Menuju konten utama
Pilpres 2019

Menanti Putusan Hakim Konstitusi

Apa yang diputus hakim MK hari ini sifatnya final dan mengikat. Tak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan siapa pun untuk menggugurkannya.

Menanti Putusan Hakim Konstitusi
Pengendara sepeda melintas di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (24/6/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Pilpres 2019 segera memasuki babak akhir. Sembilan hakim konstitusi akan membacakan putusan setelah mendengar dan menelaah keterangan yang muncul dalam sidang yang digelar sejak 14 Juni lalu. Mereka akan membacakan putusan hari ini (27/6/2019) pukul 12.30 WIB.

Sebelum putusan dibacakan, masing-masing pihak mengeluarkan pernyataan yang pada dasarnya hendak mengafirmasi apa yang mereka sampaikan sepanjang sidang. Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diwakili ketua tim hukum Bambang Widjojanto, misalnya, berharap MK bisa memutus perkara berdasarkan nilai kebenaran dan keadilan.

"Jika tidak, maka keputusan MK akan kehilangan legitimasi, karena tidak ada public trust di dalamnya. Akibatnya lebih jauh, bukan hanya tidak ada public trust, namun juga tidak akan ada public endorsement pada pemerintahan yang akan berjalan," ujar Bambang dalam keterangan tertulis, Selasa (25/6/2019).

Apa yang ia maksud adalah memenuhi permohonan tim hukum, salah satunya membatalkan putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas terpilihnya Joko Widodo-Ma’ruf Amin berdasarkan hasil hitung manual.

Bambang menarasikan ulang keterangan salah satu ahli mereka, Jazwar Koto, yang menurutnya patut dipertimbangkan hakim secara sungguh-sungguh. Dia bicara soal adanya penggelembungan 22 juta suara berdasarkan analisis forensik, yang menurutnya tidak dibantah pihak 01 (kubu Jokowi-Ma’ruf) dan KPU.

Dia juga menyinggung keterangan Idham Amiruddin yang menemukan 22 juta DPT siluman dalam bentuk NIK Rekayasa, pemilih ganda, dan pemilih di bawah umur.

Pria yang akrab disapa BW ini mengingatkan bahwa tim sukses Prabowo-Sandiaga yang tergabung dalam Badan Pemenangan Nasional (BPN) telah berkali-kali mengajukan protes dan keberatan, namun KPU tidak pernah menggubrisnya. BPN juga telah melaporkan soal DPT siluman tersebut ke Bawaslu, namun lagi-lagi laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti.

"Tidak jelasnya DPT sebenarnya telah cukup menjadi alasan bagi majelis hakim MK untuk membatalkan pelaksanaan Pilpres 2019," kata Bambang.

Kritik lain terhadap KPU, yang mestinya dipertimbangkan hakim agar mengabulkan permohonan mereka, adalah perkara tak adanya jaminan keamanan dalam sistem informasi penghitungan (situng).

Mereka juga mempersoalkan masalah KPU yang tidak dapat membuktikan adanya C7 (daftar kehadiran). Ketidakadaan C7 dianggap sangat fatal terkait dengan kepastian atas hak pilih rakyat.

"Dengan tidak dapat dibuktikannya siapa yang hadir memberikan suara dalam pemungutan suara di TPS, maka muncul pertanyaan: suara itu suara siapa? Siapa yang melakukan pencoblosan?" tanya Bambang.

Tanggapan kubu Jokowi-Ma’ruf yang diwakili ketua tim hukum mereka Yusril Ihza Mahendra lebih netral. Dia hanya berharap agar apa pun yang diputuskan MK diterima semua pihak dengan lapang dada.

"Putusan MK final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lagi. Setiap sesuatu harus ada akhirnya. Putusan MK adalah upaya terakhir menyelesaikan perselisihan," kata Yusril dalam keterangan tertulis.

Yusril lantas berharap semuanya berakhir setelah ini. Semua warga mesti kembali bersatu, melupakan konflik dan dikotomi siapa mendukung siapa. "Jangan kita saling menyimpan dendam dan permusuhan," kata Yusril.

Pernyataan Yusril dapat dimengerti karena, sebagaimana dinyatakan beberapa pengamat, kans mereka untuk menang lebih besar.

Pakar hukum tata negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti, misalnya, mengatakan kecil kemungkinan hakim MK memenangkan Prabowo-Sandiaga salah satunya karena selama sidang tim hukum tidak bisa menghadirkan saksi yang bisa membuktikan bahwa memang ada kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif--kalau pun ada kecurangan, masih belum TSM, kata Bivitri.

"Kalau misalnya curang, katakanlah di 10 TPS, belum tentu bisa menganulir perolehan puluhan juta suara,” kata Bivitri.

Saksi, lanjut Bivitri, juga banyak memberikan keterangan yang tidak relevan dan malah beropini alih-alih memberikan keterangan berupa fakta keras: apa yang mereka alami atau lihat sendiri. Opini adalah ranahnya ahli.

Berpotensi Diterima Sebagian

Namun pendapat berbeda diutarakan ahli hukum tata negara Margarito Kamis. Penulis buku Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia ini mengatakan ada kemungkinan hakim akan mengabulkan sebagian gugatan BPN karena kuatnya argumen mereka soal DPT bermasalah.

"Setidak-tidaknya mencoblos ulang di sebagian tempat, dua sampai tiga provinsi," kata Margarito kepada reporter Tirto, Rabu (26/6/2019).

DPT bermasalah terbanyak ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, kata kubu Prabowo. Pada tiga provinsi itu BPN berupaya membuktikan bahwa selisih antara surat suara sah pilpres dengan surat suara sah pileg DPD mencapai 15 juta. Suara sah pilpres di Jawa Tengah, misalnya, jumlahnya 21,77 juta. Sementara jumlah suara sah DPD untuk provinsi Jateng 16,42 juta.

"Jadi totalnya ini 15 juta. Maka signifikan mempengaruhi perolehan suara," kata Margarito. Selisih suara Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Ma’ruf mencapai 17 juta. Hasil bisa berubah jika kubu Prabowo membuktikan bahwa setengah plus satu dari total selisih itu sebenarnya untuk mereka.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino