tirto.id - Pada Juni lalu, di hadapan anggota Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan mimpinya perihal pencapaian tax ratio Indonesia. Ia berharap, tax ratio Indonesia dapat mencapai 13,7 persen dalam lima tahun mendatang.
"Dari sisi tax ratio, kita harapkan akan meningkat hingga mencapai 13,7 persen di dalam skenario yang paling optimis atau 12,5 persen pada skenario yang lebih moderat," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Banggar DPR RU, seperti dilansir CNBC Indonesia.
Namun, perjalanan menuju pencapaian optimal tersebut bukan perjalanan yang mudah. Pada Senin (8/7), Badan Anggaran DPR RI menyetujui target penerimaan negara dalam postur makro fiskal RAPBN 2020 yang diajukan pemerintah, yakni di kisaran 12,6 hingga 13,72 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka tax ratio yang disepakati sebagai postur makro fiskal RAPBN tersebut hanya 10,57 hingga 11,18 persen dari PDB. Sementara itu, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dipatok pada angka 1,98 hingga 2,47 persen dari PDB. Sebagai catatan, target rasio pajak tersebut menurun dibandingkan patokan tax ratio di APBN 2019 yang mencapai 12,2 persen dari PDB.
"Kebijakan umum perpajakan 2020 difokuskan untuk mendorong peningkatan tax ratio [rasio pajak] dengan tetap memberikan insentif fiskal untuk meningkatkan daya saing dan investasi," ujar Anggota Banggar dari fraksi Golkar, John Kennedy Azis dalam rapat di kompleks Parlemen, Jakarta.
Mengenal Rasio Pajak
Apa itu tax ratio atau rasio pajak? tax ratio merupakan formula untuk mengukur kinerja perpajakan di suatu negara. Selain mencerminkan tingkat kepatuhan warga negara dalam membayar pajak, tax ratio juga menunjukkan kebijakan perpajakan suatu negara, serta seberapa efisien dan efektif administrasi perpajakan di negara tersebut.
Ada tiga definisi berbeda mengenai tax ratio. Pertama yang digunakan oleh International Monetary Fund (IMF), kedua yang digunakan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD), dan terakhir yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia. Meski memiliki definisi umum yang sama yaitu rasio antara penerimaan pajak terhadap PDB, namun perbedaan mencolok terletak pada pembilang berupa komponen apa saja yang menjadi penerimaan pajak.
Acuan IMF mengenai penerimaan pajak tertuang dalam Government Financial Statistics Manual (GFSM) terbaru yang terbit pada 2014 (PDF), yang mendefinisikan penerimaan pajak sebagai penerimaan yang diperoleh unit-unit pemerintah baik pusat maupun daerah secara langsung maupun yang berasal dari badan usaha yang dikontrol oleh pemerintah.
Ada enam komponen penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan pajak versi GFSM: (1) PPh, keuntungan; (2) pajak atas gaji atau upah; (3) pajak atas properti; (4) pajak atas barang dan jasa; (5) bea atas perdagangan internasional dan transaksinya; (6) pajak lainnya.
Definisi OECD mengenai tax ratio lebih luas lagi karena memasukkan kontribusi jaminan sosial sebagai salah satu komponen. Bagi negara-negara maju yang telah lama menerapkan sistem welfare state dalam penyelenggaraan jaminannya, tax ratio mereka tentu tinggi, bahkan melebihi 30 persen.
Bagaimana dengan Indonesia? Sampai dengan 2017, pemerintah RI menetapkan cakupan penerimaan pajak dalam dua pendekatan, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Dalam arti sempit, tax ratio hanya memperhitungkan penerimaan pajak pusat yaitu pajak yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Jenis pajak ini meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, dan cukai.
Sedangkan dalam arti luas, rasio pajak turut memperhitungkan pungutan wajib yang dibayarkan warga negara kepada negara. Definisi ini memperhitungkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari sektor sumber daya alam (SDA), Minerba (mineral dan batu bara), pajak daerah, serta social security contribution atau kontribusi jaminan sosial semisal pembayaran BPJS.
Hitungan tax ratio di Indonesia saat ini sudah mulai mengacu pada pengertian arti luas. Sebab, perhitungan rasio pajak di Indonesia telah memasukkan unsur PNBP berupa royalti dari SDA migas dan pertambangan umum.
"Tapi penghitungan tax ratio di Indonesia mengecualikan penerimaan dari pajak daerah karena Indonesia menganut desentralisasi dan juga mengecualikan kontribusi sosial. Jadi, Indonesia belum sepenuhnya mengapdosi definisi tax ratio dalam arti luas," jelas Yustinus Prastowo, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) kepada Tirto.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, tax ratio Indonesia rasio pajak Indonesia dalam arti luas berturut-turut adalah 11,5 persen (2018), 10,7 persen (2017), 10,8 persen (2016), 11,6 persen (2015), 13,7 persen (2014).
Perbedaan Besaran Rasio Pajak
Prabowo Subianto dalam debat calon presiden pada April lalu sempat mengatakan bahwa tax ratio Indonesia pernah menyentuh 16 persen pada 1997. Selain itu, ia mengklaim tax ratio Malaysia dan Thailand berada di kisaran 19 persen, jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.
Menurut data Bank Dunia tahun 1997, tax ratio Indonesia memang pernah mencapai 16,01 persen. Namun, berdasarkan olahan data yang bersumber dari Nota Keuangan, APBN dan Statistik Indonesia, diperoleh informasi bahwa tax ratio Indonesia 1990-1998 berturut-turut: 6,19 persen (1990), 6,72 persen (1991), 7,31 persen (1992), 7,30 persen (1993), 7,68 persen (1994), 8,20 persen (1995), 7,86 persen (1996), 8,03 persen (1997), dan 6,05 persen (1998).
Pertanyaannya: Mengapa ada perbedaan besaran tax ratio? Jawabannya adalah karena adanya perbedaan komponen pembilang dan pembagi serta definisi tax ratio yang digunakan. Lantaran perbedaan pendekatan inilah, ukuran yang digunakan untuk menghitung tax ratio antara satu negara dengan negara lainnya memiliki berbeda.
Beberapa negara mengadopsi definisi rasio pajak dalam arti luas dengan memasukkan semua unsur seperti pajak daerah dan kontribusi sosial, maka tingkat tax ratio menjadi lebih tinggi.
Pemerintah Malaysia, misalnya, sejak tahun 2000 memasukkan unsur jaminan sosial dalam hitungan rasio pajak mereka. Dengan begitu, rasio pajak Malaysia bisa menyentuh angka 14,3 persen pada 2015 dan sebesar 13,8 persen pada 2018. Pun demikian dengan Thailand yang juga telah memasukkan komponen jaminan sosial dalam hitungan tax ratio. Dengan begitu, rasio pajak Thailand menyentuh level 16,5 persen pada 2015 dan sebesar 15,7 persen pada 2018.
"Tidak fair untuk membandingkan tax ratio antar negara, karena rasio pajak masing-masing negara berbeda tergantung definisi pajak yang melingkupinya. Jadi tidak bisa rasio pajak satu negara dibandingkan dengan negara lain tanpa disamakan dulu definisi pajaknya," jelas Danny Darussalam, Managing Partner lembaga riset pajak DDTC kepada Tirto.
Upaya Peningkatan
Tax ratio Indonesia sendiri bisa digenjot melalui beberapa kebijakan, salah satunya dengan memisahkan badan penerimaan negara dari Kementerian Keuangan. Nantinya, badan penerimaan negara bisa langsung melapor kepada Presiden untuk tingkat kepatuhan pajak dan memastikan tax ratio akan meningkat.
Rencana tersebut, menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, perlu dilakukan. Hal ini mengingat secara tupoksi (tugas pokok dan fungsi) posisi DJP sebagai pencari penerimaan negara perlu dibedakan dengan lembaga lain yang relatif fungsi utamanya sebagai pengguna.
Sebenarnya, rencana pemisahan DJP dari Kemenkeu sempat menjadi program pemerintahan Jokowo dan JK sejak awal periode pemerintahan. Nantinya, DJP bersama Direktorat Bea dan Cukai akan menjadi satu lembaga yaitu Badan Penerimaan Negara (BPN) dan menjadi bagian dari revisi UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Menurut Piter, manfaat dari pemisahan lembaga ini adalah terdongkraknya penerimaan negara dari sektor pajak. APBN saat ini menurut Piter masih perlu ditopang dengan lebih serius dari sektor pajak. Utamanya, jika pemerintah ingin memperoleh sumber pendanaan yang tidak melulu dari utang.
"Karena ketergantungan Indonesia terhadap pajak sangat besar dan kita berharap pajak bisa menjadi tulang punggung APBN," kata Piter melansir pemberitaan Tirto sebelumnya.
Rendahnya tax ratio memang ditengarai sebagai salah satu penyebab masih melesetnya realisasi pajak terhadap target APBN 2018. Menurut data Kementerian Keuangan menunjukkan perolehan pajak sepanjang 2018 mencapai Rp1.315,9 triliun atau 92,4 persen dari target Rp1.424 triliun hingga tutup tahun.
Realisasi pajak pada 2018 membuat catatan buruk bahwa Indonesia tak pernah mencapai target penerimaan pajak selama 10 tahun berturut-turut. Capaian penerimaan pajak Indonesia yang melampaui target, hanya terjadi pada 2008 dengan realisasi sebesar Rp571 triliun atau 106,7 persen dari target Rp535 triliun.
Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah bakal terus memperbaiki pelayanan. Dengan demikian, perbaikan tersebut menjadi insentif bagi wajib pajak untuk patuh secara sukarela.
"Pemerintah terus melakukan upaya untuk meningkatkan pelayanan dan menciptakan mekanisme perpajakan yang mudah, sehingga bisa mendorong masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya," ujar dia dalam rapat paripurna di gedung DPR RI, Selasa (11/6) lalu.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara