tirto.id - Selasa (23/4), masyarakat Penang, Malaysia, dibikin geger dengan penemuan sebuah kotak berisi bayi perempuan yang diletakan di depan Masjid Ara Kuda.
Menurut pengakuan seorang saksi mata bernama Ahmad Abdullah kepada Channel News Asia, bayi yang sedang tertidur tersebut berada dalam keadaan sehat dengan tali pusar sudah terpotong dan dibungkus menggunakan kain batik.
Tak lama setelah ditemukan, bayi perempuan itu kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Bayi yang ditelantarkan di Penang bukanlah kasus pertama yang muncul di Malaysia. Setiap tahun, lebih dari 100 bayi yang baru lahir ditinggalkan di sungai, masjid, toilet, sampai tempat pembuangan sampah.
Mirisnya, mengutip keterangan OrphanCare Foundation, sekitar 60 persen dari mereka meninggal.
Tingginya angka penelantaran bayi di Malaysia harus dilihat secara komprehensif. Kasus semacam ini punya dimensi penyebab yang berlapis.
Laporan Channel News Asia yang lain menjelaskan bahwa kasus penelantaran bayi di Malaysia disebabkan oleh berbagai faktor: kurangnya pendidikan seks, pandangan masyarakat yang konservatif, hingga pro-kontra kebijakan aborsi.
Di Malaysia, yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, pendidikan seks tidak mendapatkan porsi yang proporsional di institusi pendidikan dasar. Berbicara tentang seks justru dianggap mendukung pergaulan bebas. Di saat bersamaan, banyak orang tua yang malu atau tak nyaman ketika putra-putri mereka bertanya satu-dua hal mengenai seksualitas.
Walhasil, kekosongan informasi tentang seks membikin anak-anak muda tidak banyak mengetahui, misalnya, betapa pentingnya menjaga organ intim hingga menggunakan kondom manakala berhubungan badan.
Setiap tahun, di Malaysia, terdapat rata-rata 18 ribu kehamilan remaja, 90 persen di antaranya disebabkan oleh ketiadaan kontrasepsi ketika berhubungan seks.
Kondisi makin pelik manakala para perempuan memasuki masa kehamilan. Masyarakat tak ragu memberi label buruk kepada mereka yang hamil di luar nikah. Alih-alih mendukung, keluarga malah makin memberi tekanan kepada perempuan sebab dianggap bikin malu. Opsi untuk aborsi pun juga tak bisa diandalkan mengingat hukum melarang keras dan dokter yang bersedia melakukan praktik ini sulit ditemui.
Maka, yang terjadi berikutnya: para perempuan ini mengambil keputusan buruk dengan meninggalkan bayinya yang baru saja lahir di tempat-tempat terbuka.
“Mereka berusaha memperoleh bantuan dan saran dari teman maupun keluarga. Tapi, mereka tak menerimanya. Jadi, ketika mereka tidak mendapatkan dukungan apa pun, mereka mengambil keputusan untuk menutupi rasa malu yang ada,” ujar Vimmi Yasmin Abdul Razak, pendiri Rumah Kita, tempat perlindungan bagi perempuan yang hamil di luar nikah.
Peran keluarga sangat krusial, dan tidak seharusnya publik dengan mudahnya memberi penghakiman kepada seseorang hanya karena ia telah melakukan kesalahan.
Akan tetapi, mengubah pola pikir masyarakat yang kadung konservatif memang tak segampang membalikkan telapak tangan. Bukannya memahami permasalahan secara utuh, publik Malaysia justru mengalamatkan kasus semacam ini dengan sesuatu yang sifatnya abstrak dan tak jelas.
Pada 2010 silam, misalnya, pentolan Partai Islam Pan-Malaysia (PAS), Nasrudin bin Hasan, mengatakan bahwa banyaknya bayi yang ditelantarkan disebabkan oleh pengaruh buruk “budaya Barat.”
Yang terjadi di wilayah Malaka lebih bikin pusing lagi. Agar masalah penelantaran bayi dapat diantisipasi, pemerintah berencana membolehkan perempuan di bawah usia 16 tahun untuk menikah. Suatu kebijakan yang selain keblinger, juga makin menambah runyam permasalahan.
Indonesia Juga Sama Saja
Sama seperti saudara serumpunnya, kasus penelantaran bayi juga marak terjadi di Indonesia.
Laporan Indonesia Police Watch (IPW) memperlihatkan bahwa sepanjang 2017, ada 178 bayi baru lahir yang dibuang di jalanan. Angka tersebut naik 90 kasus dibanding tahun sebelumnya. Dari total kasus yang ada, sebanyak 79 bayi ditemukan tak bernyawa, 10 berbentuk janin, serta 89 lainnya berhasil diselamatkan.
Kasus penelantaran bayi, masih mengutip laporan IPW, paling banyak dijumpai di Jakarta dengan 27 kejadian. Di peringkat kedua ada Jawa Timur (24 kasus) dan disusul Jawa Barat (23 kasus) di urutan ketiga. Yang cukup mengejutkan, Aceh berada di posisi keempat dengan 16 kasus sekaligus menjadikan wilayah ini sebagai provinsi di luar Jawa dengan kasus pembuangan bayi paling banyak.
Polanya hampir sama dengan yang terjadi di Malaysia. Di Indonesia, perkara seks masih dianggap tabu. Membicarakan tentang seks dipandang sebagai sesuatu yang bikin tak nyaman─dan bahkan menyimpang. Masyarakat hampir-hampir menutup rapat mulut mereka jika sudah ditanya soal seks, termasuk di lingkaran keluarga.
Padahal, bila ingin bicara dengan obyektif, seks tak melulu soal senggama dan bertukar peluh maupun liur di ranjang. Perbincangan soal seks, ambil contoh, juga mengenai pentingnya pemakaian kondom hingga menjaga perawatan organ vital.
Memakai kondom menjadi topik bahasan yang krusial karena dapat meminimalisir kehamilan yang tidak diinginkan. Kondisi kehamilan yang tidak diinginkan membawa tekanan besar bagi perempuan yang bisa berdampak pada kondisi kesehatan calon bayi. Belum lagi respons dari masyarakat maupun keluarga yang menganggap hamil di luar nikah merupakan aib.
Keadaan itu membikin aborsi menjadi opsi yang realistis. Hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada 2016, menunjukkan bahwa sekitar 58 persen remaja putri yang hamil di luar nikah berupaya menggugurkan kandungannya.
Praktik aborsi adalah hal yang wajar di Indonesia, demikian menurut laporan Guttmacher Institute berjudul “Aborsi di Indonesia” (2008, PDF). Laporan yang menjadi rujukan paling komprehensif bagi publik ini menerangkan, sebanyak 2 juta aborsi terjadi di Indonesia pada 2000. Taksirannya, 37 per 1.000 perempuan usia subur (15-49 tahun) melakukan aborsi.
Namun, di mata legal dan moral, aborsi tak ubahnya penyakit yang harus dibasmi. Menurut survei Pew Research Center pada 2013, sekitar 89 persen orang Indonesia meyakini bahwa aborsi sulit diterima secara moral. Sementara dari segi legal, yang termaktub dalam UU Kesehatan 2009, aborsi dilarang untuk setiap orang kecuali ada indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu atau janin serta korban pemerkosaan.
Ketika aborsi tidak bisa dilakukan dan kehamilan sejak awal tidak diinginkan, maka, setelah bayi lahir, keinginan untuk menelantarkan bayi makin menjadi-jadi. Tekanan untuk menyingkirkan rasa malu juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan semacam ini.
Penyebab banyaknya kasus pembuangan bayi di Indonesia, dapat disimpulkan, disebabkan oleh minimnya pengetahuan akan seks, tekanan sosial dari masyarakat, serta ketiadaan ruang untuk menentukan otoritas atas tubuhnya sendiri. Masing-masing faktor ini saling berkelindan satu sama lain dan menjadi faktor di balik banyaknya bayi dibuang.
Editor: Nuran Wibisono