tirto.id - “They say nothing lasts forever; dreams change, trends come and go, but friendships never go out of style.”
Apa kamu setuju dengan ungkapan Carrie Bradshaw dari serial komedi romantis Sex and the City di atas?
Kehadiran orang lain sebagai penopang jiwa kita memang tidak terbatas dalam ikatan cinta yang romantis, melainkan juga bisa terwujud dalam simpul persahabatan yang tulus dan penuh makna.
Seperti Carrie, sebagian dari kita mungkin percaya bahwa persahabatan dapat dipertahankan selama-lamanya.
Meski begitu, sebagaimana relasi sosial yang sifatnya dinamis, persahabatan pun berpotensi retak kapan saja.
Retakan dalam persahabatan acap kali datang seiring perubahan fase kehidupan—menikah, memiliki anak, menapaki karier, atau berpindah tempat tinggal.
Bahkan, pergeseran keyakinan politik atau kebiasaan yang berubah akibat pandemi dapat menjadi pemicunya.
Berangkat dari kesalahpahaman hingga rasa cemburu, upaya untuk memperbaiki persahabatan bisa jadi terhalang oleh tembok gengsi atau ketakutan untuk berdamai.
Dalam situasi seperti ini, apa yang sebaiknya dilakukan? Perlukah kita mengundang orang ketiga untuk menjadi penengah? Dalam hal ini, apakah profesional seperti psikolog atau terapis dapat membantu dua hati sahabat yang beku agar kembali menghangat?
Mengenal Terapi Persahabatan
Menyelamatkan persahabatan yang nyaris pupus dengan bantuan terapi psikologi, atau terapi persahabatan, ternyata bisa menjadi alternatif penanganan konflik dengan sahabat.
Tren yang mulai mendulang popularitas di Amerika Serikat ini bermula dari pengalaman dua sahabat, Aminatou Sow dan Ann Friedman, pada 2016 silam.
Dalam buku yang mereka tulis bersama, Big Friendship: How We Keep Our Friendship Close (2020), terungkap bahwa persahabatan mereka sudah terjalin selama satu dekade.
Selain terikat oleh kesamaan minat, mereka juga bekerja sama memproduksi siniar populer atau podcast tentang persahabatan jarak jauh bertajuk Call Your Girlfriend yang telah berjalan sejak 2014.
Seiring itu, Sow dan Friedman sering datang ke acara pernikahan bersama dan menegaskan ke orang-orang di sekitar mereka betapa pertemanan mereka sama pentingnya dengan relasi romantis atau ikatan keluarga. Mereka bahkan membuat tato serasi bergambar lingkaran yang saling terhubung.
Meski terlihat akrab di depan publik, siapa sangka, di balik layar, pertemanan mereka mulai renggang. Sayangnya, kerenggangan itu dikunci dalam diam.
Tak butuh waktu lama, percikan konflik mulai terlihat di permukaan dan akhirnya mendorong mereka untuk mencari bantuan profesional melalui terapi dengan psikolog dan terapis.
Mereka bahkan sempat memecat terapis yang menganggap masalah mereka didasari ketertarikan romantis.
Seiring perkembangan zaman, kebutuhan terapi persahabatan kian bertambah. Demikian disampaikan Barbie Atkinson, psikoterapis dan konselor profesional yang menawarkan terapi pertemanan di Catalyst Counseling, Houston, kepada Time.
Menurut Atkinson, saat ini sekitar 25 persen kliennya terdiri dari pasangan atau bahkan kelompok teman yang menjalani terapi secara bersama-sama.
Pengalaman Melakukan Terapi Persahabatan
Sow dan Friedman, dilansir dari Guardian, menceritakan bahwa fokus awal pada terapi persahabatan adalah mencari tahu bagaimana mereka saling menyakiti dan apa yang tidak pernah mereka ungkapkan satu sama lain.
Upaya ini perlahan membuahkan hasil. Pihak terapis membantu mereka berdua untuk melihat retakan dalam hubungan mereka, yang sebagian besar disebabkan oleh perbedaan cara komunikasi.
Friedman, yang karakternya protektif, memutuskan untuk menghina pasangan Sow dalam rangka melindungi sahabatnya tersebut. Di sisi lain, tindakan Friedman membuat Sow merasa dirinya tidak didukung. Akibatnya, Sow mulai menyembunyikan kehidupan romantisnya sehingga jarak di antara mereka semakin lebar.
Pengalaman serupa juga dirasakan oleh Christie Tate yang menuangkan refleksi dari terapi persahabatannya dalam memoar berjudul B.F.F.: A Memoir of Friendship Lost and Found (2023).
Melansir kisahnya dari Goop, Tate bertanya-tanya, mengapa persahabatannya dengan Deb tidak dapat bertahan setelah mereka beralih dari perempuan lajang menjadi ibu yang sudah menikah dan memiliki anak.
Tidak sedikit kaum ibu, terutama ibu-ibu muda, mengalami hal serupa. Kontak dengan teman menurun drastis setelah memiliki anak, terutama di tahun-tahun awal.
Hal tersebut pernah dikonfirmasi dalam sebuah riset di Belanda pada 2017. Pengalaman ini juga banyak dibagikan oleh ibu-ibu di media sosial juga ibu yang bercerita demikian di TikTok.
Menurut Tate, konflik mulai muncul ketika Deb kecewa karena Tate membuat rencana dengan teman lain dan pulang lebih awal pada acara pembaptisan putra Deb untuk mengurus bayinya sendiri.
Melalui terapi persahabatan, Tate akhirnya menyadari bahwa ia tidak mampu mendukung Deb secara emosional karena dirinya sendiri tengah berjuang. Ketakutan untuk berkata jujur membuatnya perlahan menarik diri sehingga tanpa sadar ia telah melakukan tindakan ghosting pada sahabatnya.
Terapi Persahabatan di Indonesia
Di masyarakat Indonesia, terapi persahabatan masih tergolong sebagai jenis konseling yang asing. Kasus dua sahabat datang bersama ke psikolog untuk memperbaiki hubungan yang berkonflik cenderung belum lazim ditemui, demikian dikonfirmasi oleh Rininda Mutia, M.Psi., Psikolog dari penyedia layanan konseling Amanasa.
Psikolog yang kerap disapa Ninda ini menuturkan, dirinya belum pernah menangani dua sahabat yang berkonsultasi secara bersama-sama.
“Tapi, pernah ada yang datang untuk konseling diantar oleh sahabatnya. Sahabatnya pun juga ingin lebih paham bagaimana memberikan dukungan kepada klien,” ujar Ninda.
Ninda menambahkan bahwa, pada umumnya, ketika berkonsultasi tentang masalah relasi persahabatan, hanya salah satu pihak yang datang untuk konseling, “Mungkin sahabatnya [yang lain] konseling dengan psikolog yang berbeda atau di waktu yang berbeda.”
Meski belum lazim, menurut Ninda, konseling dengan sahabat bisa menjadi cara efektif untuk menyelesaikan konflik, asalkan kedua belah pihak benar-benar berkomitmen untuk memperbaiki hubungan.
Berdasarkan laporan dari Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) (2022), survei kesehatan mental nasional pertama pada remaja di Indonesia, terungkap betapa sedikitnya akses terhadap layanan profesional.
Dari 5.664 rumah tangga yang disurvei, hanya 2 persen remaja berusia 10-17 tahun yang mencari bantuan atau konseling dalam 12 bulan terakhir. Dari persentase tersebut, sebanyak 21,7 persen remaja mengakses layanan sebanyak 2-4 kali, sementara hanya 2,7 persen remaja yang kembali sampai sebanyak 5 kali atau lebih.
Pada 2022, Populix juga melakukan survei terhadap 1.005 responden berusia 18-54 tahun terkait akses masyarakat terhadap psikolog. Hasilnya, hanya 9 persen responden yang memilih berkonsultasi dengan profesional saat menghadapi masalah kesehatan mental.
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih