tirto.id - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM resmi memperpanjang kebijakan pemberian asimilasi di rumah bagi narapidana dan anak per Kamis (1/7/2021). Kebijakan ini diambil seiring pandemi COVID-19 dan ancaman penularan virus Corona bagi narapidana.
Hal tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 24 tahun 2021 sebagai perubahan Permenkumham Nomor 32 tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB) bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19.
Kebijakan tersebut diambil karena ancaman penularan COVID-19 di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan negara (rutan), dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) masih tinggi.
“Perubahan aturan ini harus segera dilakukan sebagai penanganan lanjutan dalam upaya mencegah semaksimal mungkin potensi penyebaran COVID-19 di lapas, rutan dan LPKA. Evaluasi terus kami lakukan sejak awal pandemi berlangsung di 2020, sehingga dilakukanlah perubahan-perubahan ini,” kata Dirjen Pemasyarakatan Reynhard Silitonga dalam keterangan tertulis.
Reynhard sebut ada perubahan aturan pada Pasal 11 ayat (3) huruf d terkait narapidana penerima asimilasi dan Pasal 45 terkait perluasan jangkauan penerima asimilasi, PB, CMB, dan CB bagi narapidana dan anak. Semula berlaku pada narapidana yang 2/3 masa pidananya dan anak yang ½ masa pidananya sampai dengan 30 Juni 2021, kini diperpanjang sampai dengan 31 Desember 2021. Dengan demikian, pelaksanaan hak asimilasi dan integrasi di rumah akan diawasi oleh pembimbing kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan daripada di dalam lapas.
“Kami juga berharap masyarakat mau berperan serta mengawasi dan mendukung pelaksanaan asimilasi di rumah. Dan kami akan terus melakukan upaya pencegahan, penanggulangan dan penanganan penanganan penyebaran Covid-19 di dalam dengan lebih optimal,” kata Reynhard.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Institute Criminal and Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan LeIP mendukung langkah Ditjen PAS dengan melanjutkan kebijakan asimilasi ini. Mereka justru mendorong agar penegak hukum lain untuk menerapkan kebijakan penghentian penahanan di masa depan.
“Menerbitkan kebijakan penghentian penahanan dalam lembaga bagi Kepolisian dan Kejaksaan, dengan memaksimalkan bentuk lain: penangguhan penahanan dengan jaminan, tahanan rumah, tahanan kota,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis, Rabu (7/7/2021).
Pendapat koalisi ini mengacu pada sejumlah faktor. Salah satunya, mereka belum melihat pemerintah menerbitkan data penyebaran COVID-19 dari rutan dan lapas secara realtime, sementara jumlah penyebaran kasus COVID-19 pun tidak sedikit.
Kolaisi mencontohkan bagaimana sekitar 65 warga binaan positif COVID di Lapas Klas II Kuningan pada 1 Juli 2021. Selain itu, mereka juga mengacu pada keterangan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly bahwa ada 4.343 warga binaan termasuk anak-anak terpapar COVID-19. Selain itu, 1.872 petugas pemasyarakatan ikut terpapar COVID selama pandemi.
“Data ini tidak dapat dipantau secara berkala oleh masyarakat. Intervensi penanganan COVID-19 di Lapas minim dari pengawasan publik karena sumber informasi hanya berasal dari pihak Lapas dan Kementerian Hukum dan HAM tanpa komitmen penyampaian ke publik secara berkala,” kata Erasmus.
Faktor pendukung yang mendorong pelaksanaan asimilasi adalah overcrowding di dalam rutan dan lapas yang tidak kunjung turun. Meski angka overcrowding pernah turun dari 99 persen menjadi 69 persen pada medio Maret-Mei 2020, kini angka tahanan dan warga binaan kembali merangkak naik. Per Juni 2021, angka overcrowding menyentuh angka 100 persen dengan jumlah penghuni mencapai 272.000 orang, sementara kapasitas penghuni hanya 135 ribu orang.
Dalam catatan koalisi, kebijakan Ditjen Pemasyarakatan memang telah mengeluarkan 55.929 warga binaan pemasyarakatan dan 1.415 anak penerima hak integrasi, serta 69.006 warga binaan masyarakat dan anak penerima asimilasi rumah.
Sementara itu, per 2021 sudah ada 16.387 warga binaan pemasyarakatan, 309 anak menerima integrasi serta 21.096 orang napi dan anak menjalankan asimilasi di rumah. Akan tetapi, upaya tersebut tidak kunjung mengunrangi jumlah penghuni rutan dan lapas.
“Kondisi ini menunjukkan tidak ada sinergitas antara Kemenkumham dan Apgakum seperti kejaksaan dan kepolisian dalam menekan angka overcrowding. Angka pemenjaraan terus naik," kata Erasmus.
Faktor lain yang menjadi atensi koalisi adalah vaksinasi. Mereka melihat para warga binaan tidak menjadi prioritas vaksinasi karena tidak ada program khusus pemerintah yang menjamin vaksin harus diberikan kepada warga binaan dan tahanan.
Ia mengingatkan, kondisi rutan dan lapas tidak memungkinkan napi maupun tahanan untuk menerapkan jaga jarak. Oleh karena itu, para napi dan tahanan seharusnya mendapat atensi untuk divaksinasi, apalagi skema vaksinasi WHO memprioritaskan tahanan dan napi untuk mendapatkan vaksinasi.
Oleh karena itu, kata dia, koalisi mendorong Presiden Joko Widodo tidak hanya menghentikan kebijakan penghentian penahanan dan kelanjutan program asimilasi.
Mereka mendorong pemerintah untuk menerbitkan kebijakan pengeluaran warga binaan berbasis kerentantan seperti untuk lansia, perempuan dan anak serta binaan dengan riwayat penyakit bawaan dan pecandu narkotika. Koalisi juga mendorong untuk pelaksanaan vaksinasi bagi penghuni rutan dan lapas di semua sektor termasuk di luar wewenang Kemenkumham.
“Menerbitkan kebijakan untuk Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dengan memaksimalkan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan, misalnya pidana percobaan dengan syarat umum dan syarat khusus ganti kerugian, pidana denda, rehabilitasi rawat jalan untuk pengguna narkotika," kata Erasmus.
Ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi juga mendukung langkah Kemenkumham memperpanjang kebijakan asimilasi. Ia juga mengacu pada 1.872 petugas lapas dan ribuan warga binaan terpapar COVID. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidaklah seratus persen tepat.
“Kalau ditanya apakah ini opsi paling baik? Tentu tidak. Data Kumham lapas masih overcrowded 186 persen. Artinya kebijakan penghukuman masih jadi prioritas sistem peradilan pidana," kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Rabu (7/7/2021).
Fachrizal menilai, sebanyak apa pun Ditjen PAS mengeluarkan napi lewat program penanganan COVID, jumlah tersebut tidak akan berkurang jika polisi dan jaksa tetap mengedepankan penghukuman. Kejaksaan dan kepolisian tidak membuat standar kasus yang diprioritaskan untuk disidik dan ditahan sehingga jumlah napi dan tahanan tetap tinggi.
Menurut Fachrizal, ada sejumlah langkah yang harus dilakukan agar penyebaran COVID-19 dan masalah overcrowding bisa ditangani. Pertama, Kemenkumham bisa menggunakan Ditjen PP untuk merumuskan revisi undang-undang atau peraturan pemerintah dalam kebijakan pemidanaan di masa pandemi. Salah satu opsi yang ditawarkan adalah merevisi KUHAP yang masih menganakemaskan polisi sebagai bagian militer.
Kedua, kata dia, perlu ada dominus litis atau pemegang kendali dalam kebijakan pemidanaan dari hulu hingga hilir. Saat ini semua lembaga berjalan sendiri-sendiri. Menurut Fachrizal, Kemenkumham bisa lebih berperan karena bisa membuat regulasi dan mengontrol lapas.
Dengan demikian, kata dia, masalah pencegahan penyebaran COVID di rutan dan lapas bisa berkurang sekaligus menyelesaikan masalah overcrowding di masa depan, terlepas masa pandemi atau tidak.
Ia bahkan klaim tidak perlu ada perpanjangan kebijakan asimilasi jika semua sudah diterapkan. Akan tetapi, semua saran tersebut kembali bermuara pada political will pemerintah untuk menyetujui atau tidak dalam menangani pandemi sekaligus pemidanaan bagi para warga binaan.
“Kebijakan pemidanaan di masa pandemi ini harus beda dengan di masa normal. Polisi, jaksa harus diberi batasan agar tidak sembarangan menahan dan menuntut orang," kata Fachrizal.
“Kalau ini sudah diperbaiki lebih enak mengelola lapas, memaksimalkan asimilasi agar transparan dan tidak korup termasuk menggalakkan vaksin bagi warga binaan dan petugasnya," tutur Fachrizal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz