tirto.id - Apakah selama ini kamu rutin melakukan medical check-up?
Melalui medical check-up, kita dapat mengenali gejala-gejala penyakit. Apakah masing-masing sistem organ tubuh sudah menjalankan tugasnya untuk menopang aktivitas sehari-hari kita? Apakah ‘komunikasi’ antarsistem di dalam tubuh berjalan lancar?
Apabila hasil pemeriksaan kesehatan mengindikasikan adanya gejala atau masalah, kita dapat segera mengenalinya dan mengobatinya.
Nah, jika itu merujuk pada kesehatan fisik, bagaimana dengan yang sifatnya kasat mata? Kesehatan emosional, misalnya, dalam konteks menjalin relasi dengan pasangan atau hubungan suami dan istri.
Apakah hubunganmu dengan pasangan masih dalam satu visi dan misi yang sama? Apakah kalian masih kompak?
Kesehatan emosional dalam sebuah relasi akan tetap kuat apabila individu-individu di dalamnya saling mendukung. Keintiman, kepercayaan, dan komunikasi yang efektif adalah pilar dasar dari hubungan yang sehat.
Terkait itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan terapi pasangan atau couple therapy.
Meskipun istilahnya terdengar serius atau menakutkan, couple therapy punya maksud yang bagus.
Alih-alih bertujuan untuk mencari-cari kesalahan suami atau istri, langkah ini menjadi awal dari sebuah proses kolaboratif untuk memahami dinamika hubungan yang unik.
Couple therapy atau terapi pasangan, melansir Very Well Mind, adalah bentuk psikoterapi yang dapat membantu pasangan untuk memperbaiki kualitas hubungannya.
Kamu dan pasanganmu dapat mempertimbangkan untuk melakukan terapi ini ketika kalian merasakan tanda-tanda adanya kesulitan atau tantangan dalam menjalani relasi.
“Terapi pasangan dapat mengatasi berbagai masalah hubungan, termasuk konflik yang berulang, perasaan terputus, perselingkuhan, masalah yang berhubungan dengan seks, atau kesulitan karena stres eksternal,” kata psikolog dan spesialis terapi pasangan Brian Mueller, PhD dari Columbia University Medical Center.
Selain itu, menurut penjelasan di situs J. Flowers Health Institute, masalah yang ditemui pada pasangan yang melakukan terapi ini umumnya berkaitan dengan hambatan komunikasi, konflik yang belum terselesaikan, dan isu kesehatan mental.
“Psikolog akan membantu memetakan masalah pasangan ada di mana,” terang Denrich yang juga dosen di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara.
“Dalam relasi, value itu paling penting. Apakah pasangan tersebut memiliki visi-misi yang sama, karakter dan kepribadian mereka seperti apa?"
Menurut Denrich, beberapa pasangan yang direkomendasikan untuk melakukan couple therapy awalnya mungkin tidak menyadari bahwa mereka perlu melakukannya.
"Awalnya, sepasang suami-istri berkonsultasi tentang masalah pada anak mereka. Ternyata, mereka sebagai pasangan menyadari perlu juga melakukan couple therapy karena menduga ada problem dalam pernikahan yang berimbas pada pengasuhan anak,” cerita Denrich.
Denrich mengamati, meskipun terdapat banyak pasangan yang disarankan untuk melakukan terapi yang fokus pada relasi mereka, nyatanya yang mau melakukannya cenderung lebih sedikit.
Alasannya bermacam-macam.
"Ada yang datang hanya ingin memperbaiki problem pengasuhan anak—kompak untuk masalah anak saja. Ada juga pasangan yang salah satunya tidak mau ikut terapi dan bersikap defensif.”
Apabila salah satu pasangan menolak melakukan terapi, Denrich akan berusaha memberdayakan pasangan yang bersedia saja.
"Misalnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga atau perselingkuhan,” Denrich mencontohkan, “Jika salah satu pasangan tidak mau ikut terapi, maka kami tangani dulu yang mau terapi. Kami sembuhkan dia dari luka batin dan trauma, kemudian menganalisis masalahnya dan mencegah agar tidak terjadi lagi.”
Melansir laman American Psychological Association (APA), selama ini pakar memperkirakan 40 sampai 50 persen pernikahan di Amerika Serikat berakhir dengan perceraian.
Di satu sisi, penting dipahami bahwa hubungan sosial yang baik berperan penting untuk kesehatan dan kesejahteraan jiwa kita.
