Menuju konten utama

Lelang Tas Sembako Jokowi Rp3 Miliar yang Kontroversi

Pembagian sembako oleh Istana Kepresidenan dinilai politis.

Lelang Tas Sembako Jokowi Rp3 Miliar yang Kontroversi
Presiden Joko Widodo, menyalami warga saat mengunjungi posko pengungsian korban gempa di Desa Sidakangen, Kalibening, Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (23/4/2018). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

tirto.id - Pengadaan tas untuk program bagi-bagi sembako ke masyarakat sebagai bagian bantuan sosial yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai kritik. Pengadaan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang diatur dalam undang-undang.

“Program ini secara angka saja sudah jauh dari efisien dan bertentangan dengan amanat UU 17/2003 yang harusnya diperhatikan pemerintah,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA) Yenni Sucipto kepada Tirto, Selasa (24/4).

Yenni mengatakan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengharuskan keuangan negara dikelola secara tertib, taat peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Ia memandang nilai pagu Rp3 miliar dengan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp600 juta untuk pengadaan tas sembako tidak memenuhi prinsip efisiensi.

Menurut Yenni pengadaan tas sembako cukup menggunakan kantong plastik yang harganya murah. Selama ini, yang terjadi kantong dalam pembagian sembako bukan dari plastik.

Pada gambar-gambar saat pembagian sembako tahun lalu misalnya, kantong sembako berwarna merah dan putih yang bertuliskan "Istana Kepresidenan Republik Indonesia" dan "Bantuan Presiden Republik Indonesia" dengan perpaduan lambang Istana Negara di tengahnya.

“Daripada 3M (Rp3 miliar) dipakai untuk tas, lebih baik ditambah penerima manfaatnya. Itu prinsip efektivitas, berkeadilan dan efisiensinya,” ujar Yenny.

Program bagi-bagi sembako yang dilakukan Jokowi dengan nama Bantuan Lempar Langsung (BLL) menurut Yenny tidak berbeda dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Program ini menurutnya hanya bersifat karitatif dan politis tanpa menyelesaikan persoalan kemiskinan.

“Karena pembelian tas ini jelang Pemilu,” kata Yenni.

Alih-alih menyediakan anggaran Rp3 miliar untuk pengadaan tas, Yenni mengatakan anggaran sebesar itu lebih baik digunakan untuk program pengentasan kemiskinan berkelanjutan. Misalnya menciptakan lapangan kerja.

“Tiga miliar saya kira cukup untuk memberi bantuan modal UMKM di beberapa daerah atau membuat sentra pelatihan kerja, meskipun jumlahnya sedikit,” ujarnya.

“Tapi yang penting pengelolaan keuangan lebih berkeadilan daripada sekadar tas sembako.”

Yenni mengatakan pengadaan tas sembako Jokowi menggunakan dana operasional tidak lazim. Menurutnya program pembagian sembako ada dalam proyek Bantuan Langsung Lempar (BLL) Kementerian Sosial. Sehingga mestinya antara sembako dan tas sebagai pembungkusnya dilelang secara bersamaan.

“Kalau pengadaan tasnya saja diambil dari dana operasional sayang sampai Rp3 miliar. Oke ini diskresi presiden tapi tidak serta merta begitu saja,” katanya.

Program bagi-bagi sembako menurut Yenni tak jauh berbeda dengan program bagi-bagi sertifikat tanah oleh Jokowi. Ia mengatakan pembagian sertifikat tanah tak berarti mengentaskan kemiskinan masyarakat dan petani. Sebab mestinya program bagi-bagi sertifikat tanah dibarengi program penguatan petani miskin, seperti mempermudah alur distribusi, dan menaikkan harga pembelian gabah dan beras petani oleh Perum Bulog.

“Tapi kalau tidak ada penguatan bagi petani ya tanahnya akan hilang saja. Tanahnya akan dijual lagi. Karena tidak ada bantuan dari pemerintah,” kata Yenni.

Apalagi, kata Yenny, pada sampul sertifikat tanah yang dibagikan ke masyarakat terdapat foto Jokowi. Pada foto-foto pembagian sertifikat memang nampak foto Jokowi dalam sampul luar. Ia menilai program pembagian sertifikat bersifat politis untuk menaikkan elektabilitas Jokowi menjelang Pilpres 2019. Namun, pemerintah memang punya alasan, dengan memiliki sertifikat, masyarakat bisa menganggunkan surat tanah ke jasa keuangan untuk kegiatan produktif.

Yenni mendesak DPR lebih proaktif mengawasi usulan anggaran dari pemerintah yang bersifat karikatif dan bersifat politis. Karena, menurutnya, anggaran tersebut tidak akan lolos dan dicairkan oleh Kemenkeu jika DPR tidak menyetujui.

“Kan DPR lebih tinggi dari presiden. Presiden hanya kuasa pengguna anggaran. Dia mengusulkan lalu dibahas dan disetujui DPR,” kata Yenni.

Wakil Ketua Umum DPR Agus Hermanto belum tahu pasti apakah program bagi-bagi tas sembako Jokowi menggunakan dana operasional presiden atau pos anggaran lain. “Pasti kami yakinkan darimana anggaran itu berada,” kata Agus, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24/4).

Agus menilai pengadaan tas sembako dan sertifikat tanah bergambar wajah Jokowi sarat muatan politis. Ia mengimbau kepada pemerintah agar berhati-hati membuat program-program menjelang tahun politik. "Itulah mungkin harus diperhatikan. Harus hati-hati Pak Presiden," kata Agus.

Infografik current issue kupon sembako jokowi

Anggota Komisi XI F-Gerindra, Sumail Banyu menilai kebijakan Jokowi tersebut memang murni politis dan seharusnya tidak perlu dilakukan. “Presiden sama saja dengan menyalahgunakan kuasanya untuk kepentingan pribadi,” kata Sumail kepada Tirto.

Menurut Sumail, program tersebut belum pernah dilaporkan kepada DPR oleh Kemenkeu dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi XI. Sehingga, ia mengaku kaget dengan keberadaan program tersebut yang menggunakan APBN berjumlah besar.

"Secara akuntabilitas ini bertentangan dengan UU pengelolaan keuangan. Harusnya setiap anggaran dilaporkan ke DPR terlebih dulu," kata Sumail.

Berbeda dengan semua pernyataan di atas, Anggota Komisi XI F-PDIP, Eva Kusuma Sundari menyatakan program tersebut tidak perlu dipersoalkan karena bagian dari dana operasional presiden yang bisa digunakan sehari-hari dalam kunjungan.

"Dana operasional tidak perlu persetujuan DPR. Penggunaannya laporan ke publik sesuai ketentuan di nomenklatur dana operasional presiden. Laporan diketahui BPK, dan hingga saat ini tidak ada penyalahgunaan penggunaannya. Malah BPK mengganjar WTP ke pemerintah pusat untuk pertama kalinya, kan?", kata Eva kepada Tirto.

Eva juga membantah program tersebut bersifat politis. Menurutnya, program tersebut telah dilakukan sejak jauh-jauh hari dan sempat mendapat respons positif dari publik. "Sejak awal tidak ada yang komentar negatif," kata Eva.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno menerangkan anggaran tas sembako Jokowi masuk pos anggaran bantuan sosial presiden. Pos anggaran ini menurutnya sudah ada sejak presiden-presiden sebelumnya. “Jadi cuma penggunaannya saja yang berbeda-beda,” ujar Pratikno.

Pratikno justru menilai positif program pengadaan tas sembako oleh Jokowi. “Kalau pak presiden menggunakan terbuka, inikan semua orang tahu siapa yang menerima dan akuntabel, ada sistem administrasinya,” katanya.

Namun Pratikno tidak merinci peruntukan pengadaan tas sembako Jokowi. “Saya enggak hafal. Saya tidak hafal detailnya,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar