tirto.id - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sudah menunjuk Joko Widodo untuk kembali maju dalam pemilu presiden 2019. Jokowi ditunjuk tanpa pendamping yang ditawarkan internal PDIP dan punya kebebasan memilih calon wakil yang akan mendampinginya untuk melanjutkan periode pemerintahan 2019-2024.
Sikap PDIP yang tak mengajukan kader untuk Jokowi terbilang aneh lantaran PDIP punya elektabilitas tinggi dalam sejumlah hasil survei lembaga sigi. Sikap tersebut rupanya bukan lantaran PDIP tak punya kader melainkan untuk menghindari monopoli.
“Publik sudah menilai Jokowi itu kader PDIP, sehingga kecil kemungkinan dari partai yang sama,” kata DPP PDIP bidang Perekonomian Hendrawan Supratikno kepada Tirto, Senin (30/4/2018).
Hendrawan mengatakan banyak kader PDIP yang mampuni dan punya kualitas yang bisa disandingkan dengan Jokowi untuk pemilu presiden mendatang. Hanya saja, kata dia, penujukkan kader tersebut merupakan kewenangan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
“Ini salah satu penjelasan mengapa nama-nama Puan Maharani, Prananda Prabowo, dan Pramono Anung sudah tidak didaftar [survei] lagi,” kata Hendrawan.
Pernyataan Hendrawan bisa dikaitkan dengan mulai hilangnya nama kader PDIP dalam daftar cawapres di sejumlah lembaga survei. Satu-satunya lembaga yang memasukkan kader PDIP sebagai cawapres Jokowi adalah Litbang KOMPAS. Pada hasil sigi lembaga itu yang dirilis 24 April 2018, Tri Rismaharini menjadi satu-satunya kader partai banteng yang masuk dalam survei dengan elektabilitas 2,7 persen.
Sementara dalam hasil survei Kedai KOPI pada 27 Maret 2018, tidak satu pun kader PDIP yang masuk 10 besar kandidat cawapres. Kondisi ini berbeda hasil survei lembaga-lembaga sigi pada bulan-bulan sebelumnya. Pada Januari 2018, Puan Maharani masuk sebagai salah satu cawapres potensial dalam hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI-Denny JA) dengan memeroleh 1,3 persen.
Mulai berkurangnya nama kader PDIP dalam hasil survei ini dianggap Ketua DPP PDIP Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Andreas Hugo Pareira bukan lantaran PDIP tak punya kader potensial. Andreas berkata PDIP punya banyak kader yang sebenarnya selalu siap disandingkan dengan Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2014 itu.
“Masih ada cukup waktu untuk putuskan ini [cawapres Jokowi]. Kader-kader PDIP banyak yang siap ditugaskan,” kata Andreas kepada Tirto.
Ironi All PDIP
Keinginan PDIP untuk tidak memajukan nama cawapres pendamping Jokowi sebenarnya tak berimbas apa pun untuk perolehan suara Wali Kota Solo periode 2005-2012 itu. Demikian yang dikatakan peneliti dari LSI Denny JA, Rully Akbar.
Rully mendasarkan pendapatnya terhadap basis massa pendukung Jokowi yang disebutnya lebih banyak dari kalangan kelas menengah ke bawah. Masyarakat di akar rumput, disebut Rully, cenderung tidak terlalu memperhatikan sosok cawapres dalam memilih pasangan capres-cawapres.
“Paling hanya pemilih menengah ke atas dan pendapatan tinggi dan elite politik yang terganggu dengan skema ini. [Sehingga] Catatan [untuk cawapres] harus sosok yang mampu menjawab kekurangan Jokowi di bidang ekonomi dan keamanan,” kata Rully kepada Tirto.
Monopoli kader yang diusung ini justru bakal jadi masalah dalam proses pencalonan ke KPU. Jika PDIP menawarkan cawapres, Rully bilang, Jokowi berpotensi ditinggal koalisi partai pengusung saat ini. Situasi ini akan menjadi rumit lantaran pemilu presiden 2019 digelar serentak dan mensyaratkan ambang batas 20 persen suara, sehingga dukungan banyak parpol mutlak diperlukan Jokowi untuk tetap bisa maju sebagai calon presiden dalam pemilu mendatang.
“Jadi Pak Jokowi harus hati-hati dalam melangkah. Apalagi waktu masih lama dan semua hal bisa terjadi,” kata Rully.
Pendapat senada dikemukakan Direktur Eksekutif Populi Centre Usep S. Ahyar. Ahyar menilai Jokowi tak masalah memilih cawapres dari PDIP, namun sosok tersebut haruslah memiliki elektabilitas yang besar untuk mendongkrak suara Jokowi dan mampu mewakili semua golongan. Ahyar menilai sosok lebih berpengaruh ketimbang partai politik dalam pilpres.
Ahyar sangsi jika skema all PDIP ini akan dilakukan. Selain terlalu riskan, skema ini dapat merusak konsolidasi di partai pendukung yang ada saat ini. Ahyar sependapat dengan Rully yang menilai penting kesolidan partai pendukung guna membuat jalan Jokowi mencalonkan diri menjadi calon presiden menjadi mulus.
“Pak Jokowi dan timnya harus tetap mempertimbangkan itu,” kata Ahyar.
Respons Projo dan Golkar
Terkait hal ini, Ketua Umum DPP Relawan Pro Jokowi (Projo) Budi Arie Setiadi mengaku tak ambil pusing dengan sosok cawapres yang akan mendampingi Jokowi. Menurut Budi, yang penting sosok tersebut dapat memenuhi tiga syarat, yakni, cinta negeri dan cinta rakyat, tidak punya kepentingan pribadi dan kelompok, dan punya komitmen untuk membawa Indonesia lebih maju, adil dan sejahtera.
“Yang pasti ketika dia duduk sebagai cawapres harus mengesampingkan dulu kepentingan pribadi dan kelompoknya untuk kepentingan bangsa,” kata Budi kepada Tirto.
Saat disinggung perihal nama-nama kader PDIP yang masuk bursa cawapres, Budi pun menganggap seluruhnya sosok yang bagus dan tidak perlu diragukan. “Bagi kami siapa pun asalkan didukung rakyat dan memenuhi kriteria tadi enggak masalah. Kami enggak berhenti pada calon tertentu,” kata Budi.
Berbeda dengan Budi, Wasekjen DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji tidak setuju dengan formasi all PDIP. Sarmuji sependapat dengan analisis Rully Akbar dan Usep S. Ahyar tentang pentingnya partai lain sebagai pengusung Jokowi.
“Enggak bisa (semua PDIP), dong. Kan Pak Jokowi sudah representasi PDIP. Enggak mungkin juga PDIP maju sendirian. Suaranya enggak cukup,” kata Sarmuji kepada Tirto.
Sarmuji menyatakan Jokowi dan PDIP harus memperhatikan unsur-unsur lainnya sebagai cawapres. Salah satu sosok yang pantas, kata dia, adalah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto karena memiliki basis partai yang besar dan berasal dari kalangan profesional.
Namun saat disinggung mengenai arah dukungan Golkar jika PDIP tetap mencalonkan kadernya sebagai cawapres Jokowi, Sarmuji tidak bisa mengambil keputusan.
“Nanti harus duduk bersama dulu seluruh parpol koalisi,” kata Sarmuji.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih