Menuju konten utama

Ma'ruf Amin Setelah Berpolitik Setengah Abad

Sejak muda, Ma’ruf Amin sudah jadi anggota DPRD. Kini, Ketua Umum MUI dan Rais Aam PBNU ini akan maju bertarung di Pilpres 2019.

Ma'ruf Amin Setelah Berpolitik Setengah Abad
Rais 'Aam PBNU Ma'ruf Amin memberikan keterangan pers terkait pencalonannya sebagai wakil presiden di gedung PBNU, Jakarta, Kamis (9/8/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Indonesia tidak kurang contoh politisi yang suka main aman. Di era 1950-an, tersebutlah seorang bernama Abdul Haris Nasution, yang sadar dirinya berlatar belakang minoritas dalam jajaran perwira Angkatan Darat. Kala itu, korps perwira TNI lebih banyak berlatarbelakang Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) didikan Jepang. Sementara Nasution mantan tentara kolonial Hindia Belanda, Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL).

Nasution kemudian menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai wakilnya. Dengan mengangkat Gatot, bekas tentara PETA, tentu bisa mengamankan posisi Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Gatot sebenarnya sudah pensiun saat itu. Tapi ia perwira yang disegani dan dianggap mewakili PETA. Hal terpenting, Gatot adalah pendukung Nasution.

Menunjuk orang sepuh sebagai wakil masih dilakukan di tahun 2018 ini. Semua sudah tahu, Joko Widodo menyunting Kiai Haji Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden untuk maju dalam Pemilihan Presiden 2019 mendatang. Ma’ruf Amin adalah laki-laki kelahiran Tangerang, 11 Maret 1943, sementara Jokowi kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961. Amin lebih tua 18 tahun dari Jokowi.

Dua tahun terakhir, nama Ma’ruf Amin terkenal di tengah ramainya tuntutan pemenjaraan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait penistaan agama. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang diketuai Ma'ruf Amin, pun keluar. Lalu muncul Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.

Sebagai Ketua Umum MUI, sebagaimana dilaporkan media ini, Ma'ruf Amin menyebut ucapan Ahok yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 merupakan isu nasional. Sehingga MUI merasa perlu ada tindakan hukum untuk memprosesnya.

Setelah Ahok berhasil diseret ke penjara, Ma’ruf Amin makin sohor. Suami daripada Wury Estu Handayani—yang dinikahi sejak 2014—ini menjadi orang Islam terkuat dan berpengaruh di tahun 2018. Tak heran, banyak yang berharap kepadanya.

Keturunan Ulama Besar

Ma’ruf Amin punya darah kiai di Banten. Kakeknya bukan sembarang kiai. Banyak kiai-kiai Nusantara berguru pada kakeknya. “Amin adalah cucu dari ulama besar Syeikh Nawawi al-Bantani,” tulis A. Effendy Choirie dalam Islam-nasionalisme UMNO-PKB: Studi Komparasi dan Diplomasi (2008: 367).

Kakek Ma’ruf Amin, yang asal Banten ini, pernah jadi ulama besar yang dipercaya mengajar agama Islam di Mekkah. Sang kakek juga dianggap masih keturunan Sultan Banten. Sudah keturunan ulama, keturunan Sultan Banten pula.

Banten, yang di tahun 1926 terjadi pemberontakan PKI yang melibatkan para haji, saat ini dikenal sebagai daerah yang anti-PKI. Siapa pun yang kena cap PKI di Banten, niscaya akan gagal dalam pemilihan kepala daerah atau yang lebih tinggi lagi. Dengan menggandeng Ma’ruf Amin, Jokowi pun seolah-olah dapat jaminan terbebas dari isu PKI, bahkan seperti sudah menggenggam suara Banten.

Ma’ruf Amin sudah identik dengan MUI, yang bagi banyak orang dianggap sebagai “wakil Islam” di Indonesia. Halal dan haramnya sebuah produk komersial di Indonesia berada di tangan MUI. Mengkritik MUI pun bisa dianggap sebagai memusuhi Islam. Dengan menggandeng Ma’ruf Amin, Jokowi dikesankan telah menggandeng MUI. Menggandeng MUI bisa dianggap telah menggandeng umat Islam Indonesia.

Ma’ruf Amin menjadi Ketua Umum MUI sejak 2015. Ia menggantikan Din Syamsuddin pada Munas 2015 di Surabaya. Jika Din Syamsuddin berasal dari Muhammadiyah, dan pernah menjadi ketua umumnya; Ma’ruf Amin dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU), dan saat ini menjabat Rais Aam organisasi tersebut.

Ma’ruf Amin tumbuh dewasa dalam tradisi NU. Setelah belajar di Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah Tangerang, keluarganya, seperti dicatat dalam Mimbar Ulama: Perjalanan 42 Tahun MUI, “menyekolahkan Ma’ruf Amin ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Tengah. Setelah lulus pondok, ia meneruskan kuliah di Universitas Ibnu Chaldun, Bogor, Jawa Barat” (hlm. 19).

Dia pernah menjadi anggota Koordinasi Dakwah Indonesia (KODI) untuk daerah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya di masa mudanya. Selain itu, dia aktif juga di organisasi NU.

Infografik Ma'ruf Amin Pendamping Jokowi

Politisi Sejak Muda

Menurut catatan Jamal Ma’mur Asmani dalam Mereguk Kearifan Para Kiai (2018: 186), di masa mudanya Ma'ruf Amin sudah jadi dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta Utara dari 1968 hingga 1971. Dia pernah juga menjadi Ketua Cabang Gerakan Pemuda Ansor Tanjung Priok di masa perlawanan terhadap PKI (1964-1966). Ma'ruf Amin juga sempat menjadi ketua Front Pemuda dari 1964 hingga 1967. Dari 1968 hingga 1978, dia menjadi Wakil Ketua NU wilayah DKI Jakarta.

“Perjalanan karir politiknya hingga ke pentas nasional berawal dari kiprahnya di tingkat daerah dan organisasi kemasyarakatan,” tulis Zainal Abidin Amir dalam Peta Islam Politik Pasca-Soeharto (2003: 126).

Sedari muda, Ma'ruf Amin sudah duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI. Tak tanggung-tanggung, menurut Jamal Ma’mur Asmani (hlm. 186), dia menjabat sebagai Ketua Fraksi Golongan Islam dari 1971-1973 dan dari 1973 hingga 1977 menjadi Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selanjutnya, dari 1977 hingga 1982, dia diangkat sebagai pimpinan Komisi A DPRD DKI Jakarta.

Ketika orang-orang NU bergabung dalam PPP atas kemauan Orde Baru, Ma’ruf Amin jadi saksi sejarahnya. Usia Ma’ruf Amin kala itu masih 28 dan sudah jadi anggota dewan. Di DPRD Jakarta, menurut buku Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977 (1977: 41), “Saudara Ma’ruf Amin BA, dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebagai anggota yang termuda.”

Di era 1980-an, masa ketika Benny Moerdani yang dicap anti-Islam menjadi Panglima ABRI (1983-1988) lalu Menteri Pertahanan dan Keamanan (1988-1993), Ma’ruf Amin lebih banyak berkarier sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahudin Al-Ayubi Jakarta. Sejak 1987, dia menjadi Ketua Yayasan Syekh Nawawi Al-Bantani.

Laki-laki yang menulis buku Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam (2008) dan beberapa buku lainnya ini menjadi anggota DPR di masa akhir Orde Baru dan setelah Soeharto tumbang. Sejak 1997 hingga 1999, masih menurut Jamal Ma’mur Asmani (hlm. 186), Ma’ruf Amin adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dia pernah menjadi anggota Dewan Syuro Partai kebangkitan Bangsa (PKB). Lewat partai itu pula, Ma’ruf Amin jadi anggota DPR lagi pada 1999. Kala itu bertindak sebagai Presiden adalah Abdurahman Wahid (Gus Dur). Setelahnya, dia aktif menjadi komisi fatwa di MUI.

Sudah jelas Ma’ruf Amin kenyang asam garam dunia politik sejak muda. Jika dia masuk politik saat jadi Ketua Ansor Tanjung Priok pada 1964, setidaknya Ma’ruf Amin sudah berkarier di politik sekitar 54 tahun, dengan segala pasang surutnya.

Setelah separuh abad, di usianya yang kini 75, Ma’ruf Amin pun nyaris mendekati puncak kekuasaan dalam Republik ini. Bila menang, dia akan jadi wakil presiden pertama asal Banten.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan