Menuju konten utama

Waspada Bahaya Laten Longsor Sampah

Di Ethiopia, setidaknya ada 113 orang tewas akibat longsor tempat pembuangan sampah. Indonesia pun pernah mengalami bencana longsor sampah.

Waspada Bahaya Laten Longsor Sampah
Warga melintas di aliran sungai Kali Baru yang tersumbat sampah di Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (7/3). Tersumbatnya sungai oleh sampah terjadi sudah beberapa tahun dan dibiarkan tanpa ada penanganan dari pemerintah daerah setempat, sehingga menjadi penyebab sungai meluap dan pemicu banjir . ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya.

tirto.id - Ethiopia berduka. Hingga 15 Maret 2017, sudah 113 orang yang menjadi korban akibat longsor di tempat pembuangan sampah terbesar di pinggiran kota Addis Ababa, Ethiopia. Puluhan orang lainnya juga mengalami luka-luka.

Tumpukan sampah yang sudah menggunung di tempat pembuangan sampah Koshe runtuh dan memicu tragedi mematikan. Tak hanya korban jiwa dan luka-luka, tragedi tersebut juga meratakan puluhan rumah liar di wilayah tersebut.

Sudah lebih dari 50 tahun Koshe menjadi salah satu tempat pembuangan sampah utama di Addis Ababa, kota berpenduduk sekitar empat juta jiwa negara Afrika timur. Sekitar 150 orang berada di lokasi saat longsor terjadi dan masih ada puluhan orang lainnya yang masih dinyatakan hilang.

“Rumah saya tepat di sana,” kata seorang warga Ethiopia kepada Al Jazeera, sambil menunjuk ke arah salah satu excavator yang sedang menggali tumpukan sampah. “Ibu saya dan tiga saudara saya berada di sana ketika longsor. Sekarang, saya tidak tahu nasib mereka semua.

Sesungguhnya longsor-longsor kecil juga sudah sering terjadi di gunung sampah tersebut dalam dua tahun terakhir. Menteri Komunikasi Ethiopia, Negeri lencho mengungkapkan bahwa sebagian besar korban yang tewas dalam tragedi tersebut adalah perempuan.

Pemerintah setempat dalam beberapa tahun telah mencoba untuk mengubah sampah menjadi sumber energi bersih dengan menginvestasikan 120 juta dolar AS. Limbah di Koshe yang dibangun pada 2013 tersebut diharapkan dapat menghasilkan 50 megawatt listrik setelah selesai.

Longsor sampah tidak hanya terjadi di Ethiopia, pada tahun 2000, Filipina juga mengalami longsor sampah. Jumlah korban jiwa mencapai 200 orang. Ini menjadi salah satu longsor sampah dengan korban terbanyak di dunia.

Di tahun 2008, longsor sampah juga melanda Guatemala. Korban jiwa mencapai 50 orang. Selain itu di tahun 2005, terjadi dua longsor sampah yang terjadi di dua negara berbeda. Di Cina dan di Kolombia. Longsor sampah di Medellin, Kolombia menewaskan 43 orang dan di Cina sebanyak 13 korban jiwa.

Bagaimana dengan Indonesia?

Longsor sampah juga pernah melanda Indonesia pada 2005 yakni di provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat. Namun longsor sampah di Jawa Barat yang terparah. Sebanyak 143 orang terkubur dalam longsor sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Leuwigajah di Desa Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Tak kurang dari 86 rumah ikut lenyap ditelan sampah.

Ribuan ton kubik sampah juga mengubur 8,5 hektar kebun dan lahan pertanian milik warga Kampung Pojok. Longsor sampah di Jawa Barat tersebut menjadi salah satu yang memakan banyak korban selain longsor sampah yang terjadi di Filipina. Kejadian ini juga kemudian dijadikan sebagai Hari Sampah Nasional.

Bencana itu berawal dari hujan deras yang mengguyur wilayah tersebut. Menurut Ahli Geofisika Eksplorasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr. Edi Utomo, longsor kemungkinan besar terjadi karena material sampah organik dan nonorganik yang belum kopak.

Ketika hujan deras maka kestabilan bukit sampah pun hilang sehingga terjadi longsor. Selain itu, ledakan terjadi akibat adanya gas metana (CH4) dalam jumlah yang besar. Gas tersebut terperangkap dalam timbunan sampah sehingga suatu saat dapat meledak.

Bencana ini tak lepas dari TPA Leuwigajah yang menampung 1,62 juta meter kubik sampah setiap tahunnya. Jumlah tersebut dalam 20 tahun mampu menutupi seperlima wilayah Bandung dengan sampah setinggi satu meter, menurut laporan Tempo yang dikutip LIPI pada 2005.

Infografik Longsor Sampah

Sampah Membelit Jawa Barat

Sampah memang menjadi permasalahan yang masih membelit Jawa Barat hingga saat ini. Pengelolaan sampah menjadi permasalahan utama di Jawa Barat. Sampah di tempat pembuangan akhir hanya ditumpuk dan dibiarkan begitu saja. Penumpukan sampah dan pengelolaan yang buruk kemudian membentuk bukit 50-60 meter dengan luas enam kali lapangan bola.

Meski tragedi Leuwigajah sudah terjadi 12 tahun yang lalu, namun pemerintah setempat sepertinya belum menemukan formula yang tepat untuk mengatasi masalah sampah. Sampah masih membukit di provinsi Jawa Barat.

Pada 2016 lalu, laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mengungkapkan bahwa produksi barang rumah tangga, makan, minum dan lain-lain yang dikonsumsi masyarakat menyebabkan produksi sampah Jawa Barat mencapai 27 ribu ton per hari.

Sedangkan pada 2017, Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa mengungkapkan bahwa produksi sampah di kawasan Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat saja mencapai 1.315 ton per hari.

"Produksi sampah untuk Kota Bandung 1.110 ton per hari atau 87 persen, untuk Kota Cimahi 127 ton per hari atau sembilan persen dan Kabupaten Bandung Barat 78 ton per hari atau empat persen," kata Iwa Karniwa, seperti dikutip Antara.

Sekitar 10 ton dari sampah tersebut diolah oleh para pemulung setiap harinya. Sedangkan sisanya akan dibuang di TPA Sarimukti. Dari ribuan ton sampah itu, hanya sekitar empat ton sampah yang diproses menjadi kompos setiap harinya. Sehingga sisanya yang lebih dari 1000 ton hanya akan tertimbun dan suatu hari akan menggunung.

Menurut Wahyu Surakusumah dalam tulisannya yang berjudul "Permasalahan Sampah Kota Bandung dan Alternatif Solusinya", masalah sampah di Bandung sulit diatasi karena masyarakat tidak memisahkan antara sampah organik dan non-organik. Hal tersebut menyebabkan pengelolaan sampah menjadi sulit dan tidak efisien. Padahal jika sampah dipisahkan, akan mempermudah pengelolaan. Ini sudah dibuktikan oleh Surabaya.

“[...] Pemilahan sampah sudah dimulai dari sumbernya di kota Surabaya sehingga sampah yang masuk TPA hanya 30%, ini sangat menghemat anggaran pengangkutan sampah dan pengelolaan sampah,” kata walikota Surabaya, Tri Rismaharani, seperti dikutip situs Kementerian Lingkungan Hidup.

Pada akhirnya, pola pengolahan sampah akan tetap menggunakan pola konvensional atau ditimbun di TPA. Menurut anggota DPRD Jawa Barat, Yod Mintaraga, pengelolaan secara konvensional akan menjadi petaka di masa depan dan dapat membuat sejumlah daerah bersitegang.

“Kalau tidak ditangani sungguh-sungguh, persoalan sampah ini akan jadi malapetaka seperti kasus TPA Leuwigajah. Ke depan kami meminta pengelolaan sampah menerapkan teknologi tinggi seperti di Singapura atau Korea,” kata Yod, seperti dikutip situs DPRD Jabar.

Agar terhindar dari petaka longsor sampah, Jawa Barat memang sudah tak bisa lagi menggunakan pengelolaan sampah dengan cara konvensional. Selain menimbulkan petaka, model pengelolaan ini juga memerlukan lahan yang luas.

Saat kita masih sibuk membicarakan soal pola dan metode pengelolaan sampah, tetangga sebelah sudah membicarakan sampah sebagai pembangkit listrik. Betapa kita sudah jauh tertinggal soal pengelolaan sampah.

Baca juga artikel terkait LONGSOR atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani