tirto.id - Pancasila yang terdiri dari lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Pancasila sebagai sistem filsafat dan contohnya menggambarkan ajaran-ajaran tentang kenyataan yang saling berhubungan dalam kehidupan bangsa.
Pengertian Pancasila sebagai sistem filsafat bisa dipahami sebagai kesatuan bersifat organis dan komprehensif yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini mempertegas kedudukan Pancasila sebagai filsafat bangsa, yang menjadi landasan utama dalam membentuk pandangan hidup dan arah pembangunan bangsa.
Pada dasarnya, setiap sistem kefilsafatan mencerminkan pandangan suatu kelompok atau suatu bangsa. Dalam konteks ini, apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai sistem filsafat adalah gagasan filosofis yang lahir dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Terbentuknya sistem kefilsafatan ini juga dipengaruhi oleh lingkungan fisik, sosial, dan spiritual yang ada di tempat suatu kelompok atau suatu bangsa hidup. Pancasila pun tidak terlepas dari pengaruh ini, menjadikannya sistem filsafat yang relevan dengan budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Apa yang Dimaksud dengan Filsafat Pancasila dan Maknanya?
Pengertian Pancasila sebagai sistem filsafat bangsa bisa dimaknai sebagai hasil pemikiran manusia Indonesia secara mendalam, sistematis, dan menyeluruh tentang kenyataan. Pancasila sebagai filsafat bangsa berarti refleksi kritis dan rasional sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa dengan tujuan mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh.
Adapun pembahasan mengenai Pancasila sebagai filsafat bangsa dapat dilakukan dengan cara deduktif dan induktif. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Dosen Unikom, Sylvia Octa Putri, dalam Pancasila sebagai Sistem Filsafat (2017).
Cara deduktif berarti dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif. Sementara cara induktif berarti dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti serta makna yang hakiki dari gejala-gejala itu.
Melalui cara-cara tersebut, filsafat Pancasila sebagai hasil perenungan memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah, yaitu tentang hakikat dari Pancasila. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Notonagoro dalam modul Pancasila sebagai Sistem Filsafat susunan Rohdearny Tetty Yulietty Munthe.
Dengan kata lain, Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila.
Pada dasarnya, yang menjadi subjek atau pendukung dari isi sila-sila Pancasila adalah manusia Indonesia sebagai manusia. Ali Mudhofir dalam jurnal berjudul Pancasila sebagai Sistem Kefilsafatan (1996) menjelaskan bahwa manusia di sini merujuk pada manusia yang terdiri dari sejumlah unsur mutlak.
Yang mana, semua unsur tersebut menduduki dan menjalankan fungsinya secara mutlak. Artinya, fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur yang lain.
Inti isi masing-masing sila Pancasila sendiri merupakan penjelmaan atau realisasi yang sesuai dengan unsur-unsur hakikat manusia, sehingga setiap sila menempati kedudukan dan menjalankan fungsinya secara mutlak dalam susunan kesatuan Pancasila.
Lebih lanjut, filsafat Pancasila sebagai hasil pemikiran juga dapat dimaknai sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life atau weltanschauung). Pancasila merupakan pencerminan pandangan bangsa Indonesia dalam menghadapi realitas.
Melalui kelima silanya, yaitu: 1) Ketuhanan yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Pancasila sebagai sistem filsafat mencerminkan pandangan bangsa, dengan inti ajaran pada masing-masing sila sebagai berikut:
- Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
- Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
- Satu, yaitu kesatuan yang memiliki kepribadian sendiri
- Rakyat, yaitu unsur mutlak negara yang menjunjung nilai kerja sama dan gotong royong
- Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain sesuai haknya
Berdasarkan hal tersebut, ajaran dalam Pancasila mencakup wawasan filsafat yang meliputi bidang atau aspek ontologi (keberadaan), epistemologi (pengetahuan), dan aksiologi (nilai-nilai).
Apa Saja Contoh Pancasila sebagai Sistem Filsafat?
Sebagaimana dirangkum dari laman FKIP UMSU, adapun beberapa contoh nyata Pancasila sebagai sistem filsafat dalam kehidupan sehari-hari ialah sebagai berikut:
1. Keterlibatan dalam Musyawarah
Mengajak seluruh anggota keluarga untuk berdiskusi sebelum mengambil keputusan bersama. Sikap ini adalah wujud nyata penerapan prinsip musyawarah.
2. Menaruh Hormat kepada Orang Tua dan Lansia
Sikap yang mencerminkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dapat dilihat dari tindakan yang menunjukkan perhatian kepada orang tua dan lansia, serta ikut dalam kegiatan sosial untuk mendukung mereka.
3. Toleransi
Bersikap hormat dan ramah kepada tetangga dari berbagai suku, budaya, dan agama. Sikap ini mencerminkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
4. Menghormati Keyakinan Orang Lain
Sikap yang mencerminkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan toleransi beragama bisa tercermin dari tindakan yang menghormati praktik ibadah dan tradisi agama lain.
5. Gotong Royong
Berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, seperti membersihkan lingkungan, menggalang dana untuk kegiatan sosial, atau membantu tetangga. Sikap ini adalah bentuk gotong royong yang mencerminkan kepedulian sosial.
Secara keseluruhan, contoh konkret Pancasila sebagai sistem filsafat tercermin dari setiap tindakan yang mengutamakan toleransi, keadilan, kerja sama, dan penghargaan terhadap keberagaman.
Sementara itu, urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat sebagaimana dikutip dari laman Sipejar UM ialah sebagai berikut:
- Menciptakan dan membangun alam pemikiran bangsa Indonesia yang memiliki akar nilai dan jati diri budaya. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila memiliki karakteristik yang berbeda dengan ideologi lainnya;
- Pancasila sebagai sistem filsafat diletakkan dalam jiwa bangsa Indonesia agar bisa memajukan harga diri dan martabatnya sebagai bangsa yang merdeka baik secara materil maupun spiritual;
- Menjadi dasar acuan menghadapi tantangan dan dinamika globalisasi serta revolusi industri yang bisa melunturkan semangat kebangsaan, cinta tanah air, nasionalisme, dan nilai-nilai luhur ideologi;
- Menjadi penopang yang kuat sebagai way of life atau pedoman hidup yang mengatur tata cara berpikir dan bertingkah laku secara seimbang dan harmonis. Hal ini berperan untuk menangkal tingkah laku amoral dan lemahnya mental seseorang.
Penulis: Syaima Sabine Fasawwa
Editor: Maria Ulfa
Penyelaras: Ibnu Azis