Menuju konten utama

Membangun Udara Lupa Daratan

Ruang udara selatan Pulau Jawa yang selama ini khusus untuk penerbangan militer akan dibuka untuk penerbangan komersial atau sipil. Pembukaan jalur baru ini akan mengurangi beban jalur udara utara Jawa yang sudah sangat padat. Sayangnya, upaya tersebut belum diimbangi penambahan infrastruktur fasilitas udara di darat seperti terminal dan runway bandara.

Membangun Udara Lupa Daratan
Sejumlah pesawat terparkir di apron di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (6/6). [Antara foto/Fanny Octavianus]

tirto.id - Udara di selatan Pulau Jawa akan semakin riuh. Rencananya, pemerintah akan membuka jalur tersebut untuk penerbangan publik. Selama ini, jalur tersebut hanya dikhususkan untuk penerbangan militer, tanpa sipil.

“Diharapkan mudah-mudahan pada bulan Agustus, Pak Menhub, 17 Agustus sampai dengan 17 September (uji coba) nanti evaluasinya, ruang udara selatan itu akan bisa dimanfaatkan,” kata Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui usulan dibukanya jalur udara selatan Jawa dalam rapat terbatas 13 Juli 2016 lalu tentang pola operasi bandara enclave sipil dan pemanfaatan ruang udara selatan Pulau Jawa. Gagasan yang disampaikan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan ini juga telah disetujui oleh Panglima TNI dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara. Tujuan utama keputusan ini untuk meningkatkan keselamatan dan kapasitas penerbangan di langit utara Jawa yang sudah sangat padat.

Rencananya, jalur selatan ini akan diutamakan untuk rute penerbangan Jakarta - Yogyakarta, Jakarta - Solo, dan Jakarta - Denpasar sebaliknya. Di atas kertas, penerbangan Jakarta - Denpasar akan menghemat waktu 10 menit bila lewat selatan, sehingga ongkos BBM penerbangan bisa turun sampai 15 persen. Dibukanya jalur selatan ini diharapkan bisa mengurangi beban frekuensi penerbangan di utara Jawa hingga 35 persen.

Keputusan Jokowi ini bukan hal yang mudah. Proses pembahasannya sudah dimulai sejak awal tahun dalam rapat terbatas 8 Januari 2016. Maklum saja, rencana ini tentu akan mengusik kawasan “bermain” militer untuk kegiatan latihan atau pertahanan udara. Akibat keputusan ini, ke depannya tak mustahil akan ada pergeseran pangkalan-pangkalan militer di jantung Pulau Jawa. Ide relokasi pangkalan militer di Jawa, ke Kalimantan dan Papua juga sempat muncul.

Masalah efisiensi, peningkatan kapasitas, dan mengembangkan wilayah selatan Jawa memang jadi tujuan pemerintah membuka jalur baru. Juga ada gagasan pembangunan bandara baru di Blitar, Trenggalek, atau Malang. Namun, yang pasti pembangunan infrastruktur ini akan disalip dengan pertumbuhan penumpang udara akibat penambahan jalur baru untuk penerbangan sipil. Lagi-lagi gaya membangun tanpa perencanaan menjadi pilihan.

Tak Ada Pilihan

Ruang udara jalur utara Pulau Jawa sudah sangat padat khususnya penerbangan Jakarta-Surabaya. Untuk rute ini, ada 150 pergerakan pesawat terbang per hari. Berdasakan OAG Schedules Analyser data 2015, rute penerbangan Surabaya-Jakarta merupakan jalur penerbangan terpadat ke-11 di dunia. Untuk tahun ini statusnya naik menjadi ke-9. Diperkirakan ada 3,849 juta kursi penerbangan untuk jalur Surabaya-Jakarta. Karena itu, menambah jalur baru untuk penerbangan di selatan Jawa memang pilihan yang tak bisa dihindari.

BPS mencatat penambahan jumlah penumpang domestik yang berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta pada 2006 masih 10,87 juta penumpang. Selama Januari-Mei 2016 jumlah penumpang yang berangkat dari Soekarno-Hatta sudah mencapai 8,45 juta penumpang, hampir menyamai jumlah penumpang dalam sepuluh tahun.

Kondisi yang sama juga terjadi pada Bandara Juanda, Surabaya, jumlah penumpang domestik yang berangkat dari bandara itu naik signifikan dalam 10 tahun. Pada 2006 hanya 3,55 juta penumpang, kemudian pada 2016 sepanjang Januari-Mei sudah sudah mencapai 3,11 juta penumpang. Nasib Bandara Ngurah Rai juga sama, pada 2006 penumpang yang terbang dari bandara ini masih 1,65 juta penumpang, dalam 5 bulan pertama 2016 sudah mencapai 1,82 juta penumpang.

Secara total aktivitas penumpang di tiga bandara itu saja sudah 15 juta orang selama Januari-Mei 2016, angka ini belum menghitung lalu lintas penerbangan internasional. Jumlah penumpang di tiga bandara tadi hampir mendekati kondisi 2006 yang masih 17,5 juta penumpang. Tiga bandara ini lah yang menjadi benang kusut yang akan diurai melalui pembukaan jalur selatan Pulau Jawa. Tiga bandara ini memang mewakili keadaan lompatan penumpang angkutan udara di Indonesia.

Secara nasional jumlah penumpang angkutan udara terus meningkat setiap tahun. Pada 2004 jumlah penumpang angkutan udara masih 23,76 juta penumpang. Berselang sepuluh tahun jumlahnya meningkat tiga kali lipat lebih jadi 76,498 juta penumpang. Media airlineleader.com menyebut Indonesia sebagai negara terbesar dalam jumlah angkutan udara domestik terbesar kelima setelah AS, Cina, Jepang, dan Brazil.

Peningkatan penumpang ini tentunya berdampak pada frekuensi penerbangan dan pergerakan pesawat di udara maupun landasan. Media Antara menulis mulai 26 Juni 2014, kapasitas dua runway di Bandara Sokarno-Hatta itu meningkat rata-rata dari 64 pergerakan pesawat per jam menjadi 72 pergerakan pesawat per jam. Pada 2015, Airports Council International (ACI), menempatkan Bandara Soekarno-Hatta sebagai bandara tersibuk ke-18 di dunia dengan jumlah penumpang 54 juta orang. ACI juga mencatat pergerakan landing dan take off pesawat di Soekarno-Hatta tahun lalu sebanyak 380.129 pesawat atau tumbuh 1,8 persen.

Mengorbankan Militer

Pengelola PT Angkasa Pura II memang tak tinggal diam. Penambahan kapasitas penumpang baru sudah berlangsung di Soekarno-Hatta, dengan tambahan minimal 15 juta kapasitas penumpang pada perluasan terminal 3 ultimate. Opsi menambah terminal, akhirnya dipilih setelah rencana pembangunan bandara baru di kawasan Jabodetabek berkali-kali gagal seperti Bandara Karawang, Bandara Marunda, hingga Bandara Lebak, Banten.

Gagapnya pemerintah menyiapkan infrastruktur angkutan udara sipil akhirnya “memakan jatah” infrastruktur militer. Korbannya Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta Timur, yang dipaksa meladeni angkutan udara komersial. Termasuk rencana Bandara Pondok Cabe, Tangerang Selatan yang jadi penerbangan komersial jarak pendek yang akhirnya dimentahkan pemerintah.

Penggunaan fasilitas lapangan udara militer untuk keperluan sipil di Indonesia memang tak bisa dihindari ketika kecepatan pembangunan infrastruktur angkutan udara sipil telat merespons kebutuhan peningkatan penumpang. Indonesia memiliki beberapa bandara enklav sipil atau bandara yang merupakan pangkalan udara TNI AU yang juga digunakan untuk penerbangan sipil.

Bandara-bandara itu adalah Bandara Adi Soemarmo di Solo, Bandara Adi Soetjipto di Yogyakarta, Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta, Bandara Ahmad Yani di Semarang, Bandara Juanda di Surabaya, Bandara Husein Sastranegara di Bandung, dan Bandara Abdul Rahman Saleh di Malang. Bandara-bandara itu memakai landas pacu yang sama dengan landas pacu bagi pesawat terbang TNI AU. Kondisi ini menuai kritikan.

“Mengapa tidak dibuat satu perencanaan yang terpadu bagi upaya meningkatkan pertumbuhan penumpang dan barang, termasuk di dalamnya pengembangan infrastruktur (Bandar udara) penerbangan yang memang berstandar penerbangan komersial?” kata Kepala Staf Angkatan Udara 2002-2005, yang juga Ketua Tim Nasional Evaluasi Keselamatan Keamanan Transportasi 2007 Chappy Hakim.

Persoalannya memang ada di infrastruktur yang telat dibangun. Harus ada upaya percepatan pembangunan infrastruktur, jangan hanya mengandalkan jurus kepepet.

Kepepet Infrastruktur

Jurus kepepet ini sudah diterapkan saat menentukan Bandara Halim Perdanakusuma sebagai bandara komersial di Jakarta. Bandara Halim ditunjuk karena Bandara Soekarno-Hatta tak mampu lagi menampung jumlah penumpang yang terus tumbuh setiap tahun. Perluasan terminal 3 Ultimate Soekarno-Hatta yang baru akan diresmikan hadir di saat sudah kepepet. Selesainya pembangunan terminal 3 di Soekarno-Hatta akan menambah kapasitas 15 juta hingga 25 juta penumpang per tahun dari kapasitas 26 juta penumpang, tapi bukan berarti persoalan selesai. Kapasitas ini sudah tersusul dengan jumlah arus penumpang 54 juta orang di tahun lalu.

Penambahan terminal yang tak dibarengi penambahan runway ketiga di Soekarno-Hatta akan menjadi persoalan baru di kemudian hari. Presiden Jokowi memang sudah memerintahkan agar runway ketiga Soekarno-Hatta segera dibangun agar tak kalah cepat dengan pertumbuhan penumpang. Sayang seribu sayang, di kanan-kiri lokasi bandara terbesar di Indonesia ini sudah dipadati pemukiman. Persoalan berat pembebasan lahan sudah menanti.

Namun, nasib Bandara Soekarno-Hatta masih jauh lebih baik ketimbang Bandara Juanda yang sejak 2012 sudah ada rencana double runway, tapi hingga kini belum terealisasi. Bandara tersibuk ketiga di Indonesia ini baru akan merealisasikan penambahan runway kedua dan pembangunan terminal ketiga akhir tahun ini.

Gagalnya pembangunan bandara baru di Karawang, Jawa Barat membuat pemerintah mencoba mencari alternatif baru penggunaan bandara lain selain Bandara Soekarno-Hatta untuk kawasan Jabodetabek. Misalnya di Serang Timur, Banten, terdapat Bandara Gorda, seluas 7.000 hektar yang belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan penerbangan komersial. Bandara Gorda ini berjarak sekitar 70 kilometer dari Jakarta.

Selain mulai memberi perhatian pada Bandara Soekarno-Hatta dan Juanda yang selama ini menjadi sentra bandara di Indonesia. Pemerintah juga mulai melirik potensi pembangunan bandara baru di sisi selatan Pulau Jawa, khususnya untuk menopang penggunaan jalur udara selatan Jawa. Presiden Jokowi telah meminta kementerian perhubungan mencari lokasi pembangunan bandara baru di wilayah selatan Jawa Timur, misalnya di daerah perbatasan dengan Jawa Tengah yakni Blitar, Trenggalek, Pacitan, Kediri, atau Ponorogo.

"Nah ini menurut saya penting sekali bukan karena terisolasi tapi untuk meningkatkan daya saing perekonomian di wilayah itu. Jadi kita akan pelajari lokasinya di mana, tanpa mengganggu pangkalan udara di Madiun," kata Menhub Jonan dikutip dari Antara.

Terobosan pemerintah mengatasi persoalan pertumbuhan angkutan udara kerap melompat, dan dilakukan dengan kondisi darurat tanpa perencanaan. Pembukaan jalur selatan di Pulau Jawa tujuannya memecahkan persoalan keamanan lalu lintas udara, memperlonggar kepadatan di sisi utara Jawa. Sayangnya semua langkah ini melompati tahapan pembangunan di sisi darat yaitu kebutuhan membangun infrastruktur bandara. Lagi-lagi cerita lama terulang.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti