Menuju konten utama

Mengapa Napi Korupsi Terus Ditempatkan di Lapas Sukamiskin?

Meski banyak terjadi pelanggaran di Lapas Sukamiskin, mayoritas napi korupsi kelas “kakap” justru ditempatkan di lapas ini.

Mengapa Napi Korupsi Terus Ditempatkan di Lapas Sukamiskin?
Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (21/7). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat menjadi sorotan usai Kepala Lapas Wahid Husein terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Wahid kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, pada Sabtu malam (21/7/2018) bersama tiga orang lainnya, termasuk Fahmi Darmawansyah, narapidana kasus korupsi pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2016.

Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif mengatakan, Wahid selaku kepala Lapas diduga menerima pemberian berupa uang dan dua mobil sebagai hadiah dari Fahmi terkait pemberian fasilitas istimewa di Lapas Sukamiskin.

“Diduga pemberian dari FD tersebut terkait fasilitas sel atau kamar yang dinikmati oleh FD dan kemudahan baginya untuk dapat keluar masuk tahanan,” kata Syarif, di gedung KPK, Jakarta, Sabtu malam.

KPK menampilkan video hasil penggeledahan yang menunjukkan salah satu sel atau kamar terpidana korupsi Fahmi Darmawansyah di Lapas Sukamiskin. Dalam video itu, kamar Fahmi terlihat dilengkapi berbagai fasilitas seperti pendingin udara (AC), televisi, rak buku, wastafel, kamar mandi lengkap dengan toilet duduk, kulkas, dan spring bed.

Kejadian ini mengingatkan publik pada kasus-kasus lama yang juga terjadi di Lapas Sukamiskin. Data yang dikumpulkan tim riset Tirto mencatat setidaknya terdapat lima kasus serius yang melibatkan narapidana korupsi dengan oknum penjaga lapas. Salah satunya adalah Anggoro Widjojo, terpidana kasus korupsi proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan 2007.

Anggoro kemudian dipindah ke Lapas Gunung Sindur pada 7 Februari 2017 karena selama mendekam di Lapas Sukamiskin, ia sering kedapatan plesiran ke luar lapas. Ia bahkan sempat tinggal di salah satu apartemen di Kota Bandung yang lokasinya tidak jauh dari Lapas Sukamiskin.

Kasus lainnya adalah Romi Herton yang dipindahkan dari Lapas Sukamiskin ke Lapas Gunung Sindur pada 9 Februari 2017 karena terbukti melakukan penyalahgunaan izin keluar lapas. Selain itu, Rachmat Yasin juga pernah tepergok mengunjungi rumah kontrakan di Kompleks Panorama Alam Parahyangan pada Desember 2016.

Jauh ke belakang, tepatnya pada September 2015, beredar foto Gayus Tambunan sedang makan di restoran di Jakarta. Padahal ia tengah menjalani hukuman penjara 30 tahun di Lapas Sukamiskin terkait kasus korupsi pajak. Pada Oktober 2014, mantan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad juga pernah kedapatan sedang makan malam di restoran Jakarta Selatan, padahal saat itu ia berstatus sebagai narapidana.

Sayangnya, meski banyak terjadi pelanggaran di Lapas Sukamiskin, tetapi mayoritas napi kasus korupsi kelas “kakap” justru ditempatkan di lapas ini. Mayoritas adalah tokoh-tokoh publik, mulai dari Setyo Novanto (mantan Ketua DPR), Irman Gusman (eks Ketua DPD RI), Nazaruddin (mantan Bendahara Umum Demokrat), Anas Urbaningrum (Mantan Ketum Demokrat), hingga Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS).

Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Aradila Caesar mengatakan, penempatan napi korupsi di Lapas Sukamiskin ini berawal dari ide Kemenkumham karena melihat lapas ini memiliki sel terpisah. Artinya, satu narapidana ditempatkan di sel sendiri.

“Dengan pertimbangan model pembinaan yang berbeda. Tapi kenyataannya, kan, memang tidak semua napi korupsi ada di sana dan praktiknya dikhususkan untuk napi kelas kakap,” kata pria yang akrab disapa Arad ini kepada Tirto, Minggu (22/7/2018).

Menurut Arad, seharusnya kondisi itu dapat diprediksi Kemenkumham mengingat pernah ada kasus Gayus Tambunan yang menghebohkan publik pada 2015. Arad menganggap kondisi itu mencerminkan sistem pengawasan yang lemah. Ditambah lagi pelaku korupsi kelas “kakap” yang ditempatkan di Lapas Sukamiskin memiliki modal yang besar.

“Dipindah di manapun [napi korupsi] kalau sistem pengawasannya longgar akan terus terjadi kasus-kasus serupa,” kata Arad.

Dalam konteks ini, Arad menyarankan, pembenahan sistem pengawasan terlebih dahulu, mengingat napi kasus korupsi juga tersebar di banyak lapas. Apalagi tidak semua napi kasus korupsi merupakan kasus yang ditangani KPK, ada juga yang ditangani Kejaksaan. Karena itu, kata Arad, Kemenkumham perlu melibatkan KPK dan Kejaksaan untuk memperbaiki pengawasan ini.

Sementara anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lola Easter menilai, fasilitas istimewa yang diterima napi korupsi di Lapas Sukamiskin mencerminkan adanya kesenjangan antartahanan di dalam lapas. Hal ini terjadi karena para napi korupsi dipenjara dalam tahanan khusus atau tidak disatukan dengan terpidana kasus kejahatan lainnya, seperti pencuri, perampok, dan pembunuh.

"Jadi, enggak ada perlakukan khusus terhadap napi. Saya bicara soal kesenjangan. Napi korupsi bisa mengakses segala kemewahaan, sedangkan napi yang lain mengakses kapital juga enggak bisa," kata Lola kepada Tirto pada Minggu (22/7/2018).

Menanggapi banyaknya narapidana korupsi yang ditempatkan di Lapas Sukamiskin, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengatakan, hal tersebut merupakan kewenangan Kemenkumham. “Itu bukan wewenang KPK lagi. Terserah Kumham [Kemenkumham], dan itu kebijakan Kumham,” kata Saut kepada Tirto, Minggu.

Hal senada juga diungkapkan juru bicara KPK, Febri Diansyah. Menurutnya tidak semua napi korupsi ditempatkan di Lapas Sukamiskin, melainkan juga ada di lapas-lapas lain.

“Kebijakan utama tetap di lapas, Ditjen Pas tepatnya,” kata Febri saat ditanya apakah KPK punya wewenang terkait penempatan napi korupsi.

Dirjen PAS Akui Ada Fasilitas Mewah

Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkumham, Sri Puguh Budi Utami mengakui memang ada fasilitas mewah di dalam Lapas Sukamiskin. Akan tetapi, ia berjanji, pihaknya segera memusnahkan fasilitas tersebut.

“Benar ada fasilitas yang tidak pada tempatnya dan bapak menteri sudah mengintruksikan untuk segera dibenahi sesuai dengan standar seharusnya,” kata Sri Puguh di Kantor Kemenkumham, Sabtu malam (21/07/2018).

Sayangnya, Sri Puguh tidak bisa menjelaskan lebih lanjut soal fasilitas mewah yang dimaksud. Termasuk tidak mengonfirmasi soal dugaan KPK kalau sel mewah tersebut dihargai Rp200 juta - Rp500 juta. Ia mengatakan, pihaknya masih harus melakukan pendalaman.

Meski demikian, Sri Puguh menegaskan pihaknya akan membongkar berbagai fasilitas mewah tersebut, dan akan memusnahkan berbagai barang-barang yang tidak semestinya ada di sel. “Ya, enggak usah gimana-gimana. Dimusnahkan sesuai aturan perundang-undangan," kata Sri Puguh.

Lebih lanjut, Sri Puguh menjelaskan pihaknya sedang menyusun langkah-langkah untuk membenahi pengelolaan lapas, di antaranya soal penilaian pegawai dan rencana untuk menyebar napi korupsi ke sejumlah lapas lain.

"Harapan kami akan berjalan secara bagus, tidak ada kendala-kendala pada saat mengimplementasikan revitalisasi yang sudah disusun oleh seluruh jajaran," kata Sri Puguh.

Baca juga artikel terkait OTT KPK KALAPAS SUKAMISKIN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz