tirto.id - Temanku pernah sesenggukan ketika menyaksikan babak eliminasi suatu kompetisi di TV.
Ada kawan zaman kuliah yang mudah resah begitu lingkungannya berubah bising.
Rekan kerjaku merasa sangat bersalah karena pekerjaannya dikomentari pedas oleh bos, sampai ia memilih berdiam di rumah dan menolak diajak bersenang-senang di akhir pekan.
Karakter yang cenderung larut bawa perasaan alias baper demikian, dalam banyak kesempatan, suka mencurahkan isi hati kepada relasi terdekat maupun media sosial. Sebagian orang menganggap tindakan mereka lumrah, tapi tak sedikit yang mencibir aksi berlandaskan emosi ini.
“Jangan terlalu diambil hati lah,” demikian biasanya tanggapan untuk mereka setiap merasa terpuruk atau terganggu setelah diguyur kekecewaan. Semakin sering mendengarnya, semakin mereka ingin mengurung diri atau menangis sembunyi-sembunyi. Sebagian yang perempuan malah pernah direspons begini, “Paling lagi PMS, makanya jadi sensitif begitu.”
Nyatanya, tak melulu perubahan hormon atau menstruasi yang bikin manusia jadi lebih emosional. Dari lensa psikologi, orang yang reaktif karena terpancing secara emosional ini dikategorikan sebagai highly sensitive person.
Berbeda dari Empati
Dalam situs Chakra Center, psikolog dan penulis buku The Highly Sensitive Person, Dr. Elaine Aron, mendefinisikan highly sensitive person sebagai orang yang punya kesadaran pada hal-hal kecil di sekitarnya dan lebih mudah merasa overwhelmed—kewalahan—ketika berada di lingkungan yang sangat menstimulasi inderanya. Karakteristik ini serupa tapi tak sama dengan empati.
Orang berempati tinggi bisa dibilang sensitif terhadap energi-energi di sekitarnya, tapi ia lebih fokus pada pengalaman dan perasaan orang lain—turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sedangkan highly sensitive person menjadikan dirinya pusat atensi.
Dilansir dari The Telegraph, Dr. Ted Zeff, psikolog dan penulis The Highly Sensitive Person’s Survival Guide, juga mengutarakan kesepahamannya atas perbedaan kedua sifat ini, “Setiap orang sensitif itu berbeda. Penting untuk diingat bahwa sebagian orang memiliki sifat empati, tetapi tak serta-merta dikatakan highly sensitive person.”
Masih dikutip dari artikel yang sama, Dr. Aron menyebut 20 persen populasi terlahir dengan highly sensitive person. “Menjadi orang dengan sensitivitas tinggi itu genetis,” imbuhnya.
Sebelumnya, sifat ini diidentikkan dengan orang-orang pemalu dan introvert, tapi pengamatan Dr. Aron mengindikasikan bahwa kalangan ekstrovert pun dapat memiliki sensitivitas tinggi. Itulah kenapa sejumlah orang suka mengekspresikan perasaan dan kegundahan pada publik atau kenalan biasa.
Kamu bisa cari tahu sendiri, apakah dirimu termasuk highly sensitive person, dengan berpatokan dari sederet pernyataan yang disusun Dr. Aron di situs HSPerson berikut:
- Aku cenderung sangat sensitif pada rasa sakit.
- Aku gampang terganggu oleh cahaya menyilaukan, aroma kuat, kain kasar atau bunyi sirene.
- Aku mudah terenyuh saat mendengarkan musik.
- Kalau ada orang yang kelihatan kurang nyaman di lingkungan yang familiar bagiku, aku cenderung tahu apa yang harus kulakukan untuk membuatnya nyaman (mengubah pencahayaan ruangan atau posisi kursi).
- Aku selalu menghindari siaran TV atau film bermuatan kekerasan.
Plus-Minus Karakter Super Sensitif
Ada sisi positif dan negatif yang bisa dipetik dari karakter super sensitif, seperti terkait pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Menurut Dr. Aron di Psychology Today, kalangan ini bisa menangkap aspek-aspek paling kecil dan membayangkan segudang konsekuensi dari sebuah keputusan. Mereka bisa menderita sesederhana karena dilema dalam menentukan varian rasa es krim di toko.
Selain itu, mereka cenderung ingat memori spesifik—dari insiden memalukan 10 tahun lalu sampai tanggal ulang tahun teman-temannya.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Social Cognitive and Affective Neuroscience (2011) juga menunjukkan bahwa highly sensitive person menghabiskan waktu lebih lama saat mengamati foto-foto material tes karena mereka menyoroti hal-hal rinci.
Dalam pergaulan sehari-hari, highly sensitive person berusaha menghindari konflik dan kritikan. Berbeda dengan orang-orang yang tak memiliki sifat ini, highly sensitive person akan menjadikan kritikan sebagai hal personal—meskipun pihak yang melontarkan itu tak bermaksud menyerang pribadinya.
Keterpurukan, penyesalan, dan rasa bersalah akan menghantui highly sensitive person lebih lama saat dirundung masalah atau konflik. Oleh karena itu, dia lebih memilih menyenangkan orang-orang di sekitarnya supaya terhindar dari hal-hal yang berpotensi merusak mood atau bahkan bikin depresi.
Pada level manajemen di dunia profesional, sifat super sensitif bisa dianalogikan seperti dua sisi koin. Keunggulannya, orang dengan sifat ini bisa membangun relasi positif dengan sejawatnya.
Sisi buruknya, dia berpotensi kewalahan dan depresi saat bekerja di lingkungan yang jarang sekali tanpa kritikan dan masukan, demikian tulis Ken White dan Elwood Chapman dalam buku Organizational Communication: An Introduction to Communication and Human Relation Strategies (1996).
Kendati kerap dicap cengeng, berlebihan, dan diidentikkan dengan sederet karakteristik negatif lainnya, seorang dengan sensitivitas tinggi tak perlu mati-matian mengubah dirinya hingga seratus delapan puluh derajat. Alih-alih, sifat ini sepatutnya diterima dan dikendalikan karena sisi lemah pun dapat dikelola menjadi kekuatan untuk konteks-konteks tertentu.
Penting untuk mengenali sifat-sifat dalam diri sendiri, lalu belajar menerimanya sebagai bagian dari hal yang membuatmu autentik. Kalau orang di sekitarmu menganggap sifat itu membawa kendala signifikan, jangan sampai kamu menyalahkan diri sendiri!
Karena bisa jadi, diperlukan pengendalian sifat ini, atau bukan tidak mungkin pula, kamu selama ini berenang di kolam yang memang bukan buatmu.
*Artikel ini pernah tayang di tirto.iddan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Sekar Kinasih