Menuju konten utama

Awalnya Adalah Maguwo, Maospati, dan Bugis

Menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, beberapa lapangan terbang militer sudah dibangun di Indonesia. Keberadaan bandara di selatan Pulau Jawa sangat penting bagi pemerintah kolonial. Pemerintah Indonesia pun mewarisinya hingga kini.

Awalnya Adalah Maguwo, Maospati, dan Bugis
Sejumlah pilot memeriksa kondisi pesawat latih G58 Baron setelah peresmian dan serah terima pesawat tersebut sebagai pesawat latih baru pusat penerbangan angkatan laut (puspenerbal) di di base ops pangkalan udara TNI Al Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (23/12). [antara foto/umarul faruq/foc/15]

tirto.id - Pangkalan TNI Angkatan Udara di selatan Pulau Jawa berderet mulai dari Yogyakarta, Madiun, dan Malang. Lanud Adi Sutjipto di Yogyakarta, Lanud Iswahyudi di Madiun dan Abdul Rachman Saleh di Malang. Semuanya ternyata warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pangkalan udara Kalijati, Subang, konon, merupakan bandara yang pertama kali dibangun pemerintah kolonial pada tahun 1914. Lapangan terbang itu digunakan Militaire Luchtvaart (ML), yang merupakan pangkalan udara dari Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kolonial Hindia Belanda.

“Tahun 1914, Militaire Luchtvaart mengumumkan, setiap lapangan akan dijadikan bandara. Kemudian benar-benar tak duga bahwa pada suatu hari banyak bertengger di di atas padang rumput yang kering. Di padang tandus itulah, pada mulanya digunakan sebagai landasan pesawat udara,” tulis Irna Harnny Hastoeti dkk dalam 'Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950' yang terbit pada 2008.

Selain bandara di Kalijati, lapangan terbang lain di antaranya Cililitan dibangun di Jakarta pada 1920, Morokrembangan di Surabaya (1920), Andir di Bandung (1921), Polonia di Medan (1928), Kemayoran di Jakarta (1934), atau Mandai di Makassar (1937) . Meski armada udara ML tak setangguh negara imperialis seperti Inggris, ML punya banyak bandara yang bisa diakses.

Barangkali, aspal di bandara di masa itu tidak setebal di masa sekarang. Karena ukuran pesawat yang kecil dan frekuensi penerbangan yang masih rendah, maka lapangan tanah yang sudah dikeraskan saja sudah cukup untuk bisa didarati pesawat kecil. Sebuah pesawat berisi tiga orang saja masih bisa mendarat di lapangan pacuan kuda. Seperti yang terjadi di Medan tahun 1924, sebelum bandara Polonia resmi dipakai tahun 1928.

Warisan Kolonial di Selatan Jawa

Jelang tahun 1940, telah dibangun bandara seperti di Maguwo (Yogyakarta), Panasan (Solo), Maospati (Madiun) dan Bugis (Malang) di sisi selatan Pulau Jawa. Lapangan-lapangan itu, di masa kolonial menjelang kekalahan Hindia Belanda oleh Jepang, telah dijadikan pangkalan pesawat-pesawat militer milik ML.

Maguwo mulai dibangun tahun 1938 dan selesai tahun 1940. Terletak di daerah Maguwoharjo, sekitar 8 km dari kota Yogyakarta. Jelang kekalahan Hindia Belanda di tahun 1942, pesawat-pesawat Belanda seperti DC-47, Bomber B-25 Glenmartin, Jogers dan Sport Vliegtuig pernah parkir di bandara yang sekarang berstatus internasional ini.

Maguwo juga digunakan untuk melatih penerbang-penerbang Belanda dari ML. Letak Maguwo sebagai bandar udara komersial cukuplah strategis karena dilintasi jalur kereta api. Stasiun Maguwo yang letaknya tak jauh dari bandara sudah diperbaiki pada tahun 1930.

Di masa kolonial, Maguwo sangat penting bagi Yogyakarta. Meski tak sebesar Jakarta atau Semarang, Yogyakarta adalah ibukota dari Provinsi Jawa bagian selatan. Di masa Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesaia, dari 1946 hingga 1950, keberadaan Maguwo sebagai landasan udara adalah keharusan bagi sebuah ibu kota negara. Maguwo menjadi pintu bagi Republik Indonesia untuk berhubungan dengan India dan negara-negara lain di dunia.

Di arah tenggara, Maguwo, belakangan terdapat bandara lain di Gunung Kidul, yang dinamai seperti nama daerahnya juga, Gading. Sementara ke arah timur, di Surakarta, ada bandara Panasan juga sudah ada di tahun 1940. Bandara ini hanya bersifat darurat saja. Lapangan terbang ini pernah dibom oleh Jepang di tahun 1942. Di masa pendudukan Jepang, bandara ini digunakan oleh Angkatan Laut Jepang.

Adapun bandara Bugis di kota Malang juga pernah dipakai Angkatan Laut Jepang. Lapangan terbang Bugis dibangun pemerintah kolonial sejak 1937 dan selesai tahun 1940. Selain Bugis, di masa pendudukan Jepang, bandara lain di Malang adalah Sundeng. Lapangan terbang ini kini menjadi perumahan.

Bandara warisan kolonial lain di selatan Jawa dan potensial dijadikan basis militer adalah Maospati, di Madiun. Bandara ini dibangun jelang Perang Dunia II. Sejarah lapangan terbang di Hindia Belanda atau Indonesia yang dibangun di era kolonial, agaknya merupakan hasil gusuran. Sebab. bandara Maospati pun berdiri di lahan hasil gusuran.

Menurut buku "Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950" (2008), untuk membangun bandara Maospati, pemerintah harus menggusur seisi desa Pabrik Ngujung, Desa Ronowijayan, Desa Kinandang, juga sebagian Desa Setren, Klecom Kincang Kulon, Pandeyan dan Mranggen.

Warga yang digusur memang mendapat uang ganti rugi dan pindah ke desa lain yang mereka inginkan. Atau ikut bedol desa –meninggalkan desa bersama orang sedesa-- ke sebuah desa baru. Warga Desa Pandeyan, misalnya, pindah ke Desa Bogorejo, sementara warga dari Desa Ronowijayan berpindah ke lahan yang kemudian bernama Sukolilo.

Setelah urusan penggusuran selesai, landasan pacu merupakan sarana bandara yang pertama kali dibangun. Setelah itu, tiga hanggar untuk menyimpan pesawat terbang dibangun di bekas Desa Kleco, Setren dan Pabrik Ujung. Setelahnya, gedung pemeliharaan pesawat, bengkel perbaikan, serta gudang juga dibangun. Bangunan untuk asrama militer dan juga kantor pun akhirnya dibangun. Desa-desa di antara Madiun dan Magetan, yang semula sepi, menjadi ramai dengan pesawat terbang yang hilir mudik.

Secara umum, bandara yang dibangun di masa Hindia Belanda lebih karena alasan militer. Hanya segelintir bandara yang digunakan untuk komersil, seperti Kemayoran. Keberadaan bandara di selatan Pulau Jawa sangat penting bagi pemerintah kolonial. Setidaknya bisa membantu pejabat tinggi kolonial melarikan diri ke Australia, ketika armada Jepang menghabisi militer Hindia Belanda dalam hitungan minggu.

Jadi Milik Republik

Jepang adalah penguasa atas banyak bandara peninggalan Hindia Belanda di Indonesia. Di bandara itu, Jepang mendaratkan pesawat-pesawat buatan mereka. Bandara yang rusak, tentu saja diperbaiki militer Jepang sebisa mereka. Tentu saja dengan tenaga romusha atau pekerja paksa.

Pemilik bandara pun berganti seiring perubahan politik di Indonesia. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, banyak fasilitas yang semula dikuasai Jepang diambil alih orang-orang Indonesia. Mulai dari kantor, stasiun, pabrik, kendaraan, pelabuhan dan tentu lapangan terbang. Pemuda Indonesia yang pernah jadi pilot, teknisi atau pekerja di bandara adalah orang-orang yang mengambil alih bandara dari tangan militer Jepang.

Beruntungnya, militer Jepang ternyata meninggalkan pesawat-pesawat tempur, meski kondisinya tak begitu bagus. Selain itu, Indonesia punya pemuda-pemuda yang pernah belajar soal mesin pesawat. Banyak pesawat yang kemudian dipelihara di beberapa bandara seperti di Maguwo, Maospati, Bugis, atau Cibeureum di Tasikmalaya.

Kurangnya persenjataan dan sumber daya, membuat Angkatan Udara di masa revolusi tak bisa banyak melakukan serang udara. Lapangan udara Maguwo dan Bugis, pernah diserang pesawat tempur Belanda yang punya banyak amunisi. Beberapa pesawat warisan Jepang kebanyakan juga nyaris jadi rongsokan.

Serangan udara balasan yang bisa disebut gemilang, barangkali hanya terjadi pada pagi 29 Juli 1947. Meski sorenya, Republik Indonesia harus kehilangan para penerbang andalnya seperti Abdul Rachman Saleh, Adi Soetjipto, Adi Soemarmo, dan lainnya. Dalam peristiwa lain, Angkatan Udara juga kehilangan Abdul Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi bersama pesawat mereka ketika melintasi Malaya.

Setelah 1950, ketika KNIL akan dibubarkan dan Belanda angkat kaki dari Indonesia, lagi-lagi Indonesia mendapat sisa-sisa amunisi dan fasilitas militer Belanda melalui serah terima di lapangan udara yang sempat dikuasai Belanda seperti di Morokrembangan Surabaya, Kalibanteng Semarang, atau Andir Bandung.

Setelah 17 Agustus 1952, nama bandara Maguwo di Yogyakarta berubah menjadi Adisucipto. Bandara Cililitan di Jakarta menjadi Halim Perdanakusuma dan bandara Bugis di Malang menjadi Abdul Rachman Saleh. Meski masih digunakan Angkatan Udara, ketiga bandara itu bisa didarati pesawat komersil sipil.

Pada 4 November 1960, nama bandara Maospati di Madiun, yang hingga hari ini masih berstatus sebagai Pangkalan Udara milik TNI AU, berganti menjadi Iswahyudi. Nama bandara Panasan yang bisa didarati pesawat komersil di Solo pun belakangan menjadi Adi Soemarmo pada tahun 1977

Baca juga artikel terkait PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho