demikian, Nilla berpendapat bahwa pengintegrasian KIA mesti benar-benar dipikirkan. “Jangan sampai ketika KIA telah diterbitkan, manfaat langsungnya masih sulit diakses masyarakat,” katanya.
Sementara sehubungan dengan tujuan memberi perlindungan kepada anak, Nilla berargumen bahwa urgensi pembuatan tanda pengenal anak tidak lebih signifikan dibanding mekanisme perlindungan anak di Indonesia. “Sosialisasi tentang ke mana anak bisa mencari perlindungan atau bagaimana cara masyarakat ikut melindungi anak masih minim di negara ini. Saya pernah menemukan kasus, anak melarikan diri dari walinya karena sering dipukuli.
Saat anak berkeliaran di jalan, orang-orang yang melihatnya tidak bereaksi apa-apa, bahkan ada pula yang mau membawanya kembali ke sang wali. Mestinya, anak dibawa ke tempat aman terlebih dahulu sebagai upaya melindunginya,” papar Nilla.
Ia juga mengungkapkan keprihatinannya bahwa tidak semua kantor polisi memiliki bagian khusus penanganan kasus seperti yang dijumpainya. Hanya segelintir kantor polisi yang mempekerjakan petugas terlatih.
Kartu Identitas Anak di Negara-Negara Lain
Indonesia bukan satu-satunya yang tengah menjalankan program KIA. Di negara-negara lain, kebijakan ini pun telah diterapkan. Malaysia menerbitkan MyKid untuk anak-anak di bawah usia 12. Fiturnya menyerupai MyKad—kartu tanda pengenal pintar yang dibuat untuk mereka yang berumur di atas 12. Perbedaan MyKid dan MyKad adalah tidak adanya foto dan cetakan sidik jari dalam MyKid. Jika dibandingkan dengan MyKid, KIA memiliki satu kekurangan, yakni ketiadaan chip sebagaimana ditemukan di MyKid atau KTP Indonesia yang sudah ada.
Dilansir portal resmi National Registration Department, Ministry of Home Affairs Malaysia, ada beberapa poin plus dari MyKid: mengurangi penggunaan kertas untuk urusan administrasi pemerintahan dan swasta, mempermudah transaksi terkait kesehatan dan pendidikan, gampang dibawa, memfasilitasi pembaruan data seiring dengan adanya chip pada MyKid, serta mempunyai desain menarik.
Tidak hanya Malaysia saja yang menerbitkan tanda identitas anak. Di Belgia, kartu semacam ini pun diluncurkan. Salah satu kepentingannya adalah untuk keperluan bepergian ke luar negeri bagi anak di bawah 12 tahun. Di samping paspor, kartu identitas anak juga dapat dibawa saat anak-anak meninggalkan Belgia.
Ada beberapa keunggulan dari kartu ini: diproduksi oleh pusat dan sulit dipalsukan karena memakai beberapa teknologi seperti tulisan timbul, pseudo micro-lettering, dan UV prints. Tidak hanya itu, kartu identitas anak di Belgia juga bisa dipakai sebagai kartu jaminan sosial dan kartu anggota perpustakaan, akses ke klub olahraga, atau keperluan sekolah.
Di Amerika Serikat pun dirilis seperangkat alat identifikasi anak. FBI menggenjot program pembuatan kartu identitas anak seiring membengkaknya angka anak yang dinyatakan hilang atau diculik. Guna mencegah kejadian ini, mereka membuat program kartu identitas anak melalui National Child Identification Program. Di dalam kartu identitas anak tersebut akan tercantum deskripsi fisik anak, termasuk peta tubuh untuk menunjukkan bekas luka, tanda lahir, atau fitur unik lainnya dari si anak.
Perlindungan anak yang diwujudkan FBI tak berhenti sampai di situ. Mereka juga membuat aplikasi khusus yang bisa diunduh di ponsel pintar untuk menjaga keselamatan anak: Child ID app. Informasi mengenai anak hanya akan tersimpan di ponsel sang wali atau orangtua. Aplikasi ini telah diunduh lebih dari 250.000 kali sejak dirilis pada 2011 di iTunes dan pada 2012 di Android.
Pada 2015, versi terbaru Child ID app telah diunduh lebih dari 50.000 kali di seluruh dunia. Child ID app tidak cuma memungkinkan orangtua menyimpan data anaknya, tetapi juga mengakses macam-macam informasi dan panduan terkait penculikan anak. Aplikasi yang diinisiasi di Amerika Serikat ini lantas diadaptasi oleh pemerintah Australia yang merilis Police Child ID app.
=====================
Pada 12 Juli 2017, laporan ini diperbarui dengan beberapa hasil wawancara dengan orangtua dan pemerhati isu dan kebijakan terkait anak.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani