tirto.id - “Kalau ada masalah, kekurangan blangko, keterlambatan, itu memang imbas dari problem e-KTP itu sendiri. Jadi, ya kami mohon maaf kalau masih ada problem yang seperti itu.”
Permintaan maaf tersebut diungkapkan Presiden Joko Widodo di JIEXPO, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 11 Maret 2017 lalu. Secara khusus, ia meminta maaf kepada rakyat yang kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Menurut Jokowi, segala persoalan yang muncul pada program ini karena anggaran e-KTP yang dikorupsi.
Padahal mantan Gubernur DKI Jakarta ini yakin jika program e-KTP dilaksanakan dengan baik dan benar, sejumlah persoalan administrasi kependudukan dapat terselesaikan.
“Kalau e-KTP jadi dan benar, kita bisa selesaikan banyak sekali itu masalah. Misal urusan paspor tanpa fotokopi KTP, SIM, perbankan, perpajakan, urusan Pilkada,” ujarnya.
Sebagai negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia, Indonesia memang dihadapkan pada persoalan yang cukup pelik, yaitu buruknya administrasi kependudukan. Akibatnya, seorang warga negara bisa memiliki lebih dari satu kartu identitas atau kartu tanda penduduk (KTP).
Hal tersebut terjadi karena belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta ini memberi peluang pada warga yang ingin berbuat curang terhadap negara dengan menduplikasi KTP-nya untuk tujuan kejahatan seperti penghindaran pajak dan pengelabuan identitas.
Pemerintah tentu menyadari hal itu. Maka, selama periode 2010-2012, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengupayakan tiga program strategis nasional bidang kependudukan dan catatan sipil, yang agendanya meliputi pemutakhiran data kependudukan, penerbitan nomor induk kependudukan (NIK), dan penerapan KTP elektronik (e-KTP).
“Pada tahun 2012, kita targetkan seluruh penduduk Indonesia sudah memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) masing-masing, dan setiap penduduk dewasa akan memiliki KTP Elektronik (e-KTP). Ini suatu lompatan besar bagi negara kita dengan penduduk terbesar keempat di dunia,” kata Gamawan Fauzi yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.
Pernyataan Gamawan saat itu cukup meyakinkan. Proyek e-KTP akan selesai sebelum masa jabatannya habis pada tahun 2014. Namun kenyataannya, berdasarkan data Kemendagri hingga September 2016, masih ada sekitar 22 juta warga yang belum melakukan perekaman data e-KTP di berbagai daerah. Karena itu, Kemendagri memperpanjang batas waktu perekaman hingga pertengahan 2017.
Molornya program e-KTP ini disebabkan karena ketersediaan blangko e-KTP yang menjadi kendala di sejumlah daerah. Selain itu, adanya praktik korupsi yang melibatkan sejumlah nama besar juga melengkapi kusutnya megaproyek yang memakan anggaran APBN sekitar Rp5,9 triliun tersebut.
Padahal proyek e-KTP ini menurut Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (PTIK) BPPT, Hammam Riza memberikan manfaat yang cukup banyak. Menurut dia, e-KTP akan berlaku secara nasional dan dapat digunakan sebagai kartu pemilih, baik dalam pemilu nasional maupun daerah.
“Untuk tahap sekarang dan secara peraturan perundang-undangan, fungsi e-KTP hanya untuk identitas penduduk yang unik dan otentik. Dengan bantuan aplikasi eksternal, data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan biodata dapat diekstrak dari e-KTP dan dapat diproses selanjutnya untuk kegunaan lain diantaranya untuk pembayaran pajak dan verifikasi penerima Jamkesnas,” ungkapnya.
Menurut Hammam, dengan e-KTP ini maka dapat meminimalisirkan identitas ganda dan KTP palsu. Karena di dalam kartu telah direkam data biometrik 2 sidik jari telunjuk penduduk, iris mata, dan gambar tanda tangan penduduk. Semua data itu disimpan dalam chip yang tertanam dalam kartu sebagai alat penyimpan data secara elektronik, dan alat pengamanan data (security) baik secara pembacaan, penyimpanan data maupun secara transfer data.
“Negara yang sudah menjalankan program yang mirip dengan e-KTP adalah Malaysia dengan program MyKad. MyKad berfungsi multifungsi selain sebagai kartu identitas. Secara teknis e-KTP kedepannya dapat dirancang untuk keperluan multifungsi, dengan dilengkapi aspek legal formal,” ujarnya.
Beda e-KTP dan MyKad
Meskipun e-KTP dan MyKad sama-sama sebagai kartu identitas, namun keduanya memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Misalnya, saat ini e-KTP hanya berfungsi sebagai kartu identitas kependudukan semata. Dengan fungsi ini, pemegang e-KTP bisa mengurus administrasi yang lain, seperti SIM dan STNK, keimigrasian, membuka rekening bank, serta untuk mempermuda berpartisipasi dalam pemilu nasional dan daerah.
MyKad tidak hanya sebatas sebagai identitas kependudukan. Ia juga berfungsi sebagai SIM, paspor, aplikasi sarana publik, dompet elektronik untuk mempermudah transaksi pembayaran, serta sebagai informasi kesehatan yang dapat dimasukkan ke dalam chip. Program MyKad ini bahkan memungkinkan aplikasi sektor pemerintah dan swasta dalam satu kartu saja.
Di Malaysia, MyKad mulai terapkan pada 2005. Namun, program ini mulai digagas pada 1999 ketika pemerintah Malaysia menunjuk Government Multi-Purpose Card Consortium (GMPC), yaitu konsorsium 5 pemasok internasional teknologi, bersama dengan Jabatan Pendaftaran Negara (JPN). Beberapa instansi pemerintah di Malaysia pun ikut berkolaborasi pada proyek ini.
Di Malaysia, semua orang harus memiliki kartu identitas nasional setelah memasuki usia 12 tahun. “Lalu ada SIM, paspor, dan kartu-kartu bank, jadi terlalu banyak yang dibawa-bawa orang. Kami ingin ada satu kartu yang melakukan beragam aplikasi sektor pemerintah dan swasta, agar meningkatkan layanan kepada warga sekaligus menjaga keamanan informasi dalam kartu,” kata Datuk Azizan Ayob, saat menjabat sebagai Direktur Jenderal JPN.
Karena itu, pemerintah Malaysia mengeluarkan program MyKad sebagai kartu identitas yang multifungsi. Hanya dengan satu kartu tersebut, warga Malaysia memiliki identitas nasional, SIM, catatan imigrasi dan kesehatan, alat bayar transportasi, dan layanan perbankan.
Perlunya Single Identity Number
Malaysia termasuk salah satu negara yang sukses menerapkan single identity number (SIN) melalui program MyKad. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, ia dapat memberi pelayanan publik, baik pemerintahan maupun masyarakat dan pelaku bisnis.
Penerapan program MyKad di Malaysia dapat dikatakan sudah berjalan baik dengan terintegrasinya beberapa departeman untuk mewujudkan terlaksananya penerapan program MyKad ini. Karena sistem MyKad hanya bisa berjalan apabila masing-masing departemen bersinergi satu sama lain.
MyKad berupa smart card yang memiliki chip berkapasitas 64K yang menyimpan berbagai data seperti identitas warga, surat izin mengemudi, kartu ATM, kartu transportasi (Touch ‘n Go), catatan medis, dan lain sebagainya. MyKad merupakan terobosan teknologi berupa smart card yang dapat menyimpan berbagai data. Sehingga, MyKad dapat digunakan sebagai kartu identitas diri ditambah dengan berbagai fungsi di dalamnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pada dasarnya, program e-KTP yang berlaku di Indonesia sudah menerapkan sistem single identity number. Dalam hal ini, penduduk hanya diperbolehkan memiliki satu KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup. Hanya saja untuk saat ini pemanfaatannya masih sebatas identitas kependudukan.
Karena itu, pemerintah berupaya agar Indonesia bisa juga menerapkan sistem terpadu ini. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh mengatakan single identity number penting untuk mendukung pembangunan nasional ke depan. Menurut Zudan, setiap setiap warga negara memiliki satu NIK yang bersifat tunggal dan tidak berubah seumur hidup.
Semua data dari NIK tersebut akan dintegrasikan dengan data administrasi penduduk lainnya seperti, SIM, Paspor, NPWP, BPJS dan data-data lainnya. Menurut dia, secara bertahap mulai 2016, single identity number ini dibangun di 50 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Di dalamnya mencakup data kependudukan penting termasuk data agregat yang akan membantu beragam lembaga negara menjalankan programnya.
Zudan menyebutkan bahwa Kemendagri memiliki galeri kependudukan yang berisi Geographic Information System (GIS) yang menunjukkan data sampai di tingkat desa, dan terkait dengan wilayah negara, provinsi, kabupaten, kota sampai dengan level desa. Selain itu dalam proses mendorong nomor identitas tunggal ini, sudah dilakukan perekaman data 156 juta orang dari kuota 182 juta orang penduduk Indonesia yang harus direkam saat ini.
“Pemanfaatan NIK bisa untuk mencegah kriminal. Kemudian untuk mengetahui rasio jumlah penduduk dengan golongan darah tertentu yang berguna bagi dunia kesehatan. Bisa dikaji juga mengapa daerah tertentu, dengan struktur usia dan golongan darah tertentu mengidap penyakit tertentu. Jadi menarik apabila ingin melihat statistik kependudukan Indonesia dengan crosscutting elemen data. Semua data dapat diakses jika sudah tercapai single identity number ini,” ujarnya.
Sayangnya, jangankan membangun sistem terpadu berupa nomor identitas tunggal, bahkan untuk urusan blangko e-KTP pun kerap tak tersedia. Korupsi telah menerbitkan kerugian bagi masyarakat dan menggagalkan hal-hal yang seharusnya membikin birokrasi berjalan lebih mudah.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani