tirto.id - Couple therapy atau terapi pasangan umumnya dilakukan bagi mereka yang sudah menikah, terutama yang pernikahannya tengah menghadapi beberapa tantangan dan kesulitan.
Meski begitu, pada kenyataannya, saat ini pasangan yang belum menikah atau dalam tahap pacaran sudah mulai memiliki kesadaran untuk melakukan konseling bersama ke psikolog.
"Bentuk treatment bagi pasangan yang belum menikah dan hendak menikah disebut dengan premarital counseling/therapy atau konseling/terapi pranikah," jelas psikolog senior Denrich Suryadi.
Menurut psikolog yang praktik di Morphosa, Jakarta Barat ini, konseling atau terapi pranikah penting karena masa pendekatan atau pacaran adalah masa untuk memahami calon pasangannya sebelum memastikan kesiapan mereka untuk menikah secara psikologis.
Menikah sering kali menjadi pilihan yang sulit bagi banyak orang. Ada rasa takut, kebingungan, setumpuk tanggung jawab, masalah penyesuaian, dan lain sebagainya.
Berdiskusi bersama pasangan tentang masalah, harapan, dan perencanaan masa depan dengan konselor yang berpengalaman dapat mengurangi stres dan kebingungan pada pasangan yang berencana menikah.
Dilansir dari Very Well Mind, konseling pranikah dapat menjadi ruang bagi pasangan untuk membahas rencana keuangan, sampai yang terkait dengan anak-anak, sehingga masing-masing dapat menyesuaikan pandangannya.
Mengutip statistik di situs Health Research Funding, pasangan yang menjalani konseling pranikah memiliki tingkat keberhasilan pernikahan 30 persen lebih tinggi daripada mereka yang tidak melakukan konseling.
Mereka juga cenderung lebih puas dalam pernikahan, memiliki komunikasi yang bagus sebagai pasangan, dan lebih mudah membicarakan topik-topik sulit seputar keuangan dan seks.
Selain itu, konseling pranikah dapat membantu mengidentifikasi potensi area konflik yang akan dihadapi sekaligus membekali pasangan dengan berbagai alat untuk mengatasinya.
Pendek kata, konseling pranikah bertujuan membantu pasangan untuk membangun fondasi yang kuat dalam pernikahan.
“Konseling pranikah membantu pasangan membuat cetak biru untuk kehidupan mereka bersama,” kata pakar psikologi relasi Sabrina Romanoff, PsyD.
Senada dipaparkan oleh Denrich, "Melalui konseling pranikah, kita menjadi lebih tahu tentang pasangan, sifat-sifatnya, dan kadar toleransinya sehingga kita akan lebih siap mengantisipasi dan merencanakan hal-hal yang harus dilakukan untuk hidup bersamanya.”
“Di konseling pranikah, kita akan mencari tahu apa yang perlu dilakukan agar bisa membersamai orang yang kita cintai seumur hidup. Dengan begitu, kita tidak akan merasa terjebak atau tertipu.”
Denrich melanjutkan, “Jika kita tidak kenal pasangan, maka kita tidak akan tahu level marahnya seperti apa, bagaimana cara dia menyelesaikan konflik, apakah dia punya riwayat bermasalah dalam aspek kesehatan mental, keuangan, dan lain sebagainya.”
Terdapat beberapa tipe metode untuk konseling pranikah yang pendekatannya cukup mirip dengan metode konseling untuk couple therapy pada pasangan sudah menikah.
Salah satunya, Gottman Method, mengajak pasangan untuk tidak sekadar mengenali dan memahami betul preferensi masing-masing, melainkan juga menyelami harapan, cita-cita, dan kerentanan pasangan.
Metode lain, Emotionally Focused Therapy (EFT), adalah terapi jangka pendek yang bertujuan meningkatkan bonding dan kasih sayang pasangan melalui komunikasi yang lebih baik.
Ada pula Psychodynamic Couples Therapy, yang mendorong pasangan untuk memahami bagaimana relasinya di masa kini sudah dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu dan pola-pola relasi yang tidak disadari.
Idealnya, konseling pranikah dapat berlangsung selama yang kita inginkan atau sesuai rekomendasi terapis. Meski begitu, durasinya rata-rata adalah beberapa bulan atau lebih.
Menurut pengamatan Denrich, peminatan terhadap konseling pranikah di Indonesia mulai menunjukkan tren positif, persisnya setelah pandemi COVID-19 kesadaran publik tentang kesehatan mental semakin meningkat.
“Sudah mulai banyak pasangan muda yang memiliki kesadaran tinggi untuk memulai konseling bersama pasangan, terutama jika relasi mereka mengarah ke pernikahan,” kata Denrich.
“Kalangan muda juga banyak yang menyaksikan pasangan-pasangan di sekitar mereka dengan segala masalahnya, sehingga mereka ikut terdorong untuk memastikan apakah relasi mereka siap dilanjutkan ke jenjang pernikahan tanpa perlu drama-drama yang dapat dicegah atau diantisipasi.”
Denrich menuturkan, pada saat proses konsultasi berlangsung, bukan tidak mungkin terjadi gesekan atau perselisihan yang tidak berujung mengenai kesamaan persepsi dan kesiapan menerima perbedaan terkait aspek tertentu.
“Apabila hal itu terjadi, maka keputusan tetap kembali pada pasangan itu sendiri, apakah tetap maju atau mundur. Jika mereka tetap mau menikah, mereka harus lebih terbuka dan siap menerima konsekuensi yang akan terjadi. Harus siap dengan pencegahan atau solusi dengan kesepakatan bersama.”
Terkait kasus pasangan yang tidak jadi menikah setelah konseling, Denrich berpendapat, “Keputusan tersebut adalah keputusan bersama yang pasti juga bertujuan baik bagi mereka berdua karena kehidupan mereka berpotensi jadi lebih sehat.”
Pada akhirnya, konseling pranikah menawarkan ruang yang netral bagi pasangan untuk membahas dan merencanakan aspek-aspek penting dalam pernikahan.
Terapis, psikolog, atau konselor dapat membantu memandu pasangan melalui diskusi-diskusi sehingga menjadi produktif.
“Salah satu aspek konseling pranikah yang paling efektif adalah kesempatan untuk meningkatkan keterampilan komunikasi dengan menanamkan strategi dan menyelesaikan konflik yang berulang dalam hubungan,” ujar Romanoff.
Nah, bagi kalian yang saat ini berada di tahap pacaran dan berencana akan menikah, sudahkah mempertimbangkan untuk konseling pranikah bersama pasangan ke psikolog?
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih