tirto.id - Pada 1859, seorang penulis Rusia bernama Ivan Goncharov menerbitkan buku berjudul Oblomov.
Alkisah, Oblomov adalah nama seorang bangsawan Rusia, tuan tanah yang kaya raya. Meskipun tanahnya teramat luas, ia setiap hari hanya bermalas-malasan di ranjang. Istilah Gen Z, mager.
Oblomov membiarkan saja para pekerja kecil menggarap lahan miliknya. Hatinya tak pernah tergerak untuk turun lapangan dan mengawasi para pekerja atau meninjau hasil garapan mereka.
Tak seorang pun mampu membujuk Oblomov untuk berhenti bermalas-malasan. Baik sahabat sekaligus tangan kanannya, Andrey Stoltz, pria keturunan Jerman yang disiplin dan giat bekerja, maupun perempuan yang jatuh hati padanya, Olga. Bagi Oblomov, ambisinya adalah rebahan di ranjang dan passion-nya tidur.
Karya klasik Goncharov ini adalah kritik keras pada sistem feodal Rusia abad ke-19, terutama pada kaum aristokrat penguasa lahan yang menurutnya pemalas dan tidak berkontribusi pada negara. Bahkan hingga sekarang, istilah “oblomovitis” masih dipakai untuk menjelaskan sifat malas dan apatis.
Sejak dulu, kemalasan memang selalu dipandang negatif oleh masyarakat. Tetapi tak bisa dipungkiri, ada sedikit Oblomov dalam setiap diri kita.
Godaan untuk mengabaikan pekerjaan, lalu bergoler di ranjang seharian dan tidak melakukan apa-apa pasti pernah—atau sering—menghampiri kita.
Terkadang kita merasa bersalah jika takluk pada godaan ini. Kita merasa membuang-buang waktu.
Namun benarkah kemalasan selalu buruk? Ternyata tak semua orang setuju.
Manusia Bukan Makhluk Pemalas
Berbeda dari kisah Oblomov, ternyata insting manusia bukanlah insting pemalas. Kita memang mendambakan akhir pekan dan tanggal merah. Kita menginginkan kesempatan untuk leyeh-leyeh dan rebahan.
Namun ketika momen itu datang, terkadang kita malah bingung menghadapinya.
Menurut Claudia Hammond, penulis buku The Art of Rest: How to Find Respite in the Modern Age, manusia secara instingtif bukan makhluk pemalas.
Leyeh-leyeh dalam waktu panjang –kecuali jika sakit — bukannya membuat kita rileks, tapi malah bosan, gelisah, dan kesal. Dr. Miwa Patnani, M.Si., Psikolog, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI, setuju bahwa manusia pada dasarnya tidak malas.
“Jika manusia pemalas, peradaban takkan berkembang seperti sekarang. Setiap individu punya motivasi untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi. Misalnya, manusia menciptakan kendaraan karena ada kebutuhan untuk bepergian dengan cepat dan tidak melelahkan. Ini bukan berarti manusia malas, tapi ia berupaya agar hidupnya lebih nyaman dan mudah. Ia berkreasi untuk mewujudkan hidup yang diinginkan. Ini tentu saja bukan insting pemalas.”
Momen Refleksi Diri dan Hemat Energi
Sejak dulu kita diberi tahu bahwa waktu adalah uang. Menjadi sibuk dan produktif adalah hal terhormat. Kemalasan umumnya dipandang negatif sehingga kita terkadang merasa bersalah dan tak bertanggung jawab jika bermalas-malasan.
Selain itu, teknologi modern membuat kita lebih susah untuk benar-benar tak melakukan apa pun. Laptop dan gawai menjadikan jam kerja terasa lebih panjang, karena pekerjaan bisa dibawa ke mana pun. Padahal, kemalasan juga punya sisi positif.
Laman The School of Life pernah menerbitkan artikel mengenai hal ini. Disebutkan, bermalas-malasan adalah momen untuk refleksi diri.
Begitu banyak peristiwa yang terjadi dalam keseharian kita. Jika kita ingin menjalani hidup yang penuh kesadaran, kita sebaiknya meluangkan waktu setiap hari untuk memproses segala peristiwa dan emosi itu.
Duduk tanpa distraksi, menyesap teh sambil memandangi awan berarak kelihatannya seperti bermalas-malasan, tetapi mungkin itulah yang kita perlukan.
Orang yang sibuk seharian kelihatannya bukan pemalas. Namun bisa jadi, kesibukan mereka justru suatu bentuk kemalasan untuk refleksi diri. Mereka sibuk mengejar tenggat proyek, tapi malas merenungkan apakah pekerjaan itu sesuai dengan nilai dan tujuan hidupnya.
Mereka sibuk bertemu banyak orang, tapi malas mengevaluasi hubungannya dengan orang terdekat. Mereka sibuk dengan pekerjaan dan distraksi, tak mengambil jeda untuk bertanya ‘mengapa’, tak meluangkan waktu untuk menghayati kesedihan, keraguan, atau mencari jawaban atas pertanyaan hidup. Selain itu, kemalasan juga berdampak positif bagi kesehatan.
Dalam buku The Joy of Laziness: How to Slow Down and Live Longer, Dr. Peter Axt dan Dr. Michaela Axt-Gadermann menyatakan bahwa cadangan energi manusia terbatas. Menurut mereka, gaya hidup yang selalu sibuk ditambah olahraga intens akan menguras cadangan energi ini, mempercepat proses penuaan dan membuat tubuh lebih mudah terkena penyakit. Bahkan menurut mereka, jalan santai lebih baik daripada lari atau nge-gym.
Saat bermalas-malasan, tubuh memproduksi lebih sedikit radikal bebas yang berkaitan erat dengan penuaan.
Sementara, Dr. Miwa Patnani, M.Si., Psikolog mengatakan, “Jika hanya dilihat dari kata malas, sepertinya tidak ada sisi positifnya. Namun ada juga kemalasan – atau lebih tepatnya tidak buru-buru, tidak responsif terhadap suatu tugas — yang bisa berdampak positif.”
Menurut Miwa, setiap individu punya temperamen berbeda saat merespon stimulus dari luar dirinya. Individu bertemperamen aktif akan responsif sehingga terkesan cekatan dalam mengerjakan tugas. Sebaliknya, individu bertemperamen kurang aktif akan menunggu dahulu sehingga terkesan malas.
Selain temperamen, rasa bingung atau takut gagal juga mempengaruhi cara merespons tugas. Ada individu yang terkesan lambat, tapi bisa jadi ia sedang berusaha memahami tugas yang diberikan, bagaimana cara mengerjakan, serta mengukur kemampuannya.
“Menurut saya, jika individu memilih tenang, berhati-hati dalam merespons tugas, maka ia bisa mempersiapkan dan merencanakan tugasnya lebih lama. Ini meningkatkan kemungkinan tugas tersebut dapat dilakukan dengan baik. Sebaliknya jika individu cenderung buru-buru, tentunya persiapan dan perencanaan tugas itu tidak bisa optimal,” tutur Miwa.
Melawan dengan Kemalasan
Ada pendapat menarik soal kemalasan dari penulis feminis berkulit hitam asal Inggris, Lola Oufemi. Dalam tulisan tahun 2019, ia mengatakan bahwa kemalasan baginya adalah hal yang radikal.
Konsep kerja keras sudah diperkenalkan pada Lola sejak kecil. Ia selalu diyakinkan bahwa hanya dengan kerja keras, jalan menuju kemudahan dan kestabilan hidup akan terbuka.
Apalagi, Lola adalah anak dari keluarga migran. Ia melihat bahwa migran dilegitimasi dari kontribusi pada perekonomian negara serta kesediaan mengambil pekerjaan yang tak diinginkan oleh penduduk asli.
Menurut Lola, kemalasan dibenci karena menantang supremasi pemikiran kapitalis. Baginya, kerja keras adalah mitos, yang dikuatkan oleh lingkungan. Misalnya, jika seseorang tidak bisa mendapat pekerjaan, ia diminta berusaha lebih keras. Jika ia tak bisa membeli rumah, ia disarankan untuk menabung lebih giat.
Padahal, menurut Lola, sekeras apa pun masyarakat bekerja, sebagian besar dari kita sebenarnya tak punya kendali atas hidup sendiri.
Lola dalam tulisannya mengkritik pemerintah Konservatif Inggris yang melakukan penghematan anggaran, memprivatisasi perusahaan negara, dan mengurangi investasi pada masyarakat. Sementara itu, pemuda berada dalam lingkungan kerja yang tidak pasti.
Banyak yang mencari pekerjaan sampingan hanya untuk bertahan. “Saya merengkuh kemalasan karena kemalasan menawarkan kesempatan untuk dihargai—secara politik dan sosial—berdasarkan kebajikan. Bentuk kemalasan saya adalah berupa penolakan: penolakan menjadi perempuan yang ‘benar’; penolakan untuk didefinisikan berdasarkan penghasilan; penolakan untuk mendukung kapitalisme yang rasis dan seksis,” tulis Lola.
Senada dengan tulisan Lola, ratusan tahun lalu—tepatnya 1883—buku The Right to be Lazy karya Paul Lafargue terbit.
Paul, seorang sosialis, berargumen bahwa kelas pekerja telah diperdaya untuk melakukan semua pekerjaan dan membuat segala macam produk. Otomatisasi mesin pada masa itu seharusnya bisa mengurangi jam kerja.
Namun yang terjadi malah sebaliknya. Jam-jam itu malah dikonversi menjadi tambahan waktu kerja untuk menggenjot produktivitas.
Menurut Paul, jika kaum pekerja ingin menolak bekerja dengan bayaran kecil dan berhenti menyokong kelas atas untuk terus hidup kaya dan berleha-leha, berarti kaum pekerja harus mengklaim kembali hak untuk menjadi tidak produktif—atau mungkin hak untuk bekerja seadanya sebatas yang dibutuhkan untuk hidup sekadarnya.
Dengan kata lain, pekerja harus mengklaim hak untuk menjadi malas. Atau, menurut Gen Z, melakukan quiet quitting.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.idpada 24 September 2022. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Lilin Rosa Santi