Maka dari itu, berkonsultasi ke psikolog dengan pasangan perlu dipertimbangkan sebagai langkah pertama untuk mengidentifikasi tantangan dan kesulitan dalam suatu hubungan.
Evaluasi ini akan membantu psikolog atau terapis untuk mengidentifikasi masalah yang tengah dihadapi pasangan.
Lalu, terapi apa saja yang biasanya diterapkan pada pasangan?
Ada beberapa jenis terapi. Kembali melansir penjelasan Mueller dari Very Well Mind, salah satunya disebut Emotion-Focused Therapy (EFT).
Terapi ini mengupayakan peningkatan bonding atau koneksi antarpasangan dan mendorong mereka untuk lebih mengenali dan mengelola emosi.
Lainnya, Metode Gottman, menelusuri konflik-konflik dalam relasi dan mendorong pasangan untuk mengasah kemampuan problem-solving atau penyelesaian masalah. Hasilnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas keintiman pasangan.
Ada juga metode yang berorientasi pada aspek-aspek positif, disebut Pendekatan Ellen Wachtel. Pasangan didorong untuk melakukan refleksi diri, alih-alih saling menyalahkan.
Sementara itu, menurut pemaparan Denrich, teknis pendekatan yang digunakan untuk terapi pasangan sangat tergantung pada konflik dan kasusnya.
“Apabila masalah cukup berat dan sudah berlangsung lama, konsultasi dilakukan satu per satu. Tujuannya agar mereka dapat mengobservasi dan mengevaluasi satu sama lain saat berada di rumah,” ujar Denrich.
“Namun jika pasangan sedang berkonflik sengit, saya akan menyarankan mereka datang konsultasi berdua, agar saya dapat mengamati cara mereka berkomunikasi," tambahnya.
Denrich mengatakan, idealnya, terapi pasangan dilakukan sekali dalam satu tahun.
Selama ini, Denrich mengamati, pasangan-pasangan muda yang berusia di bawah usia 30 tahun cenderung memiliki kesadaran tinggi akan hubungan pernikahan yang sehat.
“Mereka tidak segan-segan datang ke psikolog untuk berkonsultasi tentang masalahnya," ujar Denrich.
Menurut Denrich, isu kesehatan mental menjadi penting di kalangan anak muda persisnya pascapandemi COVID-19.
Melakukan konseling bersama pasangan, Denrich meyakini, akan memberikan banyak manfaat.
"Memperbaiki kejenuhan dalam hubungan, belajar untuk terbuka atau mengutarakan isi hati pada pasangan, mendeteksi bibit-bibit konflik—karena jika bibit-bibit ini dipendam bertahun-tahun bisa jadi bom waktu dalam pernikahan," jelas Denrich.
Manfaat lain dari terapi pasangan, mengutip pemaparan Dr. Meaghan Rice, PsyD., LPC di Talk Space, adalah mendapatkan sudut pandang baru dari terapis yang tepercaya dan tidak memihak dengan perspektif profesional tentang langkah selanjutnya.
“Kebanyakan pasangan merasa mereka sekadar berputar-putar di titik yang sama tanpa kemajuan, akan tetapi sentuhan profesional dapat menyatukan kedua belah pihak sambil tetap memberi ruang bagi masing-masing pasangan untuk bersuara,” jelas Rice.
Tak kalah penting, Rice menambahkan, terapi pasangan dapat mengembalikan trust atau kepercayaan terhadap satu sama lain yang sempat memudar karena konflik.
Di sesi terapi, pasangan akan bersama-sama menyelami alasan-alasan di balik pudarnya kepercayaan terhadap satu sama lain. Keduanya dapat belajar untuk memperjuangkan maaf atau pengampunan, kemudian menciptakan ruang baru untuk membangun kepercayaan lagi.
Meski kita lebih sering mendengar couple therapy pada pasangan menikah atau sudah punya anak, terapi ini sebenarnya dapat dilakukan oleh pasangan pada tahap hubungan apa pun. Misalnya, yang masih berpacaran atau tengah bersiap-siap untuk lebih serius dalam hubungannya.
Sebagaimana medical check-up, terapi konseling bersama pasangan dapat menjadi langkah pencegahan dan perlindungan agar hubungan terpelihara baik.
Mau tahu lebih lanjut tentang couple therapy? Nantikan di artikel berikutnya, ya!
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih