Menuju konten utama

LSJ FH UGM Dorong Polda DIY Hentikan Kasus Hukum terhadap Meila

Menurut Ketua Dosen LSJ FH UGM, Herlambang P. Wiratraman, pasal yang dikenakan kepada Meila melahirkan kontradiktif pada perkembangan hukum di Indonesia.

LSJ FH UGM Dorong Polda DIY Hentikan Kasus Hukum terhadap Meila
Herlambang P Wiratraman diwawancarai di Polda DIY, Jumat (2/8/2024). tirto.id/Fatimah Purwoko

tirto.id - Sejumlah akademisi dan peneliti dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (LSJ FH UGM) menyampaikan pandangan hukum sekaligus rekomendasi terhadap penanganan kasus hukum yang menimpa pembela HAM, Meila Nurul Fajriah.

Herlambang P. Wiratraman, Ketua Dosen LSJ FH UGM, mendorong agar kasus hukum terhadap Meila tidak dilanjutkan. Berkenaan dengan proses penyidikan yang dilakukan Polda DIY yang menetapkan status tersangka bagi kuasa hukum pendamping korban tindak pidana kekerasan seksual atas nama Meila Nurul Fajriah, S.H. melalui Surat ketetapan tersangka nomor: S.Tap/51/VI/RES.2.5/2024/Ditreskrimsus, tanggal 24 Juni 2024.

"Pada intinya kami mendorong kasus ini tidak dilanjutkan. Sebab [pelaporan terhadap Meila] jelas akan bertolak belakang dengan peraturan perundang-undangan" ujarnya kepada Tirto di Polda DIY, Condongcatur, Depok, Sleman, Jumat (2/8/2024)

Menurut Herlambang, pasal yang dikenakan kepada Meila melahirkan kontradiktif pada perkembangan hukum di Indonesia.

"[Meila] dikenakan pasal yang justru menurut hemat saya akan melahirkan kontadiktif dengan perkembangan hukum di Indonesia berkaitan dengan pencemaran nama baik," sebutnya.

"Padahal yang dilakukan Meila untuk kepentingan umum. Dia juga diakui sebagai bagian dari Lembaga Bantuan Hukum dan dilindungi UU Bantuan Hukum. Bahkan korban mencapai 30 orang," imbuhnya.

Melalui surat rekomendasinya ke Polda DIY, LSJ FH UGM menyampaikan pandangan hukumnya sebagai berikut:

1. Dalam Perkapolri No. 15 Tahun 2006 Pasal 3 diatur mengenai asas penyidikan yang salah satunya adalah asas kredibilitas. Artinya penyidik Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya didasarkan pada fakta hukum yang akurat dan dapat dipercaya. Kekerasan seksual yang terjadi dalam kasus yang ditangani oleh Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta adalah fakta hukum. Dasar ini terkait Surat Keputusan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) No. 327/SK-REK/DPK/V/2020 tertanggal 12 Mei 2020 tentang Pencabutan Penghargaan Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Universitas Islam Indonesia Tahun 2015 atas nama Ibrahim Malik dan Putusan Perkara No. 17/G/2020/PTUN.YK yang telah berkekuatan hukum tetap.

2. Dampak dari kejahatan seksual yang dilakukan pelaku, korban yang mengalami pengalaman traumatis (Kasus dugaaan kekerasan seksual UII Yogyakarta: Sejumlah penyintas akan menempuh jalur hukum, 'Saya merasa takut dan gugup', BBC News Indonesia, 15 Juni 2020). Dalam proses hukumnya, sudah sepatutnya Polda D.I. Yogyakarta lebih berhati-hati dan tak gegabah dalam melihat rentetan peristiwa hukum, bukan dengan cara pandang formalisme yang justru merugikan dan menyakitkan korban kekerasan seksual. Terlebih, kasus ini melibatkan puluhan korban yang memberikan kesaksian ke LBH Yogyakarta, yang mana Sdri. Meila Nurul Fajriah, S.H. sebagai salah satu pendamping hukumnya.

3. Penetapan tersangka kepada pendamping korban seksual sangat potensial menjadi pelanggaran terhadap hak memperoleh keadilan. Hak tersebut adalah hak bagi setiap orang, tanpa diskriminasi, untuk mengajukan permohonan pengaduan dan laporan dalam perkara pidana untuk memperoleh putusan adil dan benar. Berdasarkan Pasal 6 huruf a. Perkapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, hak memperoleh keadilan termasuk ke dalam cakupan tugas Polri. Penetapan tersangka terhadap pendamping korban kekerasan seksual akan merintangi upaya korban untuk memperoleh keadilan, sehingga korban pun kian sulit mendapatkan pemulihan yang efektif (effective remedy).

4. Penetapan tersangka tersebut juga menunjukkan itikad buruk (malicious intention) kepada pendamping korban dengan tujuan untuk mengganggu aktivitasnya sebagai pembela HAM. Paragraf 139 huruf i. Standar Norma Pengaturan (SNP) No. 6 Tentang Pembela Hak Asasi Manusia oleh Komnas HAM RI (2021) menggariskan bahwa pembela HAM harus terbebas dari intrik-intrik malicious intention, seperti intimidasi atau pembalasan dari aktivitasnya. Bagi pembela HAM dan masyarakat luas, penetapan tersangka ini dapat memberi efek ketakutan dan jera (chilling effect) dalam memberi kritik dan mengadvokasi kepentingan publik.

5. Polda D.I. Yogyakarta yang menangani kasus dengan memproses keberlakuan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang Undang ITE justru sangatlah keliru dan bahkan bertentangan dengan sejumlah doktrin hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan (aksesi) oleh Indonesia melalui Undang Undang No. 12 Tahun 2005, terkait kepentingan umum yang menjadi pengecualian pemberlakuan atas pembatasan, atau bahkan upaya pemidanaan. Pasal tersebut merupakan pasal yang lentur dan potensi abusive atau disalahgunakan untuk membungkam upaya pembelaan hak asasi manusia, bukan saja ditujukan sebagai kriminalisasi, melainkan pula bagian dari SLAPP (strategic lawsuit against public participation), yang menghambat upaya korban atau pembelanya memperjuangkan haknya.

6. Perlu mengingatkan perkembangan hukum, khususnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi soal UU ITE (UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau diringkas UU ITE), khususnya pasal pencemaran nama baik, yang secara hukum memberikan syarat yang demikian ketat nan terbatas, dituangkan dalam SKB/Surat Keputusan Bersama implementasi UU ITE. Dalam SKB dinyatakan, bahwa ketika orang menyampaikan fakta terlebih berkaitan dengan kepentingan umum, terkait dengan apa yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Terlebih, apa yang dilakukan Sdri. Meila Nurul Fajriah, S.H. legitimate sebagai kuasa hukum atau pendamping hukum korban yang dilindungi Undang-Undang Bantuan Hukum.

7. Selain itu, berdasarkan Putusan MK Nomor: 50/PUU-VI/2008 tahun 2008, bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan. Hal demikian dinyatakan pula tegas dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Kapolri, Jaksa Agung dan Kementerian Komunikasi dan Informatika tentang Pedoman Implementasi atas Pasal-Pasal Tertentu dalam UU ITE. Penggunaan Pasal 27 ayat (3) ITE untuk menetapkan pendamping korban adalah sebuah kekeliruan fatal secara hukum, dan menunjukkan Polda D.I. Yogyakarta tidak sungguh-sungguh mengikuti perkembangan doktrin dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

8. Terlebih, kriminalisasi terhadap pendamping korban adalah bentuk serangan nyata terhadap korban dan pendampingnya, bila dikaitkan dengan perkembangan hukum yang merujuk pada Pasal 28 jo Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur tegas. Justru, bila dipahami cermat, ketentuan tersebut mengatur bahwa terdapat hak pendamping korban untuk mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi di setiap tingkat pemeriksaan. Pendamping (hukum) yang sedang melakukan penanganan terhadap korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendampingan atau pelayanannya diberikan tidak dengan itikad baik.

9. Upaya pemidanaan atau kriminalisasi terhadap pendamping hukum bagi korban kekerasan seksual, yang pula merupakan pengacara publik pada LBH Yogyakarta telah menjadi serangan terhadap independensi advokat sebagai penegak hukum yang dijamin imunitasnya (vidé: Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat), dan bila kasus ini diteruskan masa sama halnya dengan upaya mengancam bagi organisasi bantuan hukum sebagai pemberi bantuan hukum yang dijamin hak imunitasnya. Perlu diketahui bahwa mereka tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya, terlebih dilakukan dengan itikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat (vidé: Pasal 11 UU No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum).

10. Tim Penyidik Polda DIY diharapkan mempertimbangkan pandangan hukum ringkas ini, karena berdasarkan Perkapolri No. 15 Tahun 2006 Pasal 3 diatur pula mengenai asas keterbukaan yang artinya penyidik Polri bekerja sesuai dengan prinsip keterbukaan, menerima saran dan/atau kritikan yang bersifat konstruktif dari pihak manapun. Sudah menjadi kewajiban, aparat penegak hukum kepolisian bertindak dengan mengedepankan pertimbangan hukum dan keadilan bagi korban dan pendamping hukumnya, terlebih kasus ini juga mendapat perhatian publik sehingga sangat membuka kemungkinan mencipta ketidakadilan sosial atas proses penegakan hukum yang berjalan.

"Berdasarkan pandangan tersebut, kami, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada merekomendasikan," kata Herlambang.

1. Tim Penyidik yang menangani kasus dengan perkara nomor laporan LP/B/0972/XII/2021/SPKT/POLDA.D.I.Yogyakarta tertanggal 28 Desember 2021 untuk segera menghentikan proses penyidikan kasus yang disangkakan terhadap pembela HAM dan pendamping korban, Meila Nurul Fajriah, S.H. Hal ini sejalan dengan landasan hukum, baik UU HAM, UU Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Doktrin Pembatasan terkait Kepentingan Umum dalam Siracusa Principles, UU TPKS, UU Advokat, UU Bantuan Hukum, Perkapolri No. 15 Tahun 2006, Perkapolri No. 8 Tahun 2009, dan SNP No. 6 Tentang Pembela Hak Asasi Manusia yang disusun oleh Komnas HAM RI.

2. Sebaliknya, mendorong proses hukum yang seharusnya berjalan, terutama bagi pihak yang diduga terlibat dalam tindak pidana kasus kekerasan seksual.

Sebelumnya, Dirreskrimsus Polda DIY, Idham Mahdi, mengatakan kasus tersebut sedang dalam tahap penyidikan dan sejauh ini perbuatan Meila dianggap telah memenuhi unsur Pasal 17 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Idham juga membantah tudingan kriminalisasi terhadap Meila.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - Hukum
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Irfan Teguh Pribadi