Menuju konten utama

Mengapa Politikus Bebal Libatkan Anak-anak dalam Kampanye?

Pelibatan anak-anak dalam kampanye politik secara tegas dilarang dalam UU 35/2014. Mengapa politikus masih bebal?

Mengapa Politikus Bebal Libatkan Anak-anak dalam Kampanye?
Seorang anak terlihat ikut dalam perayaan HUT ke-10 Gerindra di Lapangan Arcici, Cempaka Putih, Jakarta, Minggu (11/3/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 6 pengaduan kasus dugaan pelibatan anak dalam kegiatan politik sejak masa kampanye dimulai 23 September 2018. Jumlah aduan ini berpotensi bertambah mengingat masa kampanye masih berlangsung hingga 13 April 2019.

Komisioner KPAI Jasra Patra menuturkan, 6 kasus yang dilaporkan melibatkan dua kubu yang sedang bertarung di Pilpres 2019, yakni capres-cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kasus-kasus ini sebagian sudah ditangani, sebagian lainnya dalam proses verifikasi.

Beberapa kasus yang ditangani KPAI, antara lain: perkara video anak berpakaian pramuka yang berteriak ganti presiden, rekaman demo aksi bela tauhid yang melibatkan anak dan menyerukan seruan ganti presiden, kampanye emak-emak minum susu yang dilakukan Prabowo dan tim, dukungan 20 pesantren di Banten ke Jokowi, kasus dugaan intimidasi guru di SMA 87 Jakarta, dan perkara gambar anak memegang foto Jokowi dipenuhi coretan.

“Itu kami proses dan sebagian kami sampaikan ke Bawaslu, dan kami konfirmasi ke Mabes Polri,” kata Jasra kepada reporter Tirto, Senin (12/11/2018).

Jasra menyebut, anak-anak sebenarnya telah dilindungi agar tidak dilibatkan dalam kegiatan politik sesuai amanat UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 15 beleid itu menyebut, anak-anak harus dilindungi dari penyalahgunaan politik.

Sayangnya, pemanfaatan dan pelibatan anak dalam kegiatan politik jelang pemilu 2019 masih marak. Jasra menyayangkan hal itu, karena lokasi kegiatan politik dianggap tak layak untuk menjadi tempat tumbuh kembang anak.

Menurut Jasra, bukan tanpa alasan anak-anak masih kerap dibawa orangtuanya ke arena kegiatan politik. Salah satu alasan klasik yang kerap digunakan orangtua, kata Jasra, adalah ketiadaan pengamanan bagi anak jika ditinggal bapak atau ibunya ke kegiatan kampanye politik.

“Ini alasan klasik. Padahal kami berharap orangtua silakan menyampaikan pendapat di publik, itu hak warga. Tapi anak-anak untuk tumbuh kembangnya silakan dititip ke rumah tetangga atau keluarga yang bisa dipercaya,” kata Jasra.

Hal senada diungkapkan Ketua KPAI Susanto. Ia bahkan mengatakan sebagian masyarakat yang paham larangan pelibatan anak dalam kegiatan politik, justru bersikap tidak acuh ketika pelanggaran terjadi. Karena itu, ia berharap pengawas pemilu di lapangan lebih serius dalam mengawasi masalah ini.

“Makanya kami terus dorong para tenaga pengawas, baik di pusat dan daerah agar benar-benar maksimalkan pengawasannya,” kata Susanto.

Indikator Penyalahgunaan Anak

Susanto menjelaskan, lembaganya tidak sembarangan menetapkan hal-hal yang boleh atau tidak dilakukan dengan melibatkan anak-anak di dalam suatu kegiatan. Dia menyebut, setidaknya ada 15 indikator penyalahgunaan anak yang dipedomani KPAI.

Beberapa kegiatan yang termasuk penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik adalah manipulasi anak di bawah usia 17 tahun dan belum menikah agar terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap). Selain itu, kata Susanto, adalah menggunakan tempat bermain, pendidikan, atau penitipan anak untuk kegiatan kampanye.

Kegiatan lain yang termasuk pelanggaran adalah memobilisasi massa anak untuk kampanye, menggunakan anak sebagai juru kampanye, serta menampilkan anak sebagai bintang utama di suatu iklan politik. Terakhir, kata dia, memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci calon tertentu, baik di dunia nyata maupun maya.

“Kami harap indikator-indikator ini dibagikan ke seluruh timses baik di pusat maupun daerah. Karena itu [penyalahgunaan anak] potensinya tinggi jika timses tak miliki kesepemahaman yang sama,” kata Susanto di kantornya.

Infografik Kampanye Politik Bukan Buat anak

Dalih Tim Pemenangan

Kedua kubu yang bertarung di Pilpres 2019 belum banyak menanggapi fenomena banyaknya pelibatan anak di kegiatan politik. Direktur Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Ade Irfan Pulungan mengatakan, KPAI seharusnya lebih tegas mengeluarkan aturan terkait ini.

Menurut Irfan, harus ada efek jera yang dibuat KPAI agar orangtua atau peserta pemilu tak melulu melibatkan anak saat berkegiatan politik. Salah satu efek jera yang ia sarankan, yakni KPAI mengumumkan siapa parpol atau peserta pemilu yang gemar melibatkan anak dalam kegiatannya.

“Kami juga minta ada surat edaran dari KPAI untuk lebih tegas dan cermat melakukan pengawasan dan kontrol terhadap siapa-siapa yang dengan sengaja melibatkan anak di aktivitas politik,” kata Irfan di kantor KPAI, Jakarta.

Irfan sepakat dengan KPAI agar anak seharusnya tidak dilibatkan dalam kegiatan politik. Menurutnya, jika sejak kecil orang sudah dibiasakan ikut kegiatan politik, apalagi yang memuat ucapan atau kegiatan berbau SARA, maka sikap intoleransi bisa tertanam di diri mereka.

Pendapat berbeda disampaikan Direktur Kelembagaan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ibnu Bilaludin. Menurutnya, KPAI harus bersikap lebih keras dalam menindak pelanggaran berupa pelibatan anak di kegiatan politik.

Alih-alih menyebut upaya timnya mencegah keterlibatan anak di kegiatan politik, Ibnu justru berharap agar ada kerja sama yang lebih mumpuni antara KPAI dan pemangku kepentingan pemilu untuk mengatasi persoalan ini.

“Kami harap KPAI bersuara keras lagi. Jangan sesekali saja [iklan] misal malam hari ada imbauan setop kekerasan, tapi kalau bisa saat prime time KPAI memunculkan,” kata Ibnu.

“Kami sikapnya sama sejak dulu, melibatkan anak sudah dijelaskan dan disampaikan secara resmi itu tidak dibolehkan,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz