tirto.id - Love is the bridge between you and everything. — Jalaluddin Rumi
Sepenggal kalimat itu menjadi pajangan ruang depan Kafe Rumi. Saya geleng-geleng kepala membacanya. Kalimat itu sama sekali tidak relevan dengan realitas. Bagaimana mungkin cinta menjembatani seseorang pada segala hal?
“Cinta itu cukup ada jika berbalas. Jika tidak, patah hati namanya,” begitu kata saya dalam hati, dan dengan cepat menyimpulkan penyair Turki itu keliru.
Di ruang tengah, saya bertemu dengan Royal Ishwara, 42 tahun, pengunjung tetap Kafe Rumi. Ia sudah menjadi bagian dari komunitas ini sejak 2013. Ia pria tambun, mengenakan kopiah dan baju koko. Ia mengajak saya duduk lesehan di lantai.
Kafe Rumi memang bukan seperti kafe pada umumnya. Ia bahkan tak menjual makanan atau minuman, dan lebih mirip sebuah kantor. Menempati sebuah ruko di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kafe ini adalah tempat kumpul para penganut Sufi Naqsabandi.
Pukul delapan malam, makin ramai orang yang datang. Setiap Senin malam mereka mengadakan pengajian. Beberapa mengenakan kopiah berujung lancip dibebat kain, sekilas mirip nasi tumpeng di atas kepala. Sembari menunggu salat tarawih di lantai dua, saya berbincang dengan Royal seputar sufisme dan cinta yang disebut-sebut sebagai dasar dari ajaran mereka.
“Apa itu gula? Apa rasanya?” tanya Royal kepada saya.
“Gula ya rasanya manis.”
"Manis. Apa itu manis?”
Saya bingung menjawabnya.
“Bisa menjelaskan apa itu manis?”
Saya menggeleng.
“Enggak perlu dijelaskan. Cukup dirasakan. Kadang, ada hal-hal yang tidak sampai dinalar dengan otak kita. Ada porsinya masing-masing," katanya. "Rasa itu ya dengan hati, jangan dengan otak."
Analogi itu digunakan Royal untuk menjelaskan apa itu cinta dan beragama. Dalam pandangan Sufi Naqsabandi, beragama itu harus dimulai dengan hati. Cinta sebagai medium. “Cinta kepada Allah, cinta kepada Nabi, cinta kepada guru, cinta kepada semua manusia. Kalau sudah melakukan itu, hati kita akan tenang."
Salat tarawih selesai. Saya diajak ke lantai dua oleh Muchsin Mulaela, pimpinan Kafe Rumi, yang sudah menggeluti sufisme sejak 2006. Sudah ada tiga puluhan orang duduk melingkar. Sebelum mulai zikir, Shohib Ismail yang malam itu memimpin zikir diminta memberi kajian dadakan.
“Mau tema apa?” tanyanya.
Dari belakang saya, si penabuh jimbe berteriak, “Istri dua!” Teriakan itu langsung bikin yang lain tertawa. Kawan satunya lagi menambahkan, “Istri tiga!” Tawa makin kencang. Suasana begitu cair. Karena tak ada usulan yang serius, Ismail memutuskan tema “perintah berpuasa”.
Ia mengutip satu ayat dari surat Al-Baqarah ayat 183: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Setelah membaca ayat itu, Ismail bertanya, “Mengapa ‘Hai orang-orang beriman’? Mengapa bukan ‘Hai orang-orang Islam'?”
Pertanyaan itu menjadi pembuka kajian. Orang-orang menyimak. Kajian tak berlangsung lama, lalu dilanjutkan dengan zikir. Sebelum mulai, lampu dipadamkan. Satu-satunya sumber cahaya hanya dari lampu di lantai 1.
Zikir yang dilantunkan oleh Sufi Naqsabandi tak jauh berbeda dari cara pelafalan pada umumnya. Beberapa ayat dibaca pelan, lainnya dibaca keras; ada pula yang hanya di dalam hati. Ketika dilafalkan pun berima. Lafalan ayat suci, cahaya yang redup, membuat suasana makin khidmat.
Relasi Sosial hingga Negara Islam
Dalam praktik beragama, selain zikir, para penganut Naqsabandi juga mengenal suluk. Muchsin Mulaela berkata suluk tidak berbeda seperti bertapa dalam aliran kepercayaan, yakni upaya mengenal diri sendiri, mendekatkan diri dan mengingat Allah.
“Tidak mungkin kita bisa mengenal Allah kalau kita tidak mengenal diri sendiri. Karena sejatinya unsur-unsur dalam diri kita itu dari Allah," jelasnya. "Cara pandang sufi itu berbeda. Kita tidak melihat fisik, namun roh yang kita lihat. Apa yang tidak terlihat itu sesungguhnya lebih jelas."
Meski Naqsabandi lebih berorientasi pada diri sendiri dan hubungannya dengan Tuhan, akan tetapi dalam praktiknya, tidak boleh menutup diri dari sosial. Justru sebaliknya, mereka melihat interaksi sosial sebagai bagian dari berinteraksi dengan Allah. Sebab manusia lain adalah wujud dari keberadaan Allah.
“Kita menemukan Allah pada wajah orang lain. Itu sebabnya kita tidak boleh membeda-bedakan orang lain,” ujar Muchsin.
Cara pandang itu pula yang menjadi dasar para pengikut sufi Naqsabandi dalam melihat keberagaman. Mereka menganggap perbedaan warna kulit, kaya atau miskin, tidak ada. Sebab semuanya sama-sama makhluk ciptaan Tuhan dan sama di hadapan Tuhan.
Karena itu mereka mengutuk aksi teror yang mengatasnamakan keyakinan agama. Menurut Muchsin, tidak dibenarkan perbuatan untuk melukai orang lain. “Nabi pernah bilang, 'Barang siapa membunuh satu orang, itu sama dengan membunuh semua orang,” katanya.
Begitu pula dalam memandang upaya pendirian negara Islam. Muchsin justru heran ada saja orang yang tidak bisa melihat hal itu secara jernih. Menurutnya, bentuk negara bukanlah hal utama; yang terpenting adalah negara yang bisa menciptakan kedamaian. Dalam konteks Indonesia, Muchsin mengamini bahwa Pancasila adalah wujud dari pengejawantahan nilai-nilai Islam.
“Kalau kita benar-benar mendalami Pancasila, ini sangat Islam sekali, dari pasal satu sampai kelima tidak ada yang bertentangan. Islam itu jangan jadi bentuk, Islam itu harusnya jadi roh,” tambahnya.
Menemukan Cinta
Usai zikir selama satu jam lebih, lampu di lantai dua kembali dinyalakan. Nafid, seorang penari Sufi, memasuki lantai dua dari lantai tiga. Pemain musik pun sudah bersiap. Gendang dijejer, jimbe ditegakkan, penyanyi telah bersiap.
Seorang anggota komunitas berjalan keliling mengusap minyak wangi pada orang-orang di sana. Setelah itu, gendang mulai ditabuh. Nafid mulai berputar-putar, yang lainnya menggoyangkan badan maju-mundur. Mereka bernyanyi bersama; pujian untuk Allah.
Sebelum acara dimulai, saya sempat berbincang dengan Nafid, warga Demak yang baru bergabung dengan komunitas ini sekitar tiga tahun lalu. Sebelumnya ia hanya mendalami agama dari sekolah dan pesantren. Ia sempat bekerja sebagai tukang sapu di pondok pesantren milik Yusuf Mansur.
Kata Nafid, ia tidak pernah terpikir untuk menjadi penari sufi sampai suatu hari merasakan keresahan dalam hati. Ia merasa ada sesuatu yang kosong; segala aktivitasnya seolah tak bermakna. Suatu ketika ia melihat baliho kedatangan Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani di Indonesia. Ia bahkan tak tahu siapa orang itu. Namun dalam hati timbul keinginan untuk bertemu.
“Saya kemudian mengajak teman ke acara itu. Ndilalah, kok, saya dapat kesempatan bisa bersalaman dengan beliau, dan kemudian diajak masuk ke masjid bareng. Di sana saya duduk di depan beliau dan diberi minum. Cuma saya yang diperlakukan begitu, padahal ada ribuan orang yang datang saat itu,” ujar Nafid.
Pertemuan itu membuat Nafid tertarik untuk mendalami ajaran dari Syaikh Hisyam. Ia kemudian bergabung di komunitas Kafe Rumi dan menjadi penari sufi. Baginya, menari Sufi tidak sekadar menari.
“Ada sesuatu yang beda. Ada ketenangan dalam hati. Dan saya baru sadar, saya mulai merasakan cinta,” ujarnya.
Cinta bagi komunitas Sufi bukan sekadar cinta seseorang terhadap seseorang, tapi lebih universal dan terkait satu dengan lainnya. Misalnya mencintai Allah, konsekuensinya adalah mencintai segala ciptaan Allah. Wujud ekspresinya bermacam-macam. Salah satunya menari seperti yang dilakukan oleh Nafid.
Dampaknya, kata Nafid, bisa dirasakan dari perubahan sikap. Ia menjadi lebih baik, tidak lagi mudah marah, perkataannya lebih sopan dan hidupnya tenang.
“Cinta itu menenangkan. Yang penting berserah. Bedakan berserah dan pasrah,” katanya lagi.
Omongan Nafid membikin saya berubah pikiran soal kutipan Jalaluddin Rumi di ruang depan Kafe Rumi. Saya sepakat kata Rumi, cinta menjadi jembatan pada apa saja. Paling tidak Nafid dan teman-temannya di Kafe Rumi sudah membuktikannya.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam