Menuju konten utama

Mengapa Tim-Tim Favorit Piala Dunia Banyak yang Gagal Menang?

Terlalu bergantung pada individu, kebuntuan taktik menghadapi lawan yang bertahan, kekosongan di lini tengah, menjadi kombinasi penyebab Argentina, Jerman, Brasil dan Perancis ringkih di laga perdana.

Mengapa Tim-Tim Favorit Piala Dunia Banyak yang Gagal Menang?
Ekspresi kekalahan Timnas Jerman pada pertandingan Grup F antara Timnas Jerman vs Timnas Meksiko di Luzhniki Stadium, Moscow, Rusia, Minggu (17/06/2018). AP Photo/Victor R. Caivano

tirto.id - Tak pernah ada yang bisa menyangka jika tim kuat macam Brasil, Jerman, Spanyol dan Argentina akan gagal meraih kemenangan pada pertandingan pertama mereka. Padahal dari banyak pratinjau, keempat tim ini digadang-gadang sebagai kandidat terkuat peraih trofi juara Piala Dunia kali ini.

Apa yang sebenarnya terjadi pada tim-tim ini hingga mereka gagal menang?

Messi-sentris yang Jadi Bumerang Bagi Argentina

Islandia tampil baik saat menahan Argentina dengan skor 1-1. Prestasi ini amat mengejutkan bagi sebuah negara yang populasinya 45 kali lebih sedikit ketimbang ibukota Argentina, Buenos Aires. Negara kecil ini memang memainkan taktik bertahan. Meski begitu, blok defensif 4-4-2 dipuji karena memainkan garis pertahanan yang dalam, tetapi bisa tetap kompak saat menyerang balik.

Serangan balik yang dilancarkan mampu mengacaukan transisi bertahan Argentina. Saat diserang, Argentina terlihat tidak pernah nyaman. Saat Argentina bertahan, pemain Islandia akan mengepung pemain Argentina pada bola di posisi tengah.

Ketika seorang pemain Argentina memutuskan untuk keluar dari struktur pertahanan dan menekan balik, posisi kosong inilah yang sering dimanfaatkan Islandia. Pada laga ini, Argentina sebenarnya bermain cukup baik.

Pelatih Argentina, Jose Sampaoli memakai formasi 4-2-3-1 dan akan berubah jadi 2-3-3-1-1 agar mereka dominan menguasai bola. Les Albiceleste memang mendominasi penguasaan bola, malah sebagian operan dimainkan di separuh area pertahanan Islandia sendiri. Struktur serangan Argentina pun sangat cair.

George Timms dalam analisisnya di website taktik Spielveralgerung mengatakan salah satu contoh betapa cairnya pergerakan pemain Argentina adalah posisi Messi yang kadang-kadang muncul di sisi kanan atau tengah lapang. Bertukar dengan Maximiliano Meza yang bergerak ke posisi sentral untuk memberi ruang bagi full-back kanan Eduardo Salvio naik ke depan.

Pada kesempatan lain, Salvio akan menggiring bola ke tengah, yang berarti Meza kembali ke sayap dan Messi memerankan pemain no.10. George memuji bahwa Messi cukup cerdas untuk menemukan ruang-ruang yang dijaga ketat oleh bek dan gelandang Islandia yang bermain rapat dan menumpuk. Yang jadi soal adalah, setelah menerima bola, ia memiliki ruang yang sangat terbatas untuk beroperasi.

Hal ini disebabkan dua alasan. Pertama, pertahanan Islandia yang sangat kompak dan berorientasi di tengah depan gawang. "Taktik ini membuat Islandia tidak harus menempuh jarak cukup jauh untuk menutup Messi ketika ia menerima bola dari posisi tengah," tulis George.

Alasan kedua kurangnya gerakan untuk mencari bola-bola daerah yang optimal dari pemain Argentina lain saat Messi menguasai bola. Di sisi lain, dari rekaman video memang terlihat saat Messi menguasai bola setidaknya 2 atau 3 pemain Islandia akan menutup dia.

"Mereka (teman-teman Messi) sering tidak bergerak sama sekali ketika Messi menggiring pertahanan Islandia, dan ketika mereka melakukannya, gerakan mereka tidak menyeret pemain belakang menjauh dari Messi, mereka juga tidak pindah ke posisi yang menawarkan Messi untuk bergerak secara progresif," paparnya.

Jerman Bermasalah di Tengah dan Sayap

Lalu bagaimana dengan Jerman? Analis taktik Michael Cox, dalam kolomnya di The Independent, menilai pendekatan Meksiko lebih berani. Saat melawan Jerman, pelatih Meksiko Juan Carlos Osorio memakai formasi 4-2-3-1, satu hal yang jarang ia lakukan.

Meksiko tak segan bermain terbuka, itulah mengapa ketika bertahan Meksiko selalu membiarkan tiga orang pemainnya berjaga di depan. Salah satu kunci utama Meksiko adalah kemampuan Carlos Vela yang sukses mematikan Tony Kroos. Sebagai seorang gelandang tengah, Vela rajin mengikuti Kroos. Ia mengganggu usaha Kroos membangun serangan dari bawah.

Cox menyebut Kroos gagal memvariasikan posisinya untuk menemukan ruang. Alhasil pengaruh metronomiknya diserahkan kepada bek tengah Jerome Boateng yang ditugasi memberikan bola-bola diagonal di sepertiga akhir pertahanan Meksiko. Jumlah umpan Boateng pada laga ini cukup banyak berjumlah 84 umpan, hanya kalah dari Kroos yang mengemas 85 umpan. Namun dari segi akurasi, umpan Boateng amat rendah hanya 51 persen yang sukses menemui sasaran. Itu artinya Boateng gagal membantu peran Kroos.

Saat Kroos menemui titik buntu, bek kiri Jerman Marvin Plattenhardt tak mampu berbuat banyak. Padahal sektor kanan Meksiko relatif kosong akibat gelandang kanan Meksiko, Miguel Layun, yang lebih banyak bergerak ke tengah membantu dua poros ganda Andreas Guardado dan Hector Herrera untuk bertahan.

Hal ini bertolak belakang dengan sisi kiri Jerman lewat Joshua Kimmich. Hampir 51 persen serangan Jerman ada di sisi ini. Cox juga menyebut Kimmich sering kali tumpang tindih dengan Thomas Muller. Ia sering berlari diagonal ke tengah depan gawang.

Faktor Kimmich ini yang jadi masalah bagi Jerman. "Kecenderungan menyerang terus menerus dalam pikiran Kimmich menyebabkan Jerman punya masalah serius ketika kehilangan bola," ucapnya.

Pelatih Meksiko jeli melihat ruang yang ditinggalkan Kimmich ini. Itu sebabnya dia tetap memasang Herving Lozano di depan untuk menyerang balik dengan memanfaatkan ruang yang ditinggalkan Boateng yang tak lagi sejajar dengan Matt Hummels.

Dua bek ini memang sering kali kesulitan menghadang Lozano yang punya kecepatan. Hal ini ditambah Javier Hernandez yang punya kecepatan. Pola pertahanan Jerman yang memainkan garis pertahanan cukup tinggi sebenarnya bukan masalah jika mereka memiliki holding midfielder yang cukup baik. Di sinilah peran Sami Khedira dipertanyakan.

Saat menyerang posisi Jerman cenderung berganti jadi 3-6-1. Dengan Kroos yang mundur membela Hummels dan Boateng, dua full-back yang naik, serta Kheidira sejajar dengan Mesut Ozil.

Terkadang Khedira maju lebih depan agar membantu Muller dan Kimmich mengeksploitasi sayap kiri Meksiko. Alhasil posisi holding yang ditinggalkan Khedira memaksa Kroos naik ke depan dan menyisakan gap yang luas antara lini tengah dan dua bek tengah yakni Hummel dan Boateng.

Ruang kosong ini yang biasa dimanfaatkan oleh Meksiko. Itulah mengapa seringkali Meksiko unggul jumlah pemain di pertahanan Jerman. Transisi dari bertahan ke menyerang dalam skema serangan balik ini cukup sukses. Dari 4 percobaan mencetak gol, tiga di antaranya on target dan satu menjadi gol. Simpel dan efektif.

Lengah Saat Menghadapi Bola Mati

Brasil jadi negara terakhir yang bergabung dalam daftar tim besar yang gagal menang dalam laga pembuka di Piala Dunia kali ini. Peraih lima kali juara dunia itu itu ditahan imbang 1-1 oleh Swiss.

Untuk pertama kalinya sejak 1978, Brasil tidak memenangkan pertandingan pembuka mereka di Piala Dunia. Gol penyeimbang yang dicetak Steven Zuber pada menit 50 terjadi akibat kesalahan pemain Brazil sendiri. Hasil imbang dari Swiss adalah tamparan keras bagi lini belakang Brazil. Mereka terlalu jemawa sebab dalam 21 pertandingan terakhir, 16 di antaranya tak pernah kebobolan alias nirbobol (cleansheet).

Kelengahan Brasil terungkap saat mereka kedodoran menghadapi bola mati. Terlepas dari perdebatan tentang dorongan Zuber kepada Joao Miranda sebelum ia menyundul, insiden ini memperlihatkan lubang di pertahanan Brasil saat menghadapi bola mati. Miranda memang patut disalahkan karena posisinya yang membalikkan badan sehingga memunggungi Zuber. Di sisi lain, Kiper Alisson pun dikritik karena terlalu pasif dan enggan maju untuk meninju bola.

Pada pertandingan ini, Swiss memang sukses mematikan Neymar. Pelatih Swiss Vladimir Petkovic sengaja menargetkan Neymar untuk dijaga ketat. Tak hanya itu, Neymar pun disasar jadi target pelanggaran. Pada laga kali ini, wasit mengeluarkan tiga kartu kuning dan 14 pelanggaran bagi Swiss. Sepuluh pelanggaran itu ditunjukan pada Neymar seorang.

Sejak mengalami cedera metarsal sejak Februari lalu, performa Neymar belum membaik. Pelatih Brazil Adenor Leonardo Bacchi, atau yang akrab disapa Tite, membenarkan bahwa Neymar tidaklah fit 100 persen. Mendapat tekelan bertubi-tubi, Neymar terlihat tertatih-tatih saat menggelar jumpa pers usai pertandingan.

Di saat Neymar tak optimal, hal sama dialami Gabriel Yesus. Statistik mencatat dari 20 tembakan yang dibuat Brasil, pemain Manchester City ini hanya membuat 1 kali. Dalam konteks mengumpan, ketimbang penyerang lain Jesus hanya sukses membuat 20 umpan dengan akurasi hanya 62 persen. Di barisan juru gedor, Brasil murni hanya mengandalkan Neymar dan Coutinho. Kedua pemain ini rajin juga untuk saling bertukar posisi dengan pemain lainnya.

Serangan Brasil ke gawang Swiss memang timpang berasal dari sisi kiri lewat Neymar, Coutinho dan Marcelo yang maju dari belakang. Pada laga kedua menghadapi Kosta Rika, Tite mungkin saja melakukan rotasi, di antaranya dengan memasukkan Roberto Firmino dari menit awal.

infografik tim besar tumbang

Meski Imbang, Spanyol Lebih Baik Ketimbang Perancis

Perancis menggebrak kampanye Piala Dunia mereka dengan kemenangan atas Australia dengan skor 2-1. Namun kemenangan itu tak akan terjadi tanpa intervensi teknologi. Gol pertama dibantu oleh Video Assistant Referee (VAR), gol kedua disahkan oleh Goal Line Technology (GTL).

Pada dasarnya Perancis ringkih menghadapi Australia. Dengan formasi dasar 4-2-3-1, saat bertahan mereka akan menjadi 4-4-1-1 dengan satu gelandang akan turun.

Australia menunjukkan kekompakan besar di antara garis pertahanan dan lini tengah. Mereka bergerak cepat menekan dan membatasi Kylian Mbappe dan Ousmane Dembele untuk melakukan dribble. Australia pun memadatkan pemain di lini tengah untuk membatasi area gerakan Antoine Griezmann dengan menugaskan Michael Jedinak dan Aaron Mooy.

Di sisi lain, Perancis juga lambat saat menguasai bola. Hal ini disebabkan tiga gelandang sentral mereka, yaitu Paul Pogba, Corentin Touliso dan N'golo Kante, lebih sering merapat atau dekat dengan bek ketimbang para pemain linis erang.

Ini tentu jadi masalah, sebab stabilitas eksploitasi Perancis jadi terhambat saat lawan menempatkan hampir sembilan pemain di depan kotak penalti. Peran dua fullback Pavard dan Lucas Hernandez juga belum terlihat maksimal membantu trio Griezmann, Dembele dan Mbappe.

Pada babak kedua, Deschamps menarik Griezmann dan Dembele seraya memasukkan Olivier Giroud dan Nabil Fekir. Masuknya Giroud otomatis menggeser Mbappe ke posisi sayap dan bermain melebar. Hal ini membuat Pogba bisa leluasa bermain lebih naik. Ini membuat Perancis bermain lebih baik, dan Pogba pun akhirnya bisa mencetak gol.

Meski menang, Perancis menjalani pertandingan dengan awal yang tidak meyakinkan. Ini akan jadi masalah sebab perjuangan melawan tim yang cenderung bermain defensif akan berlanjut saat mereka bersua Peru dan Denmark.

Apa yang ditampilkan Perancis sebenarnya tak lebih baik ketimbang Spanyol. Hasil imbang 3-3 melawan Portugal mestinya tak akan terjadi jika saja Spanyol tak melakukan tindakan sia-sia: pelanggaran yang berbuah penalti dan tendangan bebas serta blunder kiper De Gea -- yang semuanya dieksekusi dengan baik oleh Cristiano Ronaldo.

Meski imbang, dalam kolomnya di The Independent, Michael Cox memuji tiki-taka Spanyol masih terasa. Malah pada babak pertama, penampilan mereka dipuji mirip seperti Spanyol era Luis Aragones yang dinamis.

Jordi Alba dinilai sebagai pemain paling penting yang menawarkan kecepatan, permainan lebar dan bola-bola daerah yang mampu dieksekusi dengan baik oleh Isco dan Andres Iniesta.

Secara keseluruhan Cox memuji pertemuan antara Spanyol dan Portugal sebagai laga sempurna yang mempertemukan keseimbangan ideal antara kerjasama ala Spanyol bertemu individualisme yang ditekankan Portugal. Strategi sistematis menghadapi struktur individual.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti