tirto.id - Ratna Sarumpaet membuat gaduh karena mengaku dipukuli orang tak dikenal di Bandung. Pengakuan Ratna membikin situasi memanas tatkala rekan-rekan satu koalisinya, termasuk calon presiden (capres) Prabowo Subianto, membuat keterangan seolah pemukulan dilakukan oleh lawan-lawan politik mereka.
Namun, kemudian ia mengakui bahwa semua cerita itu palsu. “Tidak ada penganiayaan. Itu hanya cerita khayal,” akunya.
Kebohongan Ratna bermula dari efek bengkak yang ia terima dari operasi sedot lemak di pipi kiri. Namun, menurut pengakuannya, ia justru berbohong saat ditanya perihal penyebab lebam oleh keluarganya. Berita itu kemudian menyebar hingga Fadli Zon dan Prabowo Subianto membesuk: Ratna kembali mengulangi cerita yang sama.
Mengapa Berbohong?
Penelitian oleh Robert S. Feldman (2002) dari Fakultas Psikologi Universitas Massachusetts menjabarkan alasan orang melakukan kebohongan. Dalam percakapan sehari-hari, kebanyakan orang berbohong agar terlihat menyenangkan dan kompeten. Ia mengamati perilaku ketika 121 pasang mahasiswa bertemu dan diminta mengobrol. Di akhir sesi, mereka harus mengidentifikasi percakapan yang direkam secara diam-diam.
“Sangat mudah berbohong,” kata Feldman atas hasil penelitiannya, seperti ditulis Eurek Alert.
Sebanyak 60 persen orang dewasa setidaknya melakukan satu kebohongan dalam durasi 10 menit percakapan. Rata-rata dari mereka malah melakukan kebohongan dua sampai tiga kali. Responden perempuan cenderung melakukan kebohongan agar lawan bicaranya terlihat baik dan merasa nyaman. Sebaliknya, pria condong berbohong agar dirinya terlihat lebih baik.
Jenis kebohongan yang teridentifikasi kebanyakan adalah kebohongan ringan, tapi sebagian kecil lainnya merupakan kebohongan ekstrem. Misalnya, mengaku sebagai bintang dari sebuah band rock. Untuk kasus Ratna, kebohongannya bisa dikatakan bermula dari percakapan sehari-hari, tapi kemudian masuk dalam kelompok kecil pembohong ekstrem.
Namun, perlu dicatat bahwa penelitian dilakukan sebelum tren media sosial meningkat sehingga kebohongan tak menyebar atau viral. Kasus Ratna berdampak luas karena akses kebohongannya tersalur diamplifikasi internet, khususnya media sosial.
Di dalam artikel yang berbeda, seorang psikolog klinis David J. Ley menjabarkan enam faktor yang mendasari kebohongan.
Pertama, karena para pembohong menganggap sebuah kebohongan penting dilakukan. Kedua, berbohong untuk mengendalikan situasi dan mendapat reaksi timbal balik yang diharapkan. Intinya, jika berkata jujur, para pembohong ini merasa telah menyerahkan kendali mereka pada lawan bicaranya.
“Ketiga, mereka ingin membuat lawan bicaranya merasa nyaman, karena para pembohong takut ditolak ketika berkata jujur,” tulis Ley dalam laman Psychology Today.
Alasan keempat adalah untuk menutupi kebohongan lainnya. Para pembohong merasa ketika mengakui kebohongan, orang-orang tak akan lagi simpati padanya. Alih-alih jujur, mereka merasa perlu kembali berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Alasan kelima: mereka tidak sengaja berbohong, karena ingatannya merekonstruksi kejadian sedemikian rupa sehingga mereka sendiri percaya bahwa hal tersebut benar adanya. “Terakhir, pembohong sering berharap bisa membuat sesuatu menjadi nyata dengan mengucapkan kebohongan berulang, dan mempercayainya sekeras mungkin.”
Kelompok Para Pembohong
“Kebohongan adalah karakteristik utama kehidupan.”
Begitulah Paul Ekman, seorang psikolog ekspresi wajah menganalogikan aktivitas berbohong. Berdasar kelihaiannya dalam melakukan kebohongan, Telegraph mengelompokkan manusia menjadi empat golongan.
Pertama adalah golongan pembohong kecil-kecilan (little white liars), golongan pembohong yang paling umum. Mereka adalah kelompok yang berbohong untuk membuat hidup terasa lebih mudah. Lazimnya, pembohong jenis ini beraksi dalam aktivitas dan interaksi sosial sehari-hari. Contoh kebohongannya adalah saat mengucap terima kasih dan memuji hadiah yang diterima, meski tidak menyukai hadiah tersebut. Kebohongan pada kelompok ini secara umum tidak berbahaya.
Kelompok kedua adalah pembohong hipokrit (dissembler). Mereka adalah tipe pembohong yang menghindari situasi tidak nyaman dan berusaha tampil lebih menyenangkan.
Ketiga, pembohong kompulsif yang menempatkan kebohongan sebagai sebuah kebiasaan. Seringnya, pembohong kompulsif berbohong supaya terlihat lebih keren dari orang lain karena merasa tidak aman akan posisinya. Namun, kebohongan mereka lazimnya tidak merugikan siapa pun.
Terakhir, tipe pembohong patologis yang karakteristiknya lebih dingin dan penuh perhitungan. Kebohongannya bertujuan untuk memperoleh keuntungan diri yang spesifik.
“Mereka bisa tampak menawan, kredibel, namun menyebabkan kerugian besar bagi korbannya. Kelompok ini merupakan tipe pembohong paling berbahaya,” tulis Telegraph.
Laman Health Guidance memberi penjelasan lebih lanjut perbedaan pada dua kelompok terakhir. Pembohong kompulsif tak memiliki kendali atas kebohongannya dan tak memiliki tujuan akhir.
Di sisi lain, pembohong patologis sedari awal memiliki niat berbohong untuk pencapaian tertentu. Contohnya adalah mengaku lajang untuk berkencan dengan orang lain atau berbohong tentang pencapaian saat melakukan wawancara kerja.
Jelas, contoh terakhir menimbulkan kerugian pada teman kencan, pasangan, atau perusahaan sebagai korban. Kelompok patologis juga sering dikaitkan sebagai gejala gangguan mental dan membawa sifat psikopat karena kurang bisa merasakan empati.
Editor: Maulida Sri Handayani