Menuju konten utama

Rahasia Jerman Banyak Cetak Pelatih Sepakbola Mumpuni

Gelar juara Piala Dunia yang diraih Jerman pada 2014 menjadi pembuktian perombakan sistem sepakbola di Jerman berjalan sukses. Salah satunya soal memberikan kesempatan pelatih muda menjadi pelatih kepala klub sepakbola.

Rahasia Jerman Banyak Cetak Pelatih Sepakbola Mumpuni
Hans Hennes Weisweiler. FOTO/Istimewa

tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak pelatih berusia muda yang "naik pangkat" menjadi pelatih sepakbola kepala di Jerman. Hal itu melahirkan apa yang dinamai dengan fenomena "gelombang kedua". Semua ini bermula sejak 1947, saat Jerman sudah mendirikan sekolah pelatih sepakbola atau 16 tahun sebelum mereka punya liga sepakbola profesional,

Hennes-Weisweiler-Akademie jadi penentu dari sepakbola Jerman. Bagi mereka yang menamatkan studi sepakbola di akademi ini maka mereka berhak mendapat gelar Fussball-lehrer; secara harfiah itu berarti "Guru Sepakbola. Namun Mahaguru Sepak Bola adalah padanan yang lebih pantas. Siapa pun boleh mendaftar ke Akademie, tapi tidak semua akan diterima. Akademie hanya menerima 24 pelamar setahun; hanya yang terpilih dari seluruh pelamar. Dalam sepuluh bulan, semuanya akan lulus dan diperebutkan.

Gelar Fussball-lehrer baru dinyatakan setara dengan lisensi UEFA Pro (lisensi kepelatihan tertinggi Eropa) pada 2008. Mengapa memilih Akademie? Akademie bergengsi ini mengajarkan segalanya dari persoalan kebugaran, statistik, nutrisi, dan perkembangan pemain. Semuanya, dalam teori dan praktik selama 815 jam. Semua itu berbeda jauh dari yang lain, di seluruh Eropa terdapat 45 tempat yang berhak memberi lisensi UEFA Pro dan setaranya. UEFA menerapkan standar minimal yang sama untuk semua tempat tersebut, dan salah satu standar minimal hanya 240 jam pendidikan kepelatihan.

Sebagai pembanding saja, organisasi sepakbola Inggris, FA memberi lisensi UEFA Pro kepada peserta yang telah menyelesaikan pendidikan selama 256 jam. Di Akademie bisa sebaliknya, selama 815 jam, seorang peserta belum tentu dinyatakan lulus sebagai pelatih. Mereka masih harus menjalani delapan pekan masa magang di salah satu klub Bundesliga 1 (divisi tertinggi sepak bola Jerman) dan menyerahkan makalah, minimal 15 halaman, tentang filosofi sepak bola mereka.

Apa yang terjadi di Akademie bisa menjelaskan kualitas dan asal pelatih-pelatih Jerman dilahirkan. Namun, yang lebih berperan dalam naiknya para pelatih muda ke panggung tertinggi sepakbola Jerman adalah sistem. Pemicunya, saat Jerman tersingkir secara memalukan dari Piala Eropa 2000 memicu Jerman untuk merombak sistem sepakbola. Semua diperbaiki dari tingkat akar rumput hingga melahirkan pemain-pemain Jerman, yang berusia muda dan berkualitas baik.

infografik hans weisweiler

Piala Dunia menjadi rekaman sejarah perkembangan baru sepakbola Jerman, para pemain generasi baru mulai tampak menjelang Piala Dunia 2006, dan mulai terlibat langsung pada 2010, lalu menjadi juara pada 2014. Kemunculan para pemain generasi baru ini adalah gelombang pertama dari perombakan sistem. Gelombang berikutnya adalah kemunculan para pelatih muda. Kecenderungan klub-klub Jerman untuk mempercayakan jabatan pelatih kepala kepada sosok minim pengalaman juga memainkan peran dalam terjadinya gelombang kedua.

Ini dapat dilihat dari dua belas dari delapan belas klub peserta Bundesliga 1 musim 2016/17 dipimpin oleh pelatih kepala yang sama sekali tidak pernah menangani klub di divisi ini sebelumnya. Hal ini sedikit banyak didorong oleh kemampuan finansial klub-klub Jerman. Tanpa dana besar untuk mengontrak pelatih kepala berpengalaman yang bergaji tinggi, maka solusi yang paling masuk akal adalah mengontrak sosok muda yang minim atau sama sekali tanpa pengalaman.

Ini memang berisiko, tapi keterbatasan finansial hanya sebagian dari alasan, bukan hal yang utama. Jumlah 24 orang lulusan dari Akademie setiap tahun menjadi kesempatan klub-klub Jerman menyesuaikan diri terhadap perubahan. Sebuah keyakinan yang lahir dari gagasan umum bahwa ide-ide segar jarang lahir dari kepala orang tua. Artinya mempekerjakan pelatih muda berarti klub tak perlu repot mencari pelatih kepala; cukup mempromosikan pelatih tim muda. Hasilnya beberapa pelatih dengan nama mentereng lahir.

Julian Nagelsmann (TSG Hoffenheim), Alexander Nouri (Werder Bremen), Manuel Baum (FC Augsburg), Christian Streich (SC Freiburg), Pal Dardai (Hertha BSC), dan Martin Schmidt (FSV Mainz) naik ke posisi mereka saat ini dari tim muda. Begitu pula dengan Thomas Tuchel (Borussia Dortmund) yang menempuh jalur serupa ketika di Mainz dan Markus Gisdol (Hamburger SV) di Hoffenheim.

Sementara itu para pelatih kepala yang tidak menempuh jalur serupa adalah mereka yang entah menangani tim muda satu klub lalu menjadi pelatih kepala klub lain, atau mereka yang langsung menjadi pelatih kepala tapi berjuang dari divisi bawah. Jalur yang satu tak serta merta lebih baik dari yang lain.

Pada akhirnya para pelatih gelombang kedua sama-sama dibentuk dan ditempa oleh sistem. Perjuangan para pelatih Jerman tidak selesai dengan berakhirnya 815 jam plus delapan pekan masa magang serta diserahkannya makalah panjang.

Semudah-mudahnya mendapat pekerjaan dengan gelar Fussball-lehrer, mereka tetap harus membuktikan diri hari demi hari untuk bertahan di industri sepakbola Jerman yang standarnya sangat tinggi. Dan ini tidak hanya berlaku untuk pelatih kepala. Lisensi Pro UEFA atau gelar Fussball-lehrer adalah standar minimal untuk menjadi pelatih akademi; pelatih biasa, bukan pelatih kepala tim muda. Sebagai pembanding, untuk menjadi manajer klub divisi tiga di Inggris, seseorang hanya perlu memiliki lisensi UEFA A (setingkat di bawah UEFa Pro).

Standar sepakbola di Jerman yang tinggi, tentu kualitas para pelatih sudah teruji. Jerman membangun sekolah, sistem, dan standar sedemikian rupa untuk menjamin satu hal: tidak ada yang terlalu tua untuk menjadi pelatih kepala.

Baca juga artikel terkait TIMNAS JERMAN atau tulisan lainnya dari Taufiq Nur Shiddiq

tirto.id - Olahraga
Reporter: Taufiq Nur Shiddiq
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Suhendra