Menuju konten utama
Sejarah Masjid di Indonesia

Masjid Agung Jami' Singaraja Bali & Sejarah Toleransi di Buleleng

Sejarah Masjid Agung Jami' Singaraja dibangun atas dukungan Kerajaan Buleleng yang menganut agama Hindu.

Masjid Agung Jami' Singaraja Bali & Sejarah Toleransi di Buleleng
Masjid Agung Jami Singaraja Bali. wikimedia commons/fair use

tirto.id - Di Bali ditemukan jejak sejarah masjid yang berdiri sejak abad ke-19 Masehi, yaitu Masjid Agung Jami' Singaraja. Masjid yang dibangun pada era Kerajaan Buleleng ini terletak di Jalan Imam Bonjol 65, Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali.

Kehadiran Masjid Agung Jami' Singaraja di Pulau Dewata tidak lepas dari peran Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong, pemimpin Buleleng yang memeluk agama Hindu Bali, pada 1846.

Lantaran Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong menganut Hindu, segala urusan terkait masjid ini diserahkan kepada saudaranya yang telah beragama Islam yakni Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie dibantu oleh seorang tokoh muslim bernama Abdullah Maskati.

Hingga saat ini, di Masjid Agung Jami' Singaraja masih tersimpan Al-Qur'an hasil tulisan tangan Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie.

Sejarah Masjid Agung Jami' Singaraja

Di Buleleng yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu terdapat beberapa komunitas muslim, yakni di Kampung Kajanan, Kampung Bugis, dan Kampung Baru.

Masyarakat Islam di tiga kampung ini memiliki sebuah masjid bernama Masjid Keramat atau Masjid Kuno di Singaraja.

Lantaran perkembangan Islam di Buleleng semakin pesat, Masjid Keramat atau Masjid Kuno tidak mampu lagi menampung jamaah. Maka dari itu, masyarakat Islam di Buleleng kemudian meminta bantuan kepada Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong.

Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong memberikan tanah kosong untuk pembangunan masjid baru yang lebih besar. Lahan tersebut berlokasi di tempat di mana Masjid Agung Jami' Singaraja berdiri, yakni yang sekarang berada di Jalan Imam Bonjol, Singaraja.

Pembangunan Masjid Agung Jami' Singaraja dimulai pada 1846. Menurut laman Kabupaten Buleleng, pengurusan masjid diserahkan kepada Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie yang beragama Islam bersama Abdullah Maskati dan beberapa tokoh muslim setempat.

Proses Pembangunan Agung Jami' Singaraja

Ada beberapa kendala selama proses pembangunan Masjid Agung Jami' Singaraja. Pembangunan masjid sempat terhenti karena Abdullah Maskati diasingkan oleh Belanda.

Masalah datang lagi ketika masyarakat muslim setempat hendak mengalihkan tempat pelaksanaan salat Jumat dari Masjid Keramat ke masjid baru yang sedang dalam masa pembangunan.

Dikisahkan, sempat hampir terjadi bentrok antar-sesama umat muslim di Buleleng. Ada sebagian kalangan yang masih enggan melaksanakan salat Jumat di masjid baru dan tetap bertahan di Masjid Keramat.

Dikutip dari laman Sistem Informasi Masid Kementerian Agama RI, pemimpin Buleleng saat itu, I Gusti Anglurah Ketut Jelantik VIII, bertindak sebagai penengah.

I Gusti Anglurah Ketut Jelantik VIII memangggil Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie dan beberapa tokoh untuk bermusyawarah. Setelah berembug, masalah tersebut akhirnya dapat diselesaikan.

Jelang penyelesaian masjid pada 1860, Kerajaan Buleleng menyumbangkan sebuah pintu gerbang khas Bali untuk digunakan sebagai pintu gerbang masjid. Dibuat pula mimbar masjid dengan ukiran yang sama dengan yang ada di Masjid Keramat.

Hasil penelitian Rizky Annisa bertajuk "Peninggalan Sejarah Islam di Buleleng Bali" yang terhimpun dalam Jurnal Istoria (2020) menyebutkan, perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan salat Jumat juga bisa diselesaikan.

Secara berangsur-angsur, umat Islam setempat mulai beralih menggunakan Masjid Agung Jami' Singaraja untuk salat Jumat.

Masjid Agung Jami' Singaraja berdiri di atas tanah wakaf dengan luas 1.980 meter persegi dan luas bangunan 1.930 meter persegi yang mampu menampung jamaah sampai 1.000 orang.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASJID NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Ilham Choirul Anwar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya