Menuju konten utama

Mengusik Jalur Militer demi Penerbangan Komersial

Presiden Jokowi mengizinkan dipergunakannya wilayah udara selatan Pulau Jawa sebagai jalur penerbangan komersial. Meski akan mengusik jalur militer, tetapi banyak keuntungan yang akan dirasakan pemerintah, pemilik maskapai, dan para calon penumpang.

Mengusik Jalur Militer demi Penerbangan Komersial
Aktivitas kedatangan dan keberangkatan penerbangan di bandara Ngurah Rai, Bali, Kamis (18/5). [antara foto/wira suryantala/nym/pd/16]

tirto.id - Pemerintah berencana membuka ruang udara di selatan Pulau Jawa bagi jalur penerbangan komersil. Uji coba bakal dilakukan sebulan, mulai 17 Agustus hingga 17 September 2016. Langkah ini diharapkan bisa memangkas sepertiga kepadatan pesawat komersil di jalur udara di utara Pulau Jawa, meski bakal "mengusik" jalur latihan pesawat tempur milik TNI Angkatan Udara.

Presiden Jokowi sebenarnya sudah menyetujui usulan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada rapat terbatas yang membahas pola operasi bandara enclave sipil dan pemanfaatan ruang udara selatan Pulau Jawa, pada 13 Juli 2016. Oleh karena presiden telah memberi persetujuan, secara otomatis Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna pun merestuinya.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan, pemerintah telah meminta izin untuk menggunakan jalur penerbangan militer tersebut.

“Jadi yang dikatakan Bapak Seskab, ini bahasa Inggrisnya restricted ya. Jadi bukan terlarang itu tidak boleh, tapi restricted ini biasanya ruang udara selatan Jawa hanya digunakan untuk penerbangan non sipil, atau penerbangan militer. Nah, sekarang akan digunakan secara sharing (bersama-sama),” kata Menhub Jonan.

Rencana pemerintah membuka jalur selatan, didasari pertimbangan utama bahwa jalur penerbangan komersial di utara sudah terlalu padat. Selama ini, jalur penerbangan pesawat komersial yang melintas di Pulau Jawa memang hanya menggunakan jalur utara.

Masalahnya, sejak tiga hingga lima tahun belakangan, arus penerbangan di jalur utara semakin padat seiring kebutuhan masyarakat akan jasa transportasi udara. Pembukaan jalur selatan sudah semakin mendesak. Apalagi sebenarnya, ruang udara utara Jawa sudah dibuat dua jalur alias pulang-pergi untuk rute yang sama.

Kepadatan terjadi mengingat jalur itu dilintasi pesawat dengan tujuan atau asal kota-kota di Pulau Jawa menuju kota lainnya di pulau yang sama. Belum lagi pesawat yang menuju atau pulang ke kota-kota di luar Pulau Jawa. Beberapa jalur yang selama ini mempergunakan jalur utara di antaranya Jakarta-Solo, Jakarta-Semarang, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Malang, Jakarta-Bali, Jakarta-Lombok, Jakarta-Kupang, Jakarta-Makassar, Jakarta-Ambon, atau Jakarta-Papua. Belum lagi Yogyakarta-Bali, Yogyakarta-Surabaya, atau Solo-Surabaya.

Menurut Direktur Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan, Novi Riyanto, pemerintah mau tak mau harus membuka jalur yang selama ini ditabukan guna mengurangi kepadatan jalur utara. “Sekarang kita masih menunggu jatah jam penerbangan dari TNI AU," kata Novi kepada tirto.id, pada Senin (25/7/2016).

Kepadatan di jalur utara, per harinya mencapai 280 pesawat. Dengan asumsi penerbangan dimulai pukul 04.00 wib hingga 22.00 wib, artinya 280 pergerakan itu terjadi hanya dalam rentang 18 jam. Artinya, setiap jam terdapat 16 pesawat yang memenuhi jalur utara.

Hemat

Jika jalur selatan Pulau Jawa dibuka untuk penerbangan komersial, hampir dipastikan akan terjadi penghematan yang bisa membuat para pengusaha pemilik maskapai tersenyum lebar. Betapa tidak, dibukanya jalur selatan ini akan membuat sejumlah rute penerbangan menjadi lebih dekat. Dampaknya tentu saja berkurangnya penggunaan bahan bakar.

Sebagai contoh penerbangan Jakarta – Bali. Jika melalui jalur utara memerlukan waktu tempuh 2 jam, penerbangan melalui jalur selatan akan memangkas waktu hingga 15 menit. Untuk pesawat tipe Boeing 737, setiap jamnya dibutuhkan avtur sebanyak 2.500 liter hingga 3.000 liter. Jika penerbangan selama dua jam, dibutuhkan avtur 5.000 hingga 6.000 liter avtur.

Nah, pemotongan waktu selama 15 belas menit, bakal menghemat avtur antara 600 liter hingga 700 liter. Sepintas, penghematan terlihat tak banyak. Namun, jika dikalikan total 48 penerbangan rute Jakarta-Bali per hari, bakal ada penghematan 28.800 liter hingga 33.600 liter avtur.

Berapa rupiah angka penghematannya? Pada laman resmi Pertamina, harga avtur untuk Bandara Soekarno-Hatta adalah Rp 9.460 per liter. Maka, penghematan untuk sekali terbang sekitar Rp 5 juta. Sedangkan untuk total penerbangan Jakarta-Bali sekitar Rp 240 juta per hari.

Penghematan bahan bakar itu belum termasuk economic level yang bisa didapatkan oleh tiap pesawat saat berada di ketinggian tertentu. Economic level merupakan kondisi di mana pesawat bisa mendapatkan nilai ekonomis akibat kecepatan yang optimal dan penggunaan bahan bakar yang lebih efisien.

Economic level sebuah pesawat yang melintas di jalur utara Jawa berada pada ketinggian 35.000 kaki. Persoalannya, arus yang padat membuat pesawat hanya diizinkan terbang di ketinggian maksimal 30.000 kaki. Tentu saja pesawat tak bisa berada dalam kondisi paling menguntungkan karena penggunaan BBM dipastikan naik. Namun, jika nantinya jalur selatan dibuka, maka economic level diprediksi bisa dicapai oleh masing-masing pesawat karena jalur yang tak terlalu padat.

Menurut Alvin Lie, pengamat penerbangan, semakin hematnya penggunaan avtur bakal menguntungkan konsumen karena harga tiket juga lebuh murah. “Penurunan bisa mencapai 10 persen hingga 20 persen,” katanya kepada tirto.id.

Selain keuntungan ekonomis, jalur penerbangan selatan juga menawarkan dua hal penting dalam dunia transportasi udara, yakni kecepatan dan keselamatan. Pembukaan jalur selatan secara otomatis akan mengurai kepadatan jalur utara dan meningkatkan keselamatan penerbangan, sekaligus membuat perjalanan menjadi lebih cepat.

Untuk rute Jakarta-Bali misalnya, pesawat tidak perlu lagi berputar melalui utara Jawa baru kemudian berbelok ke Bali yang total membutuhkan waktu sekitar dua jam. Namun, bisa langsung menyusuri selatan Jawa dan menyeberang ke Pulau Dewata yang bisa menghemat sekitar 15 menit.

Menarik menyimak apa yang disampaikan Alvin Lie, bahwa dibukanya jalur penerbangan selatan bisa menjadi momentum merubah mindset pertahanan negara. Selama ini, pangkalan udara terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara di daerah perbatasan yang rawan, seperti di Kalimantan dan daerah timur Indonesia kerap luput dari perhatian.

“Dibukanya jalur baru ini tidak hanya memaksa TNI AU untuk berbagi waktu dengan penerbangan komersil, tapi juga sekaligus mendorong agar konsentrasi pangkalan udara tidak hanya terfokus di pulau Jawa saja,” katanya.

Sementara Gerry Soejatman, pengamat penerbangan dari Aviation Consultant Comunic Avia, justru lebih melihat sepinya penerbangan komersil di jalur selatan sebagai keuntungan bagi pihak maskapai dan konsumen. Kondisi rute yang sepi bakal mengurangi masa tunggu pesawat baik di udara maupun di darat.

“Jangan lupa, biaya tidak hanya terkait jarak. Ongkos tunggu pesawat juga ada. Bukan hanya di udara tapi juga di darat. Pokoknya menunggu itu mengeluarkan biaya. Bukan hanya biaya bagi maskapai, tapi juga biaya psikologi bagi penumpang,” katanya.

Membuka jalur penerbangan disebut banyak menghasilkan keuntungan. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah infrastruktur untuk jalur penerbangan selatan ini. Sudah siapkah?

Baca juga artikel terkait PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Indepth
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti