tirto.id - Julen Lopetegui telah dipecat sebagai pelatih timnas Spanyol hanya dua hari menjelang laga perdana Piala Dunia 2018 menghadapi Portugal. Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF) langsung menunjuk pelatih baru yaitu Fernando Hierro untuk memimpin selama Spanyol bermain di Piala Dunia 2018 ini.
Situasi timnas Spanyol kini tentu sudah sangat lain. Namun di tengah kondisi yang serba mepet, Hierro sangat mungkin tidak akan melakukan banyak perubahan strategi, setidaknya di laga pertama.
Kekacauan di timnas Spanyol ini membuat publik Spanyol merasakan kecemasan. Apalagi penampilan Spanyol dalam dua ternamen besar terakhir, yaitu Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016, jauh dari bagus. Di Piala Dunia 2014, mereka bahkan tidak sanggup lolos dari fase grup. Sedangkan di Piala Eropa 2016, mereka hanya sampai di babak delapan besar saja.
Kecemasan itu juga dialami Lopetegui jauh sebelum dia dipecat.
Transisi yang Sulit
Ketika mengambil alih kursi kepelatihan timnas Spanyol dari tangan Vicente del Bosque pada 21 Juli 2016, Lopetegui memegang beban berat dan ketidakpastian. Spanyol baru saja hancur lebur di Piala Eropa 2016 setelah ditekuk Italia di babak 16 besar. Sebelumnya pada Piala Dunia 2014, De Bosque pun gagal total. Ia sama sekali tak mampu meloloskan Spanyol dari babak grup -- padahal status Spanyol saat itu adalah juara bertahan.
Mundurnya Del Bosque dianggap sebagai akhir generasi emas Spanyol. Di bawah asuhan Luis Aragones yang sukses mempersembahkan Piala Eropa 2008, Spanyol melaju hebat di tangan Del Bosque. Secara beruntun mereka menjuarai Piala Dunia 2010 dan mempertahankan gelar juara Piala Eropa pada 2012. Siapa nyana jika di Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016 Spanyol malah luluh lantak?
Hal ini membuat Lopetegui tahu diri. Mesti datang di tengah kekacauan, ia merasa inferior dan enggan dibandingkan dengan kesuksesan luar biasa pelatih pendahulunya.
"Jadi membandingkan apa pun tidak adil dan akan menjadi kesalahan," katanya kepada wartawan usai resmi ditunjuk oleh Federasi Sepakbola Spanyol.
Kepada media, ia mengaku tak bisa melepaskan skema dan pola seperti pelatih sebelumnya. Kata dia, itu adalah sebuah keniscayaan.
"Kita punya pemain bagus, dengan ambisi, kepribadian, keinginan. Pemain yang membuat langkah besar dan tetap mengikuti jejak mereka [pelatih pendahulu] bukan orang lain," ujar pelatih yang kini berusia 51 tahun itu.
Para punggawa era keemasan yang sudah mulai memudar kemampuannya membuat Lopetegui mau tak mau melakukan peremajaan sejak setahun terakhir. Pada Piala Dunia kali ini, hanya Sergio Ramos, Andreas Iniesta dan David Silva, alumnus Piala Eropa 2008, yang masih dibawa ke Rusia.
Meski melakukan peremajaan, Lopetegui tetap mempertahankan gaya bermain yang sama: umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki. Gaya macam ini tetap berpusat pada gelandang kreatif macam Sergio Busquets, Thiago Alcantara, Iniesta, Isco atau Silva.
Gaya tiki-taka memang tak begitu asing bagi pelatih berumur 51 tahun ini. Dulunya ia pernah membawa Spanyol U-21 dan U-19 juara Piala Eropa bersama pemain seperti David De Gea, Isco, Thiago, Nacho, Dani Carvajal dan Rodrigo Moreno. Nama-nama itu juga menghiasi skuat Spanyol saat ini.
Dalam kurikulum baku federasi Spanyol, gaya tiki-taka sudah dilajarkan sejak usia dini. Itu sebabnya memilih Lopetegui dianggap sebagai hal tepat sebab ia dianggap sudah akrab dengan tiki-taka.
Meski begitu, Busquet menilai Lopetegui lebih spesial. "Keduanya [Bosque dan Lopetegui] memiliki sistem yang kurang lebih sama," kata Busquet dikutip dari Marca. "Tetapi dengan Lopetegui kami bekerja lebih taktis. Ada banyak penekanan pada hal itu, tetapi lebih atau kurang mereka sangat mirip."
Sama seperti Bosque, Lopetegui berkecenderungan memainkan 4-3-3 atau 4-2-3-1. Sering juga memodifikasinya menjadi 4-1-4-1 atau mengubahnya dengan memasang dua striker sejajar 4-4-2. Sesekali inovasi dilakukan dengan memainkan tiga bek.
Di bawah arahannya, Lopetegui menempatkan dua full-back, Jordi Alba dan Dani Carvajal, untuk bermain offensif. Cederanya Carvajal di final Liga Champions membuat Spanyol kelimpungan. Meski cedera Carvajal tetap dibawa ke Rusia. Ia dipastikan tak bisa absen di dua pertandingan awal.
Namun Carvajal sempat tampil saat Spanyol menghadapi Argentina pada akhir bulan lalu. Carvajal punya peran penting di lini serang. Saat menghadapi Argentina, area aksinya sangat luas, tak hanya menyisir sayap, terkadang ia pun memainkan peran sebagai inverted winger yang berlari diagonal ke depan gawang lawan.
Kehilangan Carvajal berpengaruh serius pada Spanyol. Sebagai pengganti Carvajal, Lopetegui sebetulnya memiliki bek tengah Arsenal yang bisa diplot bermain di sayap yakni Nacho Monreal. Namun sikapnya yang cenderung defensif membuat Lopetegui lebih memilih bek sayap Real Sociedad, Alvaro Odriozola. Selain punya kemampuan dribling, crossing dan rajin membuat assist, usia Odriozola relatif sangat muda. Tahun ini ia baru berusia 22 tahun.
Pada posisi bek tengah, duet pemain senior Sergio Ramos dan Gerard Pique tak akan tergantikan. Selain kokoh jadi palang pintu lini belakang, keduanya pun bisa diandakan untuk menanduk bola-bola atas dalam berbagai situasi set-piece.
Warisan Lopetegui untuk Hierro
Jika pada Piala Dunia 2010 dan Euro 2012, kekuatan lini tengah Spanyol berporos pada Busquets - Fernando Alonso - Iniesta dan Xavi, pada Piala Dunia kali ini poros itu tak banyak berubah.
Bedanya, jika dulu Busquets mendapatkan partner Xabi Alonso yang punya kreatifitas sebagai playmaker di posisi jangkar, kali ini Busquet harus dua peran itu secara sekaligus. Gelandang Barcelona ini berfungsi jadi jembatan antara pertahanan dan lini tengah, sekaligus menjadi gelandang yang diandalkan melindungi pertahanan. Kepada Marca, Lopetegui mengakui bahwa Busquets adalah pemain vital dalam taktiknya selama ini.
Selain Busquets, dua gelandang lain yang mengisi slot formasi 4-3-3 ala Lopetegui adalah Iniesta, Thiago Alcantara atau Koke. Sedangkan tiga penyerang di depan adalah Isco, Diego Costa dan David Silva. Dengan komposisi pemain seperti ini, formasi 4-3-3 menjadi amat cair dan seringkali berganti formasi tanpa harus mengganti pemain. Seringkali pola berganti jadi 4-1-4-1 dengan Isco dan Silva yang turun sejajar dengan Iniesta dan Thiago.
Pakem ini akan berjalan maksimal jika Spanyol mampu mengendalikan ball possesion. Mereka akan bersabar membangun serangan dari kaki ke kaki, lalu perlahan memasuki wilayah pertahanan lawan dengan melakukan umpan-umpan terobosan pendek di kotak penalti lawan.
Saat mengusai jagat sepakbola selama empat tahun, dari Piala Eropa 2008 hingga Piala Eropa 2012, Spanyol nyaris selalu memaksimalkan seorang pemain yang berperan sebagai false nine. Beberapa pemain pernah mengisi peran ini, dari Fabregas hingga Iniesta. Kecenderungan ini kemungkinan akan dipakai kembali di Piala Dunia kali ini.
Sebelum dipecat, Lopetegui hanya membawa dua penyerang murni ke Rusia yaitu Diego Costa dan Rodrigo. Ia berani mengambil risiko tak membawa Alvaro Morata. Secara skema, Costa cocok untuk permainan Spanyol. Oleh Diego Simeone di Atletico Madrid, Costa dididik untuk menjadi seorang defensive forward - seorang penyerang yang diberi beban untuk aktif aksi bertahan dan mengganggu lawan di area pertahanan lawan.
Jenis striker ini akan berguna saat lini tengah Spanyol mengalami kebuntuan melewati lawan. Costa mampu memberi Spanyol peluang untuk memukul lebih lama serta memainkan umpan-umpan pendek tanpa mendapat kesulitan.
Saat ujicoba melawan Argentina pada Maret lalu, peran Costa yang bermain jauh ke belakang membuatnya seperti sedang memerankan false nine. Ujicoba menggunakan false nine juga dilakukan Lopetegui pada babak kedua. Ia menarik Costa keluar, lalu memainkan formasi 4-2-4, dengan mendorong empat pemain naik ke lini serang sekaligus yaitu Aspas, Asensio, Isco dan Iniesta.
Pada laga ini, Isco memainkan peran baik sebagai seorang false nine. Selain mampu mencetak hattrick, Isco membuat satu assisst. Isco membuktikan dirinya sebagai pemain Spanyol yang sangat berguna dalam skema penyerangan yang cair dan banyak melakukan pertukaran posisi.
Kemenangan Spanyol atas Italia pada September 2017 juga menjadi ilustrasi yang lain. Saat itu Lopetegui memainkan David Silva sebagai false nine. Silva yang sering turun ke lini tengah sering membuat Leonardo Bonucci dan Andrea Barzagli, duet bek tengah Italia, kikuk. Isco dan Asensio, dua pemain depan Spanyol yang berdiri di samping Silva, kemudian sering memanfaatkan ketidaknyamanan dua bek tengah Italia tersebut. Hasilnya, Spanyol berhasil menang 3-0 pada pertandingan tersebut.
Spanyol memang masih memiliki masalah di lini depan. Costa sampai saat ini belum terlalu nyetel dengan para gelandang. Meski begitu, kehadiran gelandang serba bisa macam Isco atau Asensio setidaknya mampu menepis keraguan terhadap kekurangan Costa itu.
Lopetegui sempat mencoba skema baru 4-4-2 tanpa memainkan Isco pada ujicoba melawan Swiss pada 3 Juni lalu. Hasilnya, Spanyol hanya bermain imbang 1-1. Penampilan mereka juga begitu datar, minim kejutan, dan serangannya mudah ditebak. Wajar jika para lawan menduga Spanyol akan menyerang dengan memaksimalkan seorang pemain yang berperan sebagai false-nine.
20 kali bermain, 16 kali menang dan sisanya seri, membuktikan bahwa Lopetegui memimpin Spanyol dengan baik selama dua tahun terakhir. Dia mampu mengintegrasikan orang-orang seperti Isco dan Marco Asensio ke dalam tim tanpa masalah. Ia juga disebut mampu mengharmoniskan para pemain dari Real Madrid dan Barcelona.
Di Piala Dunia kali ini, Lopetegui dibebankan untuk mencapai semifinal. Dengan komposisi pemain muda dan berpengalaman yang sejauh ini berjalan maksimal tak menutup kemungkinan target itu akan tercapai.
Apa yang Akan Dilakukan Hierro?
Legenda Real Madrid ini tidak punya banyak waktu untuk memperkenalkan sistem baru. Lagi pula, buat apa memaksakan skema baru saat skema lama sudah memperlihatkan hasil yang cukup bagus? Masalah Spanyol bukan dalam soal skema, melainkan transisi kepemimpinan di kursi pelatih yang berlangsung tiba-tiba.
Amat bisa dipahami jika Hierro tidak akan melakukan banyak perubahan. Selain faktor waktu yang sangat mepet, toh Hierro selama ini juga dinilai berguru kepada pelatih-pelatih yang cenderung pragmatis dan tidak fanatik pada pakem permainan tertentu. Ia pernah bekerja untuk Sam Allardyce dan Carlo Ancelotti, dua sosok yang dikenal tidak memeluk satu sistem permainan secara keras kepala.
Karena pilihan Lopetegui terbukti bisa membuat Spanyol bermain bagus, Spanyol di bawah asuhan Hierro sangat mungkin akan bermain dengan cara yang kurang lebih sama. Setidaknya di laga saat menghadapi Portugal nanti.
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan