Menuju konten utama
Horizon

Mengenang Dua Dekade Tragedi Longsor Sampah di Leuwigajah

Peristiwa yang merenggut 157 jiwa ini tetap dikenang. Tapi alih-alih terus larut dalam duka, warga bangkit menginisiasi gerakan pengelolaan sampah. 

Mengenang Dua Dekade Tragedi Longsor Sampah di Leuwigajah
Sesepuh Kampung Cireundeu menuju lokasi tempat awal terjadinya longsor sampah untuk melakukan tabur bunga. (FOTO/Dini Putri Rahmayanti)

tirto.id - Langit pagi di Kampung Adat Cireundeu tampak muram. Seorang lelaki paruh baya berdiri di depan kumpulan warga, matanya menerawang, suaranya berat ketika membaca bait-bait puisi yang menusuk hati:

Mengalir alam pada tubuh kita

Merusak alam merusak diri kita sendiri

Merusak alam merusak orang tua kita sendiri

Mata air alam menjadi air mata bagi kita

Angin-angin alam menjadi tamparan bagi kita

Matahari menjelma jadi api yang membakar kita

Dan tanah-tanah alam memaksa mengubur kita hidup-hidup.

Puisi itu menggema, di tangannya ada sebuah lonceng yang didentingkan tiap kali jeda pada bait yang mengingatkan kembali pada sebuah tragedi kelam yang menelan 157 nyawa pada 21 Februari 2005. Tragedi longsor sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, masih menyisakan luka mendalam bagi warga Kampung Cilimus dan Kampung Pojok.

Setiap tahun, warga Cireundeu memperingati peristiwa ini, bukan untuk mengenang tumpukan sampah yang longsor, tetapi untuk mengenang saudara-saudara mereka yang kehilangan nyawa secara tragis. Penampilan tari dan teatrikal anak-anak Kampung Cireundeu turut mewarnai acara ini.

Dua Dekade Setelah Dini Hari yang Mengerikan

Pada Senin dini hari, 21 Februari 2005, gunungan sampah setinggi 30 meter di TPA Leuwigajah tak mampu lagi menahan tekanan. Hujan deras yang turun terus-menerus selama berhari-hari membuat sampah menjadi labil. Gas metana yang terperangkap di dalam tumpukan sampah akhirnya meledak dengan dentuman keras. Tak lama setelahnya, gunungan sampah bergerak deras, menyapu Kampung Cilimus dan sebagian Kampung Pojok Cireundeu.

"Jangankan sewaktu kejadian, hari-hari sebelum longsor pun sudah mengerikan. Sampah menggunung di depan rumah kami, baunya menyengat, kesehatan kami terancam," kenang Widiya, Ais Pangampih (sesepuh) Kampung Adat Cireundeu yang kerap disapa Abah Widi.

Dalam sekejap, ratusan rumah tertimbun. Warga yang sedang terlelap tak sempat menyelamatkan diri.

"Kesedihan yang mendalam," ucap Abah Widi dengan suara lirih. Beberapa korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan, sementara yang lain terkubur tanpa jejak.

Pemerintah langsung merelokasi warga yang selamat ke tempat baru. Namun, kehilangan kampung halaman dan saudara bukan sesuatu yang bisa sembuh dalam hitungan tahun.

"Meninggalnya tidak harus seperti itu. Ini kelalaian manusia. Kalau dulu konsepnya benar, jika sampah ditangani dengan baik, ini tidak akan terjadi," tambah Abah Widi.

Tragedi Leuwigajah menjadi pukulan besar bagi pengelolaan sampah di Indonesia. Sebagai bentuk refleksi, tanggal 21 Februari kemudian ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Setelah dua dekade berlalu, pertanyaan besar masih menggantung: apakah tragedi seperti ini bisa dicegah di masa depan?

"Dulu ada perjanjian bahwa sampah harus ditutup dengan tanah seperti kucing berak, tapi akhirnya berubah menjadi anjing berak—buang saja, tanpa tanggung jawab," ujar Abah Widi.

PERINGATAN HARI SAMPAH NASIONAL

Seorang seniman asal Thailand bersama pemangku adat Desa Cirendeu dan siswa sekolah dasar melakukan tabur bunga di sekitaran lokasi longsornya sampah TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, Kamis (21/2/2019). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.

Sistem pembuangan yang tak terkontrol, ditambah volume sampah yang terus meningkat, membuat pengelolaan sampah semakin pelik.

Di Kampung Adat Cireundeu, warga kini menerapkan sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas. Setiap rumah memiliki tiga wadah sampah: satu untuk plastik yang bisa didaur ulang, satu untuk sisa makanan yang bisa diolah menjadi pakan larva lalat hitam (maggot), dan satu lagi untuk sampah yang bisa terurai.

"Kita tidak bisa berharap pada pemerintah saja. Kita sendiri harus berubah. Kalau tidak, kita hanya menunggu tragedi berikutnya," ujar Abah Widi menegaskan

Usulan penataan ulang wilayah bekas longsor menjadi kawasan konservasi adat mulai disuarakan. Pemerintah Kota Cimahi dan beberapa lembaga lingkungan hidup telah mengajukan konsep ini sebagai bentuk penghormatan terhadap korban dan langkah mitigasi bencana serupa di masa depan.

"Abah menyambut baik rencana ini, tapi jangan hanya wacana. Ucapan itu harus jadi nyata. Jika memang ingin menata kawasan ini, jangan sampai menghilangkan nilai-nilai adat dan kelestarian alam," imbuhnya.

Warga Kampung Adat Cireundeu tetap menjalankan ritual tahunan untuk mengenang korban tragedi Leuwigajah. Ritual dimulai sehari sebelumnya dengan pengambilan air dari Seke Gunung Kunci Pasir Panji, lalu diakhiri dengan tabur bunga di bekas lokasi longsor. Ini bukan sekadar seremonial, melainkan pengingat bahwa alam memiliki caranya sendiri untuk menegur manusia.

Dua dekade telah berlalu, tetapi suara mereka yang terkubur di bawah timbunan sampah tetap bergema di hati mereka yang masih hidup. Sebuah peringatan, bahwa menjaga alam bukan hanya tugas pemerintah, melainkan kewajiban setiap manusia.

Mengurangi Sampah Dimulai dari Rumah

Ida Lusiani (40) tampak sibuk melayani para mahasiswa yang berkunjung ke Bale Kampung Cireundeu untuk membeli sejumlah oleh-oleh. Sebagai ibu rumah tangga yang aktif, ia tidak hanya mengolah singkong—pangan utama warga Cireundeu—tetapi juga turut berkontribusi dalam pengelolaan sampah di kampungnya.

Baginya, pengelolaan sampah harus dimulai dari rumah agar tragedi ledakan sampah tidak terulang di masa depan.

"Pengolahan sampah itu diawali dari rumah masing-masing. Jadi, kalau di rumah, sampah makanan, sampah organik, dan sampah daur ulang itu sudah dipisah," ujar Ida kepada Tirto. Tangannya masih terlihat sibuk memasukkan produk oleh-oleh khas Cireundeu ke etalase.

Ia menjelaskan bahwa setiap minggu, sampah yang telah terpilah akan dikumpulkan oleh petugas pengangkut yang akrab disebut Kang Entri dan Kang Upis. Di Kampung Cireundeu, sistem pengelolaan sampah berkembang seiring waktu. Salah satu inisiatif yang diterapkan adalah budidaya maggot untuk mengurai sampah organik.

"Dulu ada yang [datang] dari universitas, mereka yang menggagasnya. Sekarang, sampah plastik yang sudah kering juga sering diambil untuk didaur ulang," kata Ida.

News Plus Dua Dekade Tragedi Leuwigajah

Anak-anak SD Cireundeu menggunakan pakaian serba putih untuk perempuan dan serba hitam untuk laki-laki, mereka berjalan menuju tempat penaburan bunga. (FOTO/Dini Putri Rahmayanti)

Sebagai seorang ibu rumah tangga, Ida percaya bahwa pengurangan sampah bisa dimulai dari kebiasaan sederhana.

Ibu-ibu di Kampung Cireundeu membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari rumah. Dengan memilah, mendaur ulang, dan memanfaatkan kembali, mereka menjaga lingkungan tetap lestari, satu langkah kecil setiap harinya.

"Dikurangi saja, mungkin ya, pengurangan sampah dari rumah. Misalkan, kita belanja jangan pakai kresek, tapi pakai tas belanja sendiri. Terus makanan juga jangan sampai ada yang terbuang, diolah saja," katanya.

Komitmen Pemerintah Kota Cimahi

Wakil Wali Kota Cimahi, Adhitia Yudisthira, baru saja mencanangkan kawasan ini sebagai wilayah konservasi adat, budaya, dan lingkungan dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2025.

"Ke depan, kami ingin menjadikannya sebagai pusat budaya, pusat adat, serta pusat konservasi lingkungan," ujar Adhitia saat ditemui wartawan di Kampung Cireundeu, Jumat (21/2/2025).

Salah satu langkah konkret yang akan dilakukan adalah penanaman bambu sebagai varietas utama di wilayah ini. Adhitia menegaskan bahwa bambu dipilih bukan hanya sebagai tanaman konservasi, tetapi juga sebagai simbol kearifan lokal yang tetap lestari.

Lebih dari itu, sebuah monumen peringatan akan dibangun di kawasan ini. Namun, menurutnya, bukan sekadar monumen yang menjadi simbol tanpa makna.

"InsyaAllah, monumen ini jangan hanya sekadar menjadi monumen yang kesannya angker, tetapi ke depan kita akan membangun kawasan terpadu. Ada kawasan konservasi, wisata, pertanian, serta monumen peringatan Tragedi Leuwigajah yang menghilangkan dua desa dan 157 jiwa," ungkapnya.

Ia menambahkan, gagasan ini semakin kuat dengan dukungan dari Pemerintah Kota Bandung yang telah menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dalam pengelolaan lahan seluas 45 hektare di kawasan tersebut. Adhitia juga menyoroti keunggulan Desa Adat Cireundeu yang sudah memiliki identitas kuat, seperti tanaman utama singkong yang telah menjadi ciri khas mereka.

Namun, di tengah upaya membangun kawasan ini sebagai pusat budaya dan konservasi, Cimahi masih dihadapkan pada tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Tragedi Leuwigajah menjadi pengingat bahwa pengelolaan sampah yang buruk bisa berujung pada bencana.

"Peristiwa 20 tahun lalu bukan hanya disebabkan oleh sampah dari Cimahi, tetapi juga akibat tumpukan sampah dari berbagai daerah di Bandung Raya. Cimahi pernah menjadi korban keserakahan manusia dalam pengelolaan sampah, dan kami ingin memastikan hal ini tidak terjadi lagi di wilayah lain," tegas Adhitia.

Untuk itu, kata dia, Pemerintah Cimahi sedang merancang solusi berbasis teknologi dalam pengelolaan sampah. Mesin insinerator menjadi salah satu solusi yang sedang dikaji, dengan syarat harus memenuhi standar lingkungan yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup.

Namun, permasalahan sampah tak hanya berhenti di teknologi. Keberadaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Cimahi juga menimbulkan dilema, karena lokasinya berdampingan dengan sekolah.

"Jika memang ada sekolah yang terkena dampak, kami akan mencari solusi terbaik, apakah dipindahkan atau ada pendekatan lain," ujar Adhitia.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - News
Kontributor: Dini Putri Rahmayanti
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Irfan Teguh Pribadi