tirto.id - Pertengahan April 2022, Yoel Mulait dan Timotius Murib bergegas berangkat meninggalkan Papua menuju Jakarta. Dua pimpinan Majelis Rakyat Papua tersebut berniat menemui sejumlah petinggi negeri dan partai.
“Dalam hal ini menyampaikan aspirasi rakyat yang menolak pembentukan daerah otonomi baru,” kata Yoel kepada wartawan Tirto, (16/4).
Tepat pada hari peringatan Jumat Agung, dua pimpinan lembaga representasi kultural Papua itu menemui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD guna membahas isu penolakan pemekaran wilayah di Papua tersebut.
Keesokan harinya, mereka membahas isu penolakan pemekaran itu di kediaman ketua umum PAN Zulkifli Hasan. Selang tiga hari berikutnya mereka membawa isu itu ke kepala Bappenas, yang juga ketua umum PPP, Suharso Monoarfa di kantornya.
Upaya protes perwakilan warga Papua ke elit di Jakarta ini lantaran DPR RI mengesahkan rancangan tiga beleid pemekaran provinsi di Papua, yakni RUU Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah disahkan pada 12 April lalu.
"Kita juga protes atas proses politik di DPR, artinya meminta juga dpr memperhatikan aspirasi rakyat (yang menolak)," kata Yoel yang juga Wakil Ketua 1 MRP tersebut.
Baik pemerintah DPR dan pemerintah mengklaim pemekaran didasari pemerataan kesejahteraan.
Namun, tiga rancangan undang-undang ini dikebut kala gelombang protes penolakan terjadi di sejumlah kabupaten di Papua. Pasalnya masih ada kecurigaan di balik gerak cepat pemerintah dan DPR melakukan pemekaran.
DPR Papua juga sempat membawa isu pro kontra ini di Baleg DPR RI. Mereka meminta agar DPR RI memperhatikan benar-benar aspirasi warga, baik yang mendukung pemekaran dan juga yang menolak.
"Memang ada yang minta pemekaran, tapi bagaimana dengan kelompok yang menolak pemekaran, kenapa aspirasinya tidak diakomodir?," kata anggota DPRP John Gobai, kepada wartawan Tirto, (11/4). “Kita mau bikin undang-undang untuk memenuhi kebutuhan hukumnya siapa?” kata John.
Tancap Gas Pemekaran
Isu pemekaran Papua di masa periode kedua pemerintahan Joko Widodo menjadi perbincangan saat 61 tokoh Papua menghadiri Istana Negara, November 2019 silam. Saat itu rombongan yang dipimpin Ketua DPRD Kota Jayapura Abisai Rollo mengajukan penambahan lima provinsi di Tanah Papua.
Di 2021, opsi pemekaran diakomodasi dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Pasal 76 beleid itu menyebut pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom. Undang-undang tersebut juga mengatur pemekaran provinsi yang diusulkan oleh pemerintah dan DPR dilakukan tanpa perlu melalui tahapan daerah persiapan seperti yang diatur dalam Undang-undang Mengenai Pemerintahan Daerah.
Setelah UU Otsus Papua diketok, pemerintah bersama DPR bergerak mengurus proses perancangan undang-undang pemekaran.
Pada rapat koordinasi yang diinisiasi pemerintah, Kementerian Dalam Negeri mengundang anggota DPD dan DPR di Hotel Fairmont, Jakarta pada Februari 2022 lalu. Dalam pertemuan tersebut dilakukan pembahasan terkait pemekaran sejumlah wilayah di Papua tersebut. “Waktu itu akhirnya disepakati kalau pemekaran itu diusulkan oleh DPR nantinya,” kata Direktur Penataan Daerah dan Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Valent, kepada Tirto, (18/4).
Kira-kira sebulan kemudian, pada 7 April 2022 dalam pleno, Badan Legislasi menyetujui RUU pemekaran tiga provinsi Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.
Hanya beberapa hari setelahnya, tepatnya 12 April, DPR RI mengesahkan tiga RUU tersebut.
Tiga RUU itu berisi dasar hukum pembentukan provinsi baru di antaranya Papua Selatan yang terdiri dari Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Asmat, dan Mappi.
Selain itu, Papua Tengah yang berisi Kabupaten Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika, dan Puncak.
Juga Papua Pegunungan Tengah, yang berisi Nduga, Jayawijaya, Lanny Jaya, Puncak Jaya, Mamberamo Tengah, Tolikara, Yahukimo, dan Yalimo.
Serempak seluruh fraksi menyetujui tiga RUU tersebut. Hanya fraksi Demokrat yang memberikan catatan pada sidang paripurna tersebut terkait akomodasi aspirasi warga dan perihal anggaran negara. “Fraksi partai Demokrat meminta agar lebih mendengarkan aspirasi rakyat papua secara lebih mendalam tentang pemekaran wilayah karena akan berdampak pada kondisi sosial adat dan budaya masyarakat setempat,” kata Debby Kurniawan yang membacakan catatan di paripurna.
DPR pun berencana untuk menuntaskan RUU pada 2022. "Proses ini harus sebelum akhir tahun ini, tahun ini sudah selesai. Karena ada kaitan soal APBN dan seterusnya. Jadi pemekaran ini ada kaitan regulasi-regulasi lainnya, harus disesuaikan," kata anggota Komisi 2, Komarudin Watubun kepada Tirto, (13/4).
Di masa mendatang, diproyeksikan akan ada penambahan provinsi lain di Papua.
“Setelah 2024 baru (pemekaran di wilayah) Papua Barat,” kata Mardani kepada Tirto, (17/4), mengacu pada rencana pemekaran Papua Utara dan Papua Barat Daya.
Situasi Keamanan Melatari Pemekaran
Rencana pemekaran ini juga dibayangi isu konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang terus terjadi di sejumlah wilayah di Pegunungan Tengah. Wilayah-wilayah tersebut, seperti Intan Jaya, Nduga, Yahukimo, dan Puncak akan terpisah-pisah ke dua provinsi berbeda.
Anggota DPD RI asal Papua, Filep Wamafma pun mengatakan dalam rapat antara Komite 1 dengan Kementerian Dalam Negeri yang dihadirinya pada Maret 2022 lalu, pemerintah turut membawa isu keamanan sebagai faktor pendorong pemekaran.
"Tiga daerah (wilayah pemekaran) itu dilihat atau dipandang memiliki potensi dan saat ini menjadi daerah yang berpotensi konflik baik itu konflik politik, tapi juga yang utama adalah konflik antara TNI-Polri dan TPN-OPM," kata Filep, kepada Tirto.id, 9 April 2022.
Direktur Penataan Daerah dan Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Valent berdalih Kemendagri lebih fokus pada pembangunan wilayah dan kesejahteraan warga. "Kalau urusan keamanan kan ada pihak keamanan," kata Valent.
Meski begitu, pernyataan tersirat juga pernah dikemukakan pada 2019 silam. Saat itu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sendiri menyebut pemekaran dilatari faktor situasional dan intelijen. Namun, melansir CNN Indonesia, saat itu Tito tak secara gamblang menyebutkan pemekaran sebagai cara menghadapi pihak pro kemerdekaan.
Alasan Abu-abu pemekaran
Sementara itu, Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Arman Suparman mengatakan bahwa dengan RUU pemekaran ini terlihat bahwa baik pemerintah dan DPR terburu-buru melakukan pemekaran di Papua, padahal pemerintah sedang melakukan moratorium terhadap pemekaran provinsi.
Menurutnya upaya memeratakan kesejahteraan seperti yang didengungkan pemerintah dan DPR tak harus melalui pemekaran. “Pelayanan publik, termasuk inovasi pelayanan itu tidak tergantung seberapa dekat pemerintah provinsi begitu ya. Tetapi sebenarnya seberapa besar baik itu pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten yang di sana itu, mengurus dan mengatur yang sekarang bukan mendekatkan dengan kekuasaan atau selevel provinsi,” kata Arman.
Oleh karena itu, ia memaklumkan dugaan banyak pihak bahwa narasi pemerataan kesejahteraan hanya bungkus dari maksud di balik pemekaran. “Kalau pun publik menilai atau menganggap ada agenda lain dari proses pemekaran itu memang bisa masuk akal juga, artinya ada agenda lain, atau ada motif lain dari proses pemekaran itu,” kata Arman.
Sementara itu Filep Wamafma mengkritik ketergesaan dalam penyusunan undang-undang yang terkesan mengesampingkan suara-suara yang kontra terhadap rencana pemekaran. "Pemerintah lebih condong menggunakan pendekatan top down, artinya tidak lagi menghendaki adanya aspirasi dari rakyat ataupun apapun itu tetapi pemerintah menggunakan haknya keputusannya terpusat dan wajib dilaksanakan di daerah," kata Filep.
Melihat kondisi yang masih panas terkait rencana pemekaran ini, Filep Wamafma meminta pembahasan rancangan ini tak terburu-buru diselesaikan.
"Sepanjang pembentukan daerah itu masih terjadi konflik dan pertentangan, maka pemerintah dan DPR tidak perlu untuk tergesa-gesa membentuk daerah otonomi baru," kata Filep.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay mewanti-wanti sisi buruk rencana pemekaran bagi orang asli Papua.
Ia melihat wilayah-wilayah baru akan menjadi lahan basah bagi pihak yang ingin mendulang untung dari kekayaan alam Papua.
"Buktinya hari ini dengan dua provinsi perusahaan yang masuk, bahkan pembangunan yang masuk dilakukan tanpa ada kesepakatan dengan masyarakat adat sebagai pemilik tanah," kata Emanuel berkaca pada kondisi terkini di Papua.
Oleh karena itu, rencana pemekaran ini berpotensi meminggirkan orang asli Papua
"Jadi peminggiran marginalisasi orang asli Papua akan semakin sangat tinggi," kata Emanuel.
Penulis: Johanes Hutabarat
Editor: Adi Renaldi