tirto.id - Video Instastory Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie yang diunggah ulang oleh akun penggemar @nrabsfamily sempat jadi perhatian warganet. Kedua video itu menunjukkan sikap berbeda yang dilakukan Ardi dan Nia kepada buah hatinya, Mainaka (3), ketika tidak fokus mewarnai.
Dalam dua video yang berbeda itu, Ardi terlihat mengajak anaknya belajar dengan cara lebih lembut, sedangkan Nia menunjukkan sikap lebih tegas kala sang buah hati enggan mengerjakan tugas rumahnya.
Beragam komentar muncul dalam video yang diunggah di akun instagram @nrabsfamily, ada warganet yang menganggap cara yang dilakukan Nia Ramadhani kasar:
“Emaknya galak gitu mana ada anak yang mau deket-deket”
Namun ada pula yang mengatakan cara yang dilakukan Nia Ramadhani adalah hal wajar.
“Ini masih baik banget lho nadanya. Anak cowok mah emang mesti digituin. Pelan2 mana didengerin kalau aktif banget. Tapi itu namanya perhatian. Kalau ga perhatian boro2 dimarahin, disenyumin juga dah bagus.”
Menemani Anak Belajar
Perdebatan tentang cara yang baik dalam mengajak anak belajar, seperti pada kasus Nia dan Ardi, pasti sering Anda temukan di dunia nyata. Pro-kontra semacam itu bisa menimbulkan kekhawatiran: "Benarkah pola asuh yang saya terapkan?"
Seorang Asisten Profesor Psikologi Pendidikan dari University of Texas, Austin, Erika A. Patall dalam artikel di The New York Times yang berjudul “Help Children Form Good Study Habits” mengatakan bahwa yang terpenting bagi orangtua adalah mendukung motivasi anak.
“Pekerjaan rumah merupakan kesempatan yang baik bagi orangtua untuk membantu anak-anak mengembangkan kemampuan mereka untuk mengatur diri, membuat strategi belajar, dan membantu siswa menetapkan target dan rencana untuk menyelesaikan pekerjaan rumah,” ujar Patall, seperti dilansir The New York Times.
Menurut artikel berjudul “7 Ways Parents Can Instil Good Study Habits” yang ditulis oleh Melisa Tan di Smart Parents, cara untuk menanamkan pola belajar yang baik pada anak dengan menanamkan pola tersebut sejak dini. Kata Tan, ajukan pertanyaan sederhana seperti “Apa yang kamu pelajari hari ini?” atau “Apa bagian yang menjadi favoritmu di sekolah?”. Hal tersebut berguna agar anak tak bosan saat membicarakan tentang sekolahnya.
“Anda juga bisa mengalokasikan sedikit waktu setiap malam untuk berdiskusi tentang tugas sekolah anak anda. 15 menit untuk anak berusia 5 tahun adalah awal yang baik. Anak Anda tidak akan melihat sebagai orangtua yang memeriksa pekerjaan sekolah mereka, tetapi sebagai waktu luang yang baik dengan orangtuanya, untuk berbicara tentang harinya,” tulis Tan.
Psikolog keluarga, Anna Surti Ariani, menyampaikan pola belajar anak hendaknya dimulai sejak dini, sebelum mereka masuk masa sekolah. Hendaknya, lanjut Anna, orangtua mengembangkan rasa ingin tahu yang pada anak.
“Misalnya kita lagi cuci sepeda, jangan sampai minta anak hanya melihat. Tapi kita juga menjelaskan, ‘Papa lagi cuci setang, digosok, kemudian ini pedalnya.' Jadi, di situ anak jadi tahu, apa sih kosakata terkait sepeda, mencuci, dan sebagainya,” Anna menerangkan.
Selain itu, saat memasuki usia sekolah, Anna menyarankan orangtua untuk memberikan suasana belajar yang kondusif, misalnya agar anak tidak menyalakan televisi terlalu kencang.
Psikolog keluarga lainnya, Probowatie Tjondronegoro, menyarankan kepada orangtua untuk meminta kepada buah hati membuat jadwal pribadi mereka.
“Kita jangan membuat jadwal. Anak diminta membuat jadwal, bangun pagi mau ngapain, jadi anak membuat jadwal seminggu menurut versi dia, nonton TV jam berapa, kemudian mainan HP jam berapa, kemudian kita ngobrol. Kalau misalnya nonton TV jangan 2 jam, dari jam segini sampai jam segini gimana? Jadi anak belajar nego,” tutur Probo.
Pola tersebut, menurut Probo sebaiknya ditanamkan kepada diri anak sejak ia berusia 3 tahun. Probo menyampaikan bahwa memberikan kesempatan anak mengatur jadwal hariannya berarti mengajarkan anak untuk bertanggung jawab terhadap jam belajar. Ketika anak melanggar, orangtua dapat mengingatkan mereka. Terkait hal tersebut, orangtua bisa memberikan hadiah dan hukuman.
Namun Probo menekankan, hadiah tidak harus berupa barang. “Reward itu bagus, tapi jangan sembarangan. Tidak harus berupa benda. Dinyanyikan, dipeluk itu reward," ujar Probo.
Memberi Hadiah
Carole Ames, dkk pernah melakukan studi berjudul “Effects of Competitive Reward Structure and Valence of Outcome on Children’s Achievement Attribution” (PDF) untuk mengetahui pengaruh penghargaan terhadap prestasi anak yang dilakukan terhadap 40 anak laki-laki di Indiana. Hasil dari penelitian itu menyatakan bahwa keberhasilan dan kegagalan anak bergantung pada hadiah yang diberikan.
“Struktur hadiah membawa pengaruh yang penting tentang bagaimana subyek menilai diri sendiri dan kemampuan, keberuntungan, kelayakan, serta kepuasan,” kata Carole Ames, dkk.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention(CDC) pemberian hadiah dapat digunakan untuk mendorong perilaku baik bagi sang buah hati, sebab hadiah itu bisa menjadi penghargaan untuk meningkatkan harga diri anak. Selain itu, adanya hadiah atau penghargaan juga bisa menjadi sarana meningkatkan hubungan orangtua dengan anak.
Senada dengan saran Probo, CDC menerangkan bahwa memberikan imbalan, orangtua disarankan untuk memberikan penghargaan sosial yang sifatnya lebih kuat dibanding imbalan materi. Contoh imbalan sosial adalah kasih sayang: pelukan, ciuman, atau pujian. Ia bisa juga berupa perhatian dan waktu berkegiatan bersama, seperti pergi ke taman, kebun binatang, atau memainkan permainan favorit bersama.
Editor: Maulida Sri Handayani