tirto.id - Tahun 2007 merupakan tahun keemasan bagi grup konglomerasi Bakrie. Kala itu, bisnis Grup Bakrie memasuki puncak kejayaannya. Aburizal Bakrie—anak pendiri Grup Bakrie, Achmad Bakrie—bahkan untuk kali pertama menjadi orang terkaya di Indonesia versi Forbes.
Kejayaan Grup Bakrie itu tak terlepas dari menggeliatnya bisnis pertambangan di Indonesia, terutama dari PT Bumi Resources Tbk. (BUMI). Saat itu, harga saham perusahaan sempat menembus angka tertingginya di kisaran Rp6.000 per saham.
Namun, puncak kejayaan itu tidak berlangsung lama. Pada pertengahan 2018, krisis moneter tiba-tiba menghantam. Harga-harga komoditas ambruk, tidak terkecuali batubara yang merupakan sektor utama bisnis Grup Bakrie.
Harga saham BUMI pun ikut ambruk. Sempat menembus Rp8.000 per saham, harga BUMI pada Januari 2009 terjun bebas di kisaran Rp500 per saham. Kejatuhan BUMI pun merembet ke bisnis Grup Bakrie lainnya.
Sejak saat itulah, bisnis Grup Bakrie mulai berguncang. Belum lagi, Grup Bakrie juga diterpa berbagai persoalan, mulai dari utang yang menumpuk, bencana lumpur Lapindo, dan korupsi yang menyebabkan kerajaan bisnis Bakrie semakin terpuruk.
Kondisi tersebut membuat Aburizal terlempar dari daftar 40 orang terkaya di Indonesia versi Forbes sejak 2012. Hingga tulisan ini dimuat ini, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar tersebut pun belum kembali masuk ke dalam daftar tersebut.
"Sekarang [kelompok usaha Bakrie] tidak sejaya dulu [sebelum 2008], tetapi pelan-pelan perusahaan-perusahaan Bakrie mulai membukukan keuntungan," Aburizal Bakrie beralasan pada 2014, dikutip dari Viva. Lantas bagaimana kinerja perusahaan-perusahaan Grup Bakrie di Bursa Efek Indonesia saat ini?
Kinerja Positif?
Tahun 2019 merupakan tahun positif bagi sebagian besar perusahaan Grup Bakrie, setidaknya sampai dengan semester pertama ini. PT Bakrie & Brothers Tbk. (BNBR), misalnya, berhasil menorehkan laba bersih sebesar Rp227 miliar.
Perusahaan Bakrie yang bergerak di bidang manufaktur itu memang sudah lama tidak meraup laba, yakni sejak 2012, lantaran didera beban keuangan yang sangat berat. Pada semester I/2018, BNBR rugi Rp1,06 triliun.
"Kerja keras yang dilakukan beberapa tahun terakhir ini membuahkan hasil. BNBR kembali mencetak laba. Ini menggembirakan stakeholder, terutama investor," kata Direktur Utama BNBR Anindya Novyan Bakrie, dalam siaran persnya.
Anindya yang juga merupakan anak sulung Aburizal Bakrie ini menjelaskan keberhasilan BNBR meraup untung merupakan hasil dari kebijakan perseroan merestrukturisasi utang, termasuk melakukan efisiensi operasional di anak usaha.
Imbasnya, beban utang dan bunga perseroan pada semester I/2019 hanya sekitar Rp82 miliar atau turun 73 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp305 miliar. Beban usaha juga turun menjadi Rp257 miliar dari sebelumnya Rp261 miliar.
Perusahaan Bakrie lainnya yang berhasil meraup laba adalah PT Energi Mega Persada Tbk. (ENRG). Seperti BNBR, perusahaan Bakrie yang bergerak di bidang energi ini juga membukukan rugi pada 2018.
Pada semester I/2019 ini, ENRG berhasil membukukan laba USD24 juta (sekitar Rp341,3 miliar, asumsi kurs USD1=Rp14.220) dari sebelumnya rugi sebesar USD15 juta pada semester I/2018. Adapun, kenaikan laba juga didorong dari turunnya jumlah pinjaman, sehingga mengurangi beban bunga perseroan.
Perusahaan tambang Bakrie, PT Bumi Resources Mineral Tbk. (BRMS) juga turut berhasil membalikkan kondisi perseroan dari sebelumnya rugi menjadi untung. Pada semester I/2019, BRMS meraup laba sebesar USD950.588, dari sebelumnya rugi USD10 juta.
Adapun, PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) masih melanjutkan tren mencatatkan keuntungan, meskipun nilainya menurun. Pada paruh pertama tahun ini, BUMI membukukan laba sebesar USD90 juta atau turun 41 persen dari sebelumnya sebesar USD153 juta.
Namun demikian, masih ada juga perusahaan terbuka Grup Bakrie yang kinerjanya merah, salah satunya PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk. Perusahaan sawit tersebut mencatatkan rugi Rp46 miliar sepanjang semester I/2019.
Rapor merah juga dicatatkan PT Darma Henwa Tbk. Perusahaan Bakrie yang bergerak di sektor tambang batubara ini membukukan rugi bersih sebesar USD1,57 juta sepanjang paruh pertama tahun ini.
Saham Tak Bergerak
Sayang, kinerja positif yang ditorehkan perusahaan-perusahaan Grup Bakrie itu rupanya tidak mampu menggerakan harga saham masing-masing perusahaan. Harga saham BNBR, misalnya, masih di level Rp50 per saham atau harga terendah di Bursa Efek Indonesia.
Kondisi tersebut jelas tidak sejalan dengan klaim Anindya yang mengatakan bahwa kinerja positif BNBR menjadi kabar menggembirakan bagi investor. Terakhir kali harga saham BNBR keluar dari harga Rp50 per saham, yakni pada tanggal 2 September 2018.
Sama seperti BNBR, harga saham BMRS juga berada di kisaran Rp50 per saham, meski perusahaan berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi untung. Nasib yang sama juga kurang lebih terjadi pada ENRG. Per 9 Agustus 2019, harga sahamnya berada di angka Rp58 per saham.
Kinerja pergerakan saham BUMI juga sedang dalam tren menurun sepanjang tahun berjalan ini. BUMI sempat menembus angka Rp180 per saham atau tertinggi di tahun berjalan ini, namun setelah itu terus menurun ke level Rp103 per saham per 9 Agustus 2019.
Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menjelaskan pergerakan saham pada umumnya berbanding lurus dengan kinerja bisnis emiten. Jika kinerjanya positif, harga saham biasanya ikut terkerek.
Namun demikian, hal tersebut agak tidak berlaku bagi perusahaan-perusahaan Grup Bakrie. Di mata pelaku pasar modal, kinerja positif perusahaan Grup Bakrie pada semester pertama ini belum menjadi daya tarik yang cukup kuat.
"Saham-saham Grup Bakrie ini memang unik. Jika dilihat dari sisi industrinya, Grup Bakrie sebenarnya prospektif. Asetnya juga bagus. Hanya saja permasalahan mereka adalah dari sisi manajemennya," tutur Alfred kepada Tirto.
Persepsi pelaku pasar terhadap emiten-emiten Grup Bakrie memang tidak begitu baik dalam satu dekade terakhir ini. Alhasil, tidak sedikit emiten-emiten Grup Bakrie yang tidak likuid dan berada di harga terendah.
Ketidakpercayaan pelaku pasar terhadap Grup Bakrie ini tercermin, salah satunya, manakala muncul kabar China Investment Corporation (CIC)—salah satu kreditur BUMI—berencana memasukkan orang-orangnya ke dalam manajemen BUMI pada akhir 2016.
Gara-gara wacana tersebut, harga saham BUMI pelan-pelan merangkak naik dari sebelumnya berkutat di kisaran harga Rp50 per saham. Hal itu menandakan pelaku pasar seolah tidak percaya dengan manajemen dari Grup Bakrie dalam mengurus BUMI.
"Jadi saya tidak begitu heran jika bisnis Grup Bakrie membaik, tapi sahamnya tidak bergerak. Ini artinya, mereka belum menciptakan persepsi yang positif di mata pelaku pasar modal. Ini kelemahan mereka," jelas Alfred.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara