Menuju konten utama

Seni Menghadapi Konflik dengan Sahabat

Persahabatan yang betul-betul berkualitas tidak akan usai gara-gara sebuah konflik. Namun ada saatnya juga kita harus tahu kapan untuk mengakhiri.

Seni Menghadapi Konflik dengan Sahabat
Header diajeng Persahabatan. tirto.id/Quita

tirto.id - Millennials are the loneliest generation.

Kamu mungkin sudah tidak asing dengan kalimat di atas—atau mungkin merasa ikut terwakili?

YouGov menggunakannya sebagai judul untuk laporannya pada 2019 silam tentang survei pertemanan di kalangan Milenial, Gen X, dan baby boomers.

Dalam temuan mereka, terungkap 22 persen responden Milenial mengaku tidak punya teman, 27 persen tidak punya teman dekat (close friend), dan 30 persen tidak punya sahabat (best friend). Perolehan angka-angka tersebut adalah yang tertinggi dibandingkan pada demografi usia lainnya.

Di iklim sosial budaya yang begitu kencang mengglorifikasi narasi romantis, persahabatan memang terkesan dinomorduakan. Padahal, baik relasi asmara dan hubungan persahabatan memiliki porsi masing-masing untuk memberi makna pada dunia kita.

Menurut sejumlah studi yang dirangkum di artikel The Science of Why Friendships Keep Us Healthy dari American Psychological Association, orang-orang yang punya teman dan sahabat cenderung memiliki kepuasan lebih tinggi dalam hidupnya, bahkan lebih kecil kemungkinannya mengalami depresi. Memiliki teman juga dapat mengurangi potensi meninggal dunia karena sakit, termasuk karena masalah jantung dan penyakit kronis lainnya.

Dikutip dari sumber yang sama, profesor psikologi Catherine Bagwell, PhD, menyampaikan, “Saat menghadapi berbagai tantangan hidup, mempunyai seorang teman dekat untuk bersandar dapat menjadi penahan atau pelindung dari dampak hal-hal negatif yang kita temui.”

Nah, seiring sahabatmu ikut mewarnai sebagian hari-harimu, pernahkah kamu bertanya-tanya, seberapa berkualitas persahabatan yang sudah kalian jalani selama ini?

Melansir artikel ilmiah berjudulAdult Friendship and Wellbeing: A Systematic Review with Practical Implications (2023), terdapat enam komponen fungsional dalam persahabatan orang dewasa yang dapat menjadi penentu kualitasnya.

Fungsi tersebut meliputi stimulating companionship (merujuk pada pertemanan untuk menjalani aktivitas yang seru dan menyenangkan), social support (dukungan emosi, materi, dan informasi), emotional security (rasa aman dan nyaman saat menghadapi situasi sulit).

Selain itu, masih ada fungsi reliable alliance (pertemanan yang terpercaya, loyal, dan dapat diandalkan saat kamu membutuhkan pertolongan), self-validation (memvalidasi tentang dirimu dan membuatmu memiliki citra diri yang positif), dan intimacy (menjadi arena untuk berbagi hal-hal yang kamu anggap personal dan rahasia, seperti perasaan dan pemikiran, atau informasi yang sensitif).

Apabila kamu yakin fungsi-fungsi tersebut sudah terpenuhi dalam hubungan pertemananmu, selamat, kamu dan temanmu bisa disebut punya relasi yang solid dan berkualitas!

diajeng Persahabatan

Ilustrasi diajeng Persahabatan. (FOTO/iStockphoto)

Namun, sebagaimana hubungan asmara yang tak selalu dibumbui dengan momen manis nan romantis, persahabatan pun tak selalu hangat dan suportif.

Sedekat apa pun hubunganmu dan sahabatmu, kalian bisa terlibat dalam pertengkaran atau perilaku menyakiti lainnya yang bukan tidak mungkin berkembang jadi konflik.

Meski begitu, jika relasi dengan sahabatmu betul-betul berkualitas, konflik tidak akan membuat persahabatan kalian usai atau downgrade menjadi pertemanan biasa.

Sebaliknya, konflik dapat membantu persahabatan kalian untuk tumbuh. Sebab, saat berkonflik, kalian saling “belajar” tentang diri sahabat dan diri sendiri.

Pertanyaannya, mampukah kita mengonfrontasi sahabat kesayangan ketika dia melakukan kesalahan yang menimbulkan konflik?

Sebagian besar dari kita mungkin cenderung khawatir bahwa persahabatan, terutama yang sudah dibangun selama belasan tahun atau semenjak masa kanak-kanak, akan rusak dengan adanya konflik.

Alhasil, kita akan berusaha memendam kegusaran—ngedumel di dalam hati tanpa memberi tahu bahwa apa yang sudah teman kita lakukan itu bikin kita tidak nyaman.

Saat teman kita berbuat salah lagi, bukan tidak mungkin kita kembali memendam rasa kesal, yang kelak menumpuk, sampai akhirnya kita mulai menghindar bertemu atau berkomunikasi dengannya.

Akhirnya, persahabatan pun remuk dan terancam berakhir.

Psikolog, penulis buku, dan dosen dari University of Maryland, Dr. Marisa G. Franco, mengatakan bahwa tindakan kita yang tidak mau menyelesaikan masalah itulah yang sebenarnya dapat memicu konflik dalam persahabatan.

Sebaliknya, menyampaikan dengan tenang apa yang kita rasakan tentang kesalahan yang dilakukan oleh sahabat merupakan kunci untuk memperbaiki persahabatan.

“Jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan dilakukan oleh sahabat dan kamu merasa tindakannya akan berpengaruh ke persahabatan kalian, maka sebaiknya sampaikan saja apa yang kamu rasakan,” ujar Franco saat menjadi bintang tamu di podcastDear Nina: Conversation about Friendship pada 2022 silam.

“Apalagi jika ternyata tindakan temanmu bikin kamu marah. Kalau dibiarkan, rasa marahmu akan terakumulasi dan kamu akhirnya memilih untuk mengakhiri persahabatan,” lanjut Franco.

Menyampaikan apa yang kamu rasakan pun tidak bisa asal. Meski kamu mengerti bahwa bukan dirimu yang berbuat salah, kamu harus jadi pihak yang tenang dan menjaga agar suasana tidak menjadi tegang.

Franco menyarankan, gunakan empati saat membicarakan konflik tersebut dengan sahabat. Tanamkan di pikiran bahwa apa yang kamu lakukan memiliki tujuan yang positif, yaitu memperbaiki persahabatan dan menjaganya agar tidak berakhir.

Sampaikan apa yang kamu rasakan tanpa unsur menyalahkan. Saat temanmu menyampaikan penjelasan versinya, cobalah untuk juga melihat dari sudut pandangnya tanpa mengabaikan sudut pandangmu.

Terlebih dari itu semua, Marisa mengingatkan, “Konflik dalam persahabatan itu sesuatu yang berat. Jika sahabatmu tidak terbiasa menyelesaikan konflik dengan baik, maka mungkin dia akan merasa bahwa kamu menyerangnya. Jadi dia mungkin akan defensif atau menyerang balik. Kalau sudah begitu, kamu harus tetap tenang dan berusaha mengurangi ketegangan meski sudah sangat kesal.”

Saat kamu dan sahabatmu ingin menyelesaikan masalah, ini artinya kalian saling menyayangi dan ingin memperbaiki relasi. Pendeknya, kalian jadi sama-sama belajar bagaimana menjadi sahabat yang lebih baik baik.

Pelajaran ini akan membuatmu berkembang secara pribadi. Fondasi persahabatan kalian pun jadi semakin kuat. Inilah alasannya kenapa konflik disebut dapat membawa manfaat bagi persahabatan.

diajeng Persahabatan

Ilustrasi diajeng Persahabatan. (FOTO/iStockphoto)

Nah, bagaimana jika tindakan sahabatmu sudah keterlaluan? Padahal, masalah dan solusinya sudah dibicarakan berulang kali.

Kali ini, tidak ada salahnya kamu bersikap tegas dan memilih keluar dari persahabatan tersebut. Demikian saran dari Miriam Kirmayer, PhD, psikolog klinis dan pakar relasi pertemanan dikutip dari Wondermind.

“Saat persahabatanmu sudah mengganggu hidupmu, saat apa yang dilakukan sahabatmu sudah melanggar nilai-nilai atau batasan yang membuatmu merasa tidak aman dan nyaman, saat kamu sudah mencoba berbagai cara untuk menyampaikannya tapi tidak ada perubahan, maka sudah saatnya kamu keluar dari persahabatan itu.”

Mengakhiri relasi dengan seseorang yang kamu sayang dan kamu anggap penting dalam hidupmu memang berat dan berpotensi bikin kamu patah hati.

Meski begitu, apabila relasi kalian sudah tidak bisa diperbaiki, sebaiknya tidak perlu dipaksakan karena tidak membawa kebaikan bagi dirimu. Jadi, coba kumpulkan kekuatan dan beranikan diri untuk mengakhiri persahabatan.

Pada akhirnya, kita tidak dapat memaksakan, atau bersikap naif dengan berharap, orang lain mau berubah demi diri kita.

Semua kembali pada keputusanmu sendiri, dalam hal ini adalah sejauh mana sebuah relasi persahabatan memberikan manfaat buatmu sehingga masih patut untuk diperjuangkan.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yunita Lianingtyas

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Yunita Lianingtyas
Penulis: Yunita Lianingtyas
Editor: Sekar Kinasih