tirto.id - Presiden Prabowo Subianto mulai melakukan serangkaian lawatan diplomatik untuk memperkuat kemitraan strategis Indonesia dengan beberapa negara. Menariknya, lawatan perdananya diawali dengan menyambangi dua kekuatan besar yang paling berpengaruh di dunia, yakni Cina dan Amerika Serikat (AS).
Selama kunjungan di Cina, Prabowo bertemu dengan Presiden Xi Jinping, Perdana Menteri Li Qiang, dan Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Cina (National People Congress atau NPC), Zhao Leji. Pertemuan itu menghasilkan beberapa kesepakatan kerja sama dengan nilai investasi lebih dari US$10 miliar atau setara Rp156,54 triliun (asumsi kurs Rp15.654 per dolar AS).
“Ini adalah pencapaian yang sangat signifikan dalam hubungan kita, mencerminkan kemitraan strategis yang komprehensif yang telah kita bangun selama lebih dari satu dekade,” ujar Prabowo dalam pernyataanya.
Kesepakatan kerja sama antara Indonesia dan Cina meliputi tujuh hal. Di antaranya adalah Protokol Persyaratan Fitosanitari untuk Ekspor Buah Kelapa Segar dari Indonesia ke Tiongkok; Pedoman Kerja Teknis untuk Mempromosikan Perikanan Tangkap Berkelanjutan; Memorandum Saling Pengertian tentang Penguatan Kerja Sama Ekonomi Biru; dan Memorandum Saling Pengertian tentang Kerja Sama Sumber Daya Mineral.
Selain itu, Indonesia dan Cina juga menyepakati Memorandum Saling Pengertian tentang Kerja Sama Mineral Hijau; Memorandum Saling Pengertian tentang Kerja Sama Bidang Sumber Daya Air; dan Memorandum Saling Pengertian tentang Kerja Sama Penilaian Kesesuaian.
Sejumlah nota kesepahaman tersebut menunjukan komitmen Indonesia dan Cina untuk memperluas investasi di berbagai sektor. Prabowo bahkan menyampaikan secara terbuka komitmen Indonesia untuk menciptakan iklim investasi yang ramah dengan menyediakan fasilitas serta dukungan bagi para investor.
“Kami menyambut investasi lebih banyak lagi. Dan kami akan bekerja keras untuk menyediakan suasana yang baik, fasilitas yang memadai, dan sambutan hangat untuk saudara-saudari kami dari Cina,” kata Prabowo.
Di luar dari tujuh kesepakatan bilateral dan investasi bisnis US$10,0 miliar itu, Pemerintah Cina juga sepakat untuk mendukung pendanaan program makan bergizi gratis. Kedua negara dalam hal ini menyepakati pendanaan "Food Supplementation and School Feeding Programme in Indonesia".
"Ya mereka (pemerintah Tiongkok) akan 'men-support' karena mereka juga sudah melaksanakan makan bergizi di sini," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dilansir Antara.
Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, menilai bahwa kunjungan perdana Prabowo ke luar negeri, khususnya ke Cina, dapat dipahami sebagai langkah strategis untuk memajukan ekonomi Indonesia dan memperkuat posisi negara dalam tatanan ekonomi global.
Cina sendiri, kata Anwar, adalah mitra dagang terbesar Indonesia. Investasi dari negara tersebut pun telah berperan penting dalam mendukung sektor-sektor yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Termasuk, pengembangan infrastruktur yang masih sangat dibutuhkan di banyak wilayah Indonesia.
“Lawatan ini juga mengindikasikan bahwa Presiden Prabowo berkomitmen untuk melanjutkan dan memperkuat kebijakan yang telah dirintis selama pemerintahan Jokowi selama pemerintahannya, terkhusus dalam hal investasi Cina di sektor infrastruktur dan hilirisasi tambang,” jelas Anwar kepada Tirto, Senin (11/11/2024).
Prabowo tampaknya melihat bahwa kesinambungan hubungan dengan Cina dapat menjadi pondasi kokoh bagi pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, kontribusi Cina memang signifikan dalam membangun sektor-sektor strategis tersebut.
Keberlanjutan investasi di sektor infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol, kereta api cepat, dan fasilitas energi misalnya, akan sangat berpotensi untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang merata dari pusat hingga ke pelosok.
“Selama satu dekade terakhir ini juga, sektor hilirisasi tambang telah menjadi fokus utama untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia, dengan dukungan investasi besar dari Cina,” ujar dia.
Menggalang Investasi Cina ke Indonesia
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, mengatakan bahwa investasi menjadi salah satu alasan besar Prabowo memilih Cina sebagai negara pertama yang dikunjunginya pasca menjadi presiden. Pasalnya, Cina sendiri merupakan mitra dagang Indonesia terbesar sekaligus investor terbesar kedua setelah Singapura.
“Jadi, tujuan lawatan Prabowo tidak lepas dari konteks itu,” ujar dia kepada Tirto, Senin (11/11/2024).
Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Investasi Cina di Indonesia pada periode 2019-semester I-2024 mencapai US$32,2 miliar (Rp487,1 triliun). Investasi itu tersebar melalui sekitar 21,022 ribu proyek.
Pada 2023, nilai investasi Cina adalah sebesar US$7,4 miliar (Rp111,96 triliun) atau berada di posisi kedua setelah Singapura yang sebesar US$15,4 miliar (Rp233 triliun).
Lima sektor utama investasi Cina di Indonesia adalah industri pengolahan logam dasar (US$13,626 miliar/Rp206,1 triliun); transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi (US$7,878 miliar/Rp119,1 triliun); kimia dan farmasi serta kawasan industri (US$2,746 miliar/Rp41,5 triliun), listrik, gas, dan air (US$2,651 miliar/Rp40,1 triliun); perumahan dan perkantoran (US$2,139 miliar/Rp32,3 triliun).
“Dari sisi ekonomi, pertama jelas adalah bagaimana menggalang kerja sama terutama di bidang investasi. Karena, kunci dari pertumbuhan ekonomi ini adalah dari investasi. Walaupun tidak semua investasi dari luar negeri, tapi sebagiannya dari luar dan berpotensi adalah salah satunya terbesar dari Cina,” jelas Faisal.
Menurutnya, investasi dari Cina sangat diperlukan untuk membiayai program-program yang dicanangkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran. Karena, masalahnya pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sendiri tidak cukup dan harus mencari alternatif pendanaan dari non-APBN.
“Salah satunya tentu saja dari swasta dan luar negeri. Dan ini tampaknya juga menjadi salah satu sasaran. Sebagaimana kita tahu, baru saja ada kesepakatan untuk pembiayaan dari Cina untuk program makan bergizi gratis. Walaupun, kita tidak tahu percis mekanismenya seperti apa. Apakah itu pinjaman, atau hibah, atau hibah bersyarat,” jelas Faisal.
Namun, kata Faisal, Pemerintahan Prabowo tetap harus mengkalkulasi betul-betul apa pun bentuk kerja sama luar negeri, termasuk dengan Cina. Kalkulasi ini perlu untuk melihat untung dan ruginya dari sisi investasi.
Sedangkan dari sisi perdagangan, juga harus terukur apa yang ingin disasar dari ekspor dan bagaimana mengatasi permasalahan membanjirnya impor produk Cina ke Indonesia.
“Ini termasuk bukan hanya legal, tetapi yang ilegal. Sehingga, berdampak kepada industri dalam negeri kita, seperti tekstil dan produk tekstil,” pungkas dia.
Peneliti senior di Pusat Kebijakan Laut Berkelanjutan Universitas Indonesia, Aristyo Rizka Darmawan, mengamini bahwa tujuan utama lawatan Prabowo ke Cina jelas untuk kerja sama ekonomi. Hal ini terbukti karena ada banyak kerja sama investasi antara Indonesia dan Cina.
“Saya kira tujuan utamanya jelas untuk kerja sama ekonomi,” tutur Aristyo kepada Tirto, Senin (11/11/2024).
Risiko di Balik Kerja Sama Indonesia – Cina
Meskipun demikian, Aristyo menyoroti beberapa kerja sama Indonesia dan Cina yang justru jadi kekeliruan. Kesepakatan yang dia maksud itu mencakup pengembangan bersama perikanan dan minyak serta gas di wilayah maritim yang klaimnya tumpang tindih antara kedua negara. Serta, sektor keselamatan maritim, memperdalam kerja sama dalam ekonomi biru, sumber daya air dan mineral, serta mineral hijau.
Karena dengan begitu, sama saja pemerintahan Prabowo mengakui klaim kedaulatan Cina dekat Laut Natuna yang masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
“Iya kalau terus dilanjutkan akan merugikan Indonesia,” imbuh Aristyo.
Direktur China-Indonesia Desk Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhammad Zulfikar Rakhmat, justru melihat bentuk kerja sama ini merupakan strategi yang unik oleh Prabowo. Namun, itu sangat berisiko meningkatkan eskalasi konflik di masa depan.
Zulfikar bahkan pesimistisakan prospek keberhasilan kerja sama di wilayah yang memiliki tumpang tindih klaim tersebut. Terutama, bila kedua negara sepakat untuk menggunakan hukum dan peraturan yang sesuai dengan kepentingan negara masing-masing.
“Perbedaan hukum ini saja sudah mengkhawatirkan. Ketika Indonesia memakai hukum United Nations Convention Law Of the Sea (UNCLOS), sedangkan China berkiblat pada 10 dash-line,” Ucap Zulfikar dalam keterangan persnya.
Alih-alih menguntungkan, kompromi Prabowo dalam kesepakatan mengeksplorasi kawasan yang tumpang tindih, secara tidak langsung menunjukkan legitimasi klaim Cina terhadap kawasan Laut Cina Selatan (LCS), termasuk perairan Natuna Utara.
Risiko diplomasi Indonesia terhadap Cina yang masih “plin-plan” dapat berimplikasi pada kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah secara konsisten mendukung code of conduct di kawasan Laut Cina Selatan sebagai salah satu upaya resolusi sengketa antara negara anggota dengan Cina.
“Sehingga, keputusan Prabowo dalam mengambil sikap dalam isu klaim tumpang tindih kawasan berpotensi menimbulkan perpecahan solidaritas antarnegara di kawasan Asia Tenggara,” pungkas Zulfikar.
Di luar itu, IDEAS juga memberikan beberapa poin kritik terkait strategi memilih Cina sebagai negara pertama yang dikunjungi dalam konteks ambisi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, soal risiko ketergantungan ekonomi.
Meskipun, kata Anwar, investasi Cina dapat memberikan dorongan besar bagi ekonomi, terlalu bergantung pada satu negara jelas berisiko. Ketergantungan ini bisa melemahkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi ekonomi di masa depan dan dapat menimbulkan ketidakseimbangan hubungan bilateral yang merugikan kepentingan nasional.
Kedua, dampak lingkungan dan sosial dari investasi Cina. Beberapa proyek investasi Cina di Indonesia sebelumnya telah menghadapi kritik terkait dampak lingkungan dan sosial, seperti degradasi lingkungan dan masalah hak pekerja.
“Jika pengawasan ketat tidak diterapkan, ada kekhawatiran bahwa investasi besar dari Cina dapat melanjutkan pola-pola yang merugikan lingkungan dan masyarakat setempat,” kata Anwar.
Ketiga, potensi ketegangan geopolitik. Mengutamakan Cina dalam hubungan internasional bisa menimbulkan kekhawatiran di kalangan sekutu Barat, terutama Amerika Serikat, yang juga memiliki peran strategis bagi Indonesia. Pasalnya, jika tidak seimbang, pendekatan ini bisa memperumit hubungan diplomatik Indonesia, terutama dalam konteks persaingan geopolitik yang sedang berlangsung antara AS dan Cina.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi