tirto.id - Pertemuan tertutup antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Tim 11 Persaudaraan Alumni (PA) 212 dinilai sarat kepentingan politik kedua pihak. Jokowi membutuhkan dukungan PA 212 untuk memperkaya basis sosiologis pendukungnya.
“Jokowi kuat di basis sosiologis Islam tradisional. Wajar bagi Jokowi mengambil hati setiap golongan,” kata Manajer Riset Poltracking Faisal Arief Kamil kepada Tirto, Jumat (27/4/2018).
Faisal mengatakan sosiologis massa pendukung aksi 212 berasal dari kelompok Muslim perkotaan. Melalui Tim 11 PA 212 Jokowi berharap mendapat nilai tambah elektoral dari kelompok tersebut.
Pertemuan itu menurut Faisal juga cara Jokowi mencari figur cawapres yang bisa diterima kelompok PA 212. Kalaupun upaya Jokowi tak berhasil, sedikit banyak pertemuan Jokowi dengan Tim 11 PA 212 berpotensi memecah suara massa pendukung aksi 212.
“Implikasi bagi pendukung Jokowi hampir tidak ada, tapi bagi kelompok anti-Jokowi sebagai sumber perpecahan di antara mereka,” ujarnya.
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana menilai bukan cuma Jokowi yang punya kepentingan di balik pertemuan itu. Menurutnya, kelompok PA 212 juga punya kepentingan yakni membebaskan beberapa tokohnya yang tersangkut bermacam perkara pidana.
“Itu ada dua kepentingan yang bertemu, kepentingan PA 212 ingin suara mereka terkait kepulangan Rizieq, terus ada ulama yang dikaitkan dengan 212 dan ditahan. Itu bagian dari perbincangan atau negosiasi dengan pihak pemerintah,” kata Aditya.
Kelompok alumni 212 kerap melancarkan kritik pedas kepada Jokowi. Sorotan diberikan kepada Jokowi karena Alumni 212 tak rela beberapa tokohnya diperkarakan hukum. Saat menggelar Reuni Alumni 212 pada 2 Desember 2017 lalu misalnya, kelompok itu mengkritik dan meminta pemerintah menghentikan pengusutan kasus orang-orang yang mereka anggap sebagai ulama. Alumni 212 juga mengkritik pemerintah yang dianggap terlalu berpihak pada tenaga kerja asing.
Kritikan dari kelompok itu juga mengalir kala Alumni 212 menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, 8 Desember 2017. Salah satu orator aksi saat itu membandingkan Jokowi dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Mereka anggap Erdogan lebih berani menentang penindasan ke rakyat Palestina.
“Kita bisa bayangkan kalau presiden kita, Presiden Jokowi, punya nyali sedikit. Kalau beliau teriakan perlawanan dari Jakarta Insya Allah kita akan mendengar sambutan dari Turki, kita akan mendengar dari Brunei Darussalam, dari Malaysia, dari Saudi Arabia dari Yordania,” ujar sang orator.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin juga tak percaya pertemuan Alumni 212 dengan Jokowi bebas kepentingan. Meski PA 212 mengklaim tak ada pembicaraan politik di pertemuan dengan Jokowi, Ujang yakin ada kesepakatan-kesepakatan tertentu dibalik tatap muka mereka.
"Itu kan bahasa politis dan halus. Makanya tergantung deal diantara kedua belah pihak. Deal-nya apa kita tidak tahu," katanya.
Ia menilai pertemuan Jokowi dengan Tim 11 PA 212 sama-sama menguntungkan kedua pihak.
"Selama ini kan kelompok 212 menjadi penentang Jokowi, dan sekarang mendekat serta merapat ke Jokowi. Artinya ke depan tidak akan ada lagi gerakan dari kelompok PA [Persaudaraan Alumni] 212 yang mengganggu Jokowi," ujar Ujang kepada Tirto.
Pengajar di Universitas Al Azhar Indonesia itu menilai pertemuan itu juga ditunggangi kepentingan anggota PA 212 yang ingin terjun ke politik praktis. Konsekuensi dari keinginan itu, mereka akhirnya mendekatkan diri ke pemerintah meski sebelumnya sering menyampaikan kritik.
"Kan kelompok PA 212 juga banyak yang ingin menjadi caleg atau masuk politik praktis. Jokowi bisa menyalurkannya ke partai-partai politik yang menjadi koalisinya. Atau bisa juga bargaining position yang lain, tapi kita tak tahu," ujar Ujang.
Jika prediksi-prediksi itu terbukti, Ujang menyebut kerugian yang terbesar akan dirasakan masyarakat. Sebab, ia memprediksi tak akan ada penentang keras Jokowi beberapa waktu ke depan.
Saat memberi klarifikasi atas pertemuan dengan Jokowi, Sekretaris PA 212 Muhammad Al Khaththath menyebut bahwa undangan tatap muka itu berasal dari pihak Istana Negara. Menurut Al Khaththath, ajakan bertemu Presiden Jokowi ia terima ketika hendak mengisi taklim di Masjid Amalia, Bogor. Setelah undangan diterima, 11 ulama yang terlibat mengiyakan ajakan Jokowi itu.
Penjelasan Al Khaththath agak berbeda dengan salah satu ulama PA 212 Usamah Hisyam. Ketua Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) itu berkata, rencana pertemuan 11 Ulama 212 dengan Jokowi sebenarnya telah dibicarakan sejak 19 April 2018.
"Saya pribadi pada 19 April diterima Bapak Presiden empat mata di Istana pukul 15.30. Presiden menanyakan rencana pertemuan dengan Tim 11 apa kontennya. Saya bilang 'tunggal Pak Presiden kontennya selain silaturahmi, bagaimana agar kriminalisasi ulama segera dapat dihentikan'," kata Usamah.
Setelah Usamah menjelaskan rencana pertemuan dengan Tim 11 Ulama, Jokowi disebut meminta waktu untuk berpikir dan membicarakan jadwal tatap muka. Pada 19 April malam, Usamah mengklaim mendapat kabar dari Istana Negara ihwal jadwal tatap muka tersebut.
Menurutnya, rencana awal Tim 11 Ulama hendak menunaikan ibadah salat subuh bersama Jokowi di Istana Bogor. Rencana itu gagal lantaran Jokowi memiliki agenda lain.
"Presiden karena ada kesibukan lain maka dilakukan di Istana Bogor, kita minta sholat zuhur berjamaah. Itulah berlangsung, jadi tidak ada yang mengundang dan diundang karena ini kesepakatan saja," kata Usamah.
Di luar spekulasi kepentingan kedua pihak, namun dari sisi kepentingan jangka pendek khususnya dari sisi pihak PA 212 secara tegas antara lain menyampaikan informasi akurat dan menghendaki penghentian "kriminalisasi" pada ulama dan alumni 212. Dalam pernyataan persnya, PA 212 berharap "agar presiden mengambil kebijakan kriminalisasi ulama dan aktivis 212 dan mengembalikan hak-hak ulama dan aktivis 212 korban kriminalisasi sebagai warga negara."
Pada hari ini (27/4), pihak Istana melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Saptopribowo mengkonfirmasi soal permintaan itu. Namun, menurut Johan, Presiden Jokowi tak bisa memenuhi permintaan Alumni 212 tersebut. Alasannya karena presiden tak mau melakukan mengintervensi proses hukum.
"Ketika menghadapi permintaan itu, presiden menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum. Jadi tunggu proses hukum yang profesional. Presiden tidak mau melakukan intervensi terhadap proses hukum," kata Johan dikutip dari Kompas.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Muhammad Akbar Wijaya