tirto.id -
Pengangkatan kelimanya berdasarkan Keputusan Presiden No. 112/P tahun 2019 tanggal 21 Oktober 2019 dan No. 129/P tahun 2019 tanggal 2 Desember 2019 tentang pengangkatan Komisioner KPK 2019-2023.
"Demi Allah saya bersumpah, demi Tuhan saya berjanji, dengan bersungguh-sungguh, bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuai apa pun kepada siapa pun juga," ucap kelimanya secara serempak di Istana Negara Jakarta, Jumat.
Sumpah selanjutnya adalah "saya bersumpah, saya berjanji, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga, suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah, saya berjanji, bahwa saya akan setia kepada, dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, UUD RI 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi NKRI".
"Saya bersumpah, saya berjanji, bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, saksama, objektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu, dan akan melaksanakan jabatan saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan YME, masyarakat, bangsa, dan negara".
"Saya bersumpah, saya berjanji, bahwa saya senantiasa menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga, dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan UU kepada saya. Kiranya Tuhan menolong saya".
Sebelumnya Presiden Jokowi menyaksikan pengucapan sumpah Dewan Pengawas KPK.
Pertama, Irjen Firli Bahuri adalah mantan Kepala Polda Sumatera Selatan yang mendapatkan 56 suara dukungan dari DPR (aklamasi). Firli terakhir menyetor LHKPN pada 29 Maret 2019. Total harta kekayaannya adalah sebesar Rp18,226 miliar.
Sejumlah pihak sempat menolak Firli menjadi pimpinan KPK karena ia terlibat pelanggaran etik karena bertemu mantan Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK 2017-2018. Firli juga disebut bertemu dengan Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar yang menjadi saksi di KPK hingga salah satu Ketua Umum partai politik.
Terhadap tuduhan tersebut, Firli mengatakan ia tidak pernah melakukan pelanggaran etik.
Kedua, Alexander Marwata adalah komisioner KPK pertama yang menjabat selama dua periode. Alexander adalah komisioner 2015-2019. Ia mendapatkan dukungan 53 suara dari anggota Komisi III DPR. Total harta Alexander yang berdasarkan LHKPN per 27 Februari 2019 adalah senilai Rp3,968 miliar.
Alex menamatkan pendidikan D IV dari Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN) jurusan Akuntansi pada 1995, ia selanjutnya mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (lulus 2001).
Ia memiliki karir panjang sebagai auditor ahli di Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (1989-2011) dan menjadi hakim ad hoc pengadilan Tipikor Jakarta 2012-2015.
Ketiga, Lili Pintauli Siregar adalah advokat dan mantan Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2008-2018. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Lili adalah Rp781 juta.
Ia mendapat dukungan suara Komisi III sejumlah 44 suara. Lili kerap menyoroti lemahnya kerja sama KPK dengan LPSK, padahal seharusnya kedua lembaga itu menurut Lili dapat berbagi tugas untuk memudahkan penegakkan hukum.
Keempat, Nurul Ghufron adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember dan terakhir melaporkan LHKPN pada 23 April 2018. Total harta kekayaannya sebesar Rp1,832 miliar.
Nurul mendapat dukungan suara sebanyak 51 dari anggota Komisi III DPR. Saat tes wawancara di hadapan pansel, ia sempat dicecar soal penggunaan fasilitas dinas untuk keperluan pribadi seperti mobil dinas masih menjadi konsultan di salah satu kantor advokat.
Kelima, Nawawi Pomolango adalah hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali. Ia mendapat suara sejumlah 50 suara dari anggota Komisi III DPR.
Ia mengawali kariernya pada 1992 di PN Soasio Tidore, Kabupaten Halmahera Tengah. Pada 1996, Nawawi dipindah tugaskan sebagai hakim di PN Tondano, Sulawesi Utara. Lima tahun kemudian, dia dimutasi sebagai hakim ke PN Balikpapan dan pada 2005 menjadi hakim di PN Makassar.
Pada 2011-2013 ia bertugas di PN Jakarta Pusat dan pernah mengadili sejumlah kasus KPK seperti kasus Luthfi Hasan Ishaaq, Fatonah, Irman Gusman, Patrialis Akbar. Akhir 2017, Nawawi mendapat promosi sebagai hakim tinggi pada PT Denpasar dan terakhir melaporkan LHKPN pada 26 Maret 2019 senilai Rp1,893 miliar.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Abdul Aziz