Menuju konten utama

Mengapa Super Air Jet Berani Muncul di Tengah Pandemi?

Pasar penerbangan domestik Indonesia yang lebih kuat dibanding negeri jiran, mendorong Super Air Jet berani menampakkan diri saat pandemi.

Mengapa Super Air Jet Berani Muncul di Tengah Pandemi?
Super Air Jet. FOTO/Dok. Super Air Jet

tirto.id - Lebaran lalu, setelah dua kali tak diizinkan negara untuk pulang kampung, saya akhirnya dapat berkumpul kembali dengan keluarga, merayakan Idul Fitri bersama. Barangkali sudah bosan dengan pertanyaan "kapan nikah?" mereka justru bertanya soal moda transportasi yang saya gunakan.

"Kemarin naik pesawat apa?"

"Super Air Jet," jawab saya singkat.

"Loh, pesawat apa itu? Maskapai baru, ya? Kok ada maskapai baru pas pandemi kayak gini, sih?" Cecar kakak ipar.

Super Air Jet pertama kali terbang pada 6 Agustus 2021. Maskapai baru milik Rusdi Kirana yang tak mau dikait-kaitkan dengan kelompok Lion Air (Lion Air, Batik Air, dan Wings Air) ini cukup mengejutkan karena hadir di tengah-tengah masyarakat saat pandemi Covid-19 masih berlangsung dan banyak maskapai dunia berguguran.

Terdapat alasan mengapa Super Air Jet berani menampakkan diri di tengah pandemi, yakni pasar penerbangan domestik Indonesia yang mampu bertahan. Kisah AirAsia terbang di langit Nusantara dan pelbagai negara luar terutama Malaysia selama masa pandemi pas dijadikan acuan tentang kekuatan pasar penerbangan domestik Indonesia ini.

Kisah AirAsia Bertahan Saat Pandemi

Pada tahun 2001, Tony Fernandes membeli AirAsia, maskapai milik DRB-HICOM Berhad (konglomerasi milik Pemerintah Malaysia) dengan mahar uang senilai satu ringgit. Dinilai sebagai langkah bisnis yang buruk karena kala itu Airasia memiliki hutang yang terlalu menggunung, Tony bersama mitranya bernama Kamarudin Meranun, berhasil mengubah peruntungan maskapai ini. Melalui tarif promo senilai satu ringgit untuk setiap penerbangan, Airasia berhasil meraih simpati masyarakat dengan mendaulat diri sebagai "now everyone can fly" alias "maskapai berbiaya murah" atau "low cost carriers".

Murahnya tarif penerbangan AirAsia terjadi karena Tony berhasil menekan beban operasional perusahaan. Ia misalnya tak tergoda menggunakan beragam jenis pesawat, tetapi hanya satu jenis, yakni Airbus A320. Seiring waktu, AirAsia tak hanya melayani pasar Malaysia, tetapi mulai merambah Thailand, Filipina, dan Indonesia--dengan membeli lisensi milik Awair, maskapai milik Abdurahman Wahid.

Melalui prospektus, AirAsia mengemukakan bahwa mereka mencoba meraih cuan lewat "pasar penerbangan dalam radius waktu [maksimal] tiga setengah jam dari pusat (Kuala Lumpur)."

Pasar yang disasar ini memiliki potensi jutaan penumpang karena "mayoritas populasi wilayah ini tidak dilayani, serta tak terjangkau [secara harga] oleh maskapai lain." Namun, seakan melupakan prospektusnya, AirAsia kemudian membuka rute internasional jarak jauh melalui penciptaan AirAsia X, untuk melayani penerbangan dari pelbagai negara Asia menuju Australia dan Amerika Serikat.

Warsa 2005, setahun selepas penawaran saham perdana atau IPO, AirAsia meraup pendapatan sebesar 666 juta ringgit atau setara Rp2,2 trilun, merangkak ke angka 1,07 miliar ringgit (2006), 1,6 ringgit (2007), serta 2,9 miliar ringgit (2008), dan terus bertumbuh di tahun-tahun berikutnya.

Namun, pertumbuhan AirAsia akhirnya berakhir juga. Pendemi Covid-19 menghantam bisnis penerbangan. Tahun 2019, maskapai ini masih menghasilkan pendapatan senilai 12 miliar ringgit, tapi tahun berikutnya mereka hanya memperoleh cuan senilai 3 miliar ringgit karena jumlah penumpang berkurang hingga 60 persen. Dari 51 juta penumpang di pelbagai negara yang mereka layani, menjadi 13 juta penumpang sepanjang 2020.

Lini penerbangan jarak jauh AirAsia, AirAsia X, menghadapi nasib terburuk. Thai AirAsia X bangkrut dan Fly Asian Xpress Sdn. Bhd. melakukan restrukturisasi guna menghindari pailit. Sementara lini utama AirAsia (Malaysia) melepaskan 170 pilot, 111 awak kabin, dan 50 insinyur. Di sisi lain, AirAsia Indonesia, tanpa memperhitungkan karyawan yang dirumahkan, terpaksa memutuskan hubungan kerja terhadap sembilan pekerjanya.

Infografik Penerbangan Domestik

Infografik Penerbangan Domestik. tirto.id/Fuad

Bangkrutnya Thai AirAsia X dan restrukturisasi yang mesti diambil AirAsia X (Malaysia) terjadi karena sasaran utama dua maskapai dari satu tim ini adalah orang-orang Malaysia dan Thailand yang terutama hendak bepergian ke Australia. Sejak Maret 2020 hingga dua tahun kemudian, Australia menutup kedatangan warga asing untuk menanggulangi penyebaran SARS-CoV-2. Kebijakan ini membuat AisAsia kehilangan pasar penerbangan jarak jauh terpentingnya. Sementara perbedaan nasib antara AirAsia (Malaysia) dan AirAsia Indonesia terjadi karena pasar penerbangan domestik Indonesia lebih kuat daripada Malaysia.

Pada 2019, AirAsia menerbangkan 35 juta penumpang dalam pasar penerbangan domestik Malaysia. Dan dalam pasar penerbangan domestik Indonesia, maskapai ini menerbangkan 8 juta penumpang. Setahun kemudian saat Corona merebak, AirAsia hanya menerbangkan 9 juta penumpang (Malaysia) dan 2,1 juta penumpang (Indonesia).

Jumlah penumpang penerbangan domestik Indonesia yang dilayani AirAsia memang lebih kecil daripada Malaysia. Namun, ini terjadi atas dua faktor. Pertama, untuk melayani Malaysia, AirAsia menggunakan 97 armada pesawat. Sementara di Indonesia, AirAsia hanya menggunakan 28 armada alias kurang dari sepertiga kekuatan yang mereka kerahkan untuk melayani penumpang Malaysia. Kedua, AirAsia hanya mampu mendulang 2 persen pangsa pasar penerbangan domestik Indonesia, yang tak setara dengan 54,8 persen pangsa pasar AirAsia atas penerbangan domestik Malaysia.

Meskipun pangsa pasar AirAsia di Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia, secara koefisien--dengan membagi jumlah penumpang yang dilayani dengan jumlah armada--peruntungan AirAsia di Indonesia tak terlalu jauh dibandingkan Malaysia. Tiap pesawat yang terbang di Malaysia (sebelum Corona), koefisen AirAsia berada di titik 1:361.221. Sementara di Indonesia, koefisiennya berada di angka 1:284.545.

Perbedaan ini berpangkal pada pasar penerbangan domestik Indonesia yang lebih kuat dibandingkan Malaysia. Di Indonesia lebih dari 44 juta penumpang sebelum pandemi, dan di Malaysia sekitar 28 juta penumpang sebelum pandemi. Atau hampir 36 juta penumpang di Indonesia selama pandemi, dan sekitar 8,6 juta penumpang di Malaysia selama pandemi. Kekuatan pasar penerbangan domestik inilah yang membuat Super Air Jet berani menampakkan diri untuk pertama kalinya saat pandemi.

Baca juga artikel terkait PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi