tirto.id - Seorang wartawan bertanya kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 15 Februari 2020: “Pak, mengenai kenaikan harga masker, apa pemerintah akan turun tangan? Mengingat ini sudah jadi sorotan internasional.”
Saat itu, dua pekan sebelum COVID-19 pertama kali dinyatakan masuk ke Indonesia, harga masker melonjak drastis. Masker medis yang semula Rp195 ribu per boks bisa dijual hingga Rp1,6 juta per boks dan masker biasa yang semula dijual Rp15 ribu hingga Rp25 ribu per boks dijual hingga Rp350 ribu per boks.
“Masker ya salahmu sendiri, kok beli,” jawab Terawan, singkat.
Wartawan itu kembali menegaskan: “Jadi enggak usah pakai masker ya pak?”
“Enggak usah, masker itu untuk yang sakit. Dr. Paranietharan dari WHO bilang, enggak ada gunanya [orang sehat pakai masker]. [Masker] yang sakit supaya tidak menulari orang lain. Tapi yang sehat enggak perlu.”
Terawan bersikukuh pada sikapnya itu hingga memasuki Maret 2020, ketika ditemukan dua orang asal Depok positif terinfeksi COVID-19.
Terawan bahkan sempat mengomeli wartawan yang mengenakan masker di Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta. “Saya bingung nih yang sakit siapa, kok semua pakai masker? Itu yang sakit saya atau yang sakit kalian? Ini heboh sekali.”
Kendati begitu, rupanya seruan itu tidak menghentikan masyarakat untuk awas. Relawan Muda Riau misalnya bergerak dengan menggalang donasi dalam bentuk mesin jahit, kain, atau uang. Semua ini akan digunakan untuk membuat masker kain secara swadaya. Masker dibagikan kepada warga. Mereka bergerak lantaran prihatin harga masker standar kian tak terjangkau.
“Alhamdulillah sekarang sudah menerima telepon, ada yang tawarkan jasa untuk bikinkan masker, sumbang kain ada, ada yang uang,” kata Sekretaris Relawan Muda Riau Atintan, dikutip dari Antara, Rabu (4/3/2020).
Di Desa Sumampir, Kecamatan Rembang, Purbalingga, puluhan warga menggalang dana hingga mencapai Rp5,8 juta. Sadar harga masker terlalu mahal, warga yang berprofesi sebagai penjahit lantas turun tangan membuat masker kain. Total ada 20 orang yang menjahit sementara 5 orang memotong bahan.
Total 4.000 masker diprediksi dihasilkan. Waktu itu seluruhnya akan dibagikan ke warga desa sambil diedukasi bagaimana cara mencegah tertular Corona.
Pemerintah Wajibkan Masker
Sikap pemerintah mengenai masker berubah pada 5 April 2020. Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan semua orang wajib mengenakan masker, termasuk mereka yang sehat. Keputusan itu diambil setelah didapati banyaknya pasien yang tak bergejala sehingga tidak terdeteksi.
Masalahnya saat itu harga dan ketersediaan masker masih bermasalah. Karenanya, Yuri mengimbau agar masyarakat cukup mengenakan masker kain sementara masker bedah dan masker N95 diperuntukkan bagi tenaga kesehatan.
“Masker kain bisa dicuci. Kami menyarankan penggunaan masker kain tidak lebih dari 4 jam,” kata Yurianto, Minggu (5/4/2020).
Bersamaan dengan itu solidaritas warga untuk membuat masker kain kian membesar. Sejumlah pengusaha konveksi di Solo mulai bergerak memproduksi masker kain, sebagian dibagikan secara cuma-cuma. Miftah Faridl Widhagda misalnya, memutuskan membuat satu masker gratis untuk setiap satu masker kain yang terjual.
“Sampai saat ini kami sudah mendistribusikan 5.000 masker secara gratis,” kata Miftah saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/4/2020).
Miftah juga mengajak rekan-rekan sesama pengusaha konveksi di Solo untuk ikut membuat masker gratis. Dia melakukan itu setelah mendengar keluhan istrinya yang bekerja sebagai tenaga medis yang kesulitan memperoleh masker.
Erwan Mahmudi, seorang pengusaha konveksi di Jakarta Barat, mengaku tidak mengambil untung dari produksi maskernya. Untuk memproduksi satu masker, ia butuh modal Rp3.000--sudah termasuk bahan baku dan upah karyawan. Ketika menjualnya, Erwan hanya mematok harga Rp3.500. Selisih Rp500 digunakan untuk membayar listrik dan merawat mesin jahit.
Para pelaku industri kreatif juga bergerak melalui Gerakan Masker Untuk Indonesia dengan membagikan masker secara gratis kepada masyarakat. Konsepnya, kelompok ini menggandeng artis dan desainer untuk membuat masker. Dari setiap satu masker yang terjual mereka akan membagikan tiga masker secara cuma-cuma.
Selain menghentikan penularan COVID-19, gerakan ini juga bertujuan membantu keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah yang terdampak pandemi.
Diatur dalam SNI
Belakangan, Badan Standardisasi Nasional (BSN) menerbitkan keputusan Nomor 407/KEP/BSN/9/2020 tentang Penetapan SNI 8914:2020 Tekstil–Masker. Standar ini berisi persyaratan mutu masker yang terbuat dari kain tenun dan kain rajut agar efektif dalam melawan virus Corona. Standar SNI ini juga mengatur tentang pengujian, aturan pengemasan, dan penandaan serta cara mencuci masker kain.
“Meskipun demikian, dalam ruang lingkup SNI ini, terdapat pengecualian, yaitu standar ini tidak berlaku untuk masker dari kain nonwoven (nirtenun) dan masker untuk bayi. Selain itu, standar ini tidak dimaksudkan untuk mengatasi semua masalah yang terkait dengan keselamatan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan dalam penggunaannya.”
Pengujian yang akan dilakukan antara lain uji daya tembus udara--dilakukan sesuai SNI 7648; uji daya serap--dilakukan sesuai SNI 0279; uji tahan luntur warna terhadap pencucian, keringat, dan ludah; pengujian zat warna azo karsinogen; dan pengujian aktivitas antibakteri.
Standar ini juga mengatur soal pengemasan. Masker kain harus dikemas per buah, dilipat dan dibungkus plastik. Kemasan minimal diberi keterangan: merek; negara pembuat; jenis serat setiap lapisan; label 'cuci sebelum dipakai'; petunjuk pencucian; dan tipe masker dari kain.
“Saat ini SNI masker dari kain bersifat sukarela, yang artinya produsen masker tidak wajib memproduksi masker sesuai SNI tersebut dan tidak wajib untuk disertifikasi,” jelas Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Kerja Sama dan Layanan Informasi BSN Zul Amri lewat keterangan pers pada Rabu (30/9/2020).
Aturan itu bisa jadi wajib jika instansi pemerintah yang berwenang mengadopsi SNI tersebut menjadi regulasi teknis. “Namun saat ini tidak ada regulasi teknis yang diterbitkan oleh pemerintah untuk pemberlakuan wajib SNI tersebut,” tambahnya.
Epidemiolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Mohamad Bigwanto mengingatkan ketentuan itu tidak boleh jadi beban bagi pelaku usaha kecil. Pemerintah harus menjemput bola dengan menyosialisasikan petunjuk pengurusan standar tersebut kepada pengusaha masker, dan jangan sampai ada pungutan biaya dalam pengurusannya.
“Ini momentum bagi para pembantu Presiden yang ditugasi mengembalikan ekonomi, untuk tetap bisa mendorong mereka berusaha dengan standar yang ditetapkan,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (1/10/2020).
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino