tirto.id - Cuaca cerah dan angin sepoi-sepoi mengiringi Buni Yani masuk ke pelataran PN Jakarta Utara bersama dua orang tim kuasanya. Dengan langkah mantap ketiganya bergegas turun dari mobil menuju pintu belakang dan menyusuri sebuah lorong yang menghubungkan antara kantin dengan ruang sidang.
Kala itu, waktu menunjukkan pukul 8.50 WIB. Sekitar 1,5 jam sebelum praperadilan disidangkan. Terdapat sekitar 7 orang terlihat duduk-duduk di kursi belakang ruang sidang yang akan digunakan Buni untuk praperadilan pada pukul 10.25 WIB, seorang tim pengacara Buni diantaranya. Ia mengenakan setelan kemeja biru, menunggu Buni dan Ketua Pengacara datang.
Tak langsung masuk ke ruang sidang, Buni dan dua orang kuasa hukumnya berjalan menuju kantin, menyapa beberapa orang kuasa hukum lainnya. Buni, yang terlihat santai memakai kemeja batik biru berlengan pendek tampak riang dan tak terbeban praperadilan perdananya. Ia yakin, hakim akan objektif dan memenangkan perkaranya.
Ketua Tim Pengacara Buni, Aldwin Rahadian, salah seorang yang ikut datang bersamanya mengamini hal tersebut. Seperti biasa, Aldwin tenang. Ia optimis dan yakin 99 persen praperadilan dapat dimenangkan timnya. "Ada langkah kepolisian yang unprocedural dan meloncati KUHAP pada persoalan Buni sebagai tersangka," katanya kepada tirto.id, Selasa (13/12/2016)
Poin tersebut diyakininya dapat menjadi senjata utama memenangkan praperadilan. Baginya, penetapan Buni sebagai tersangka adalah prematur, karena ia awalnya hanya dimintai keterangan sebagai saksi dengan melakukan BAP mulai pukul 10.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Namun, tanpa adanya gelar perkara terbuka dan pengujian saksi ahli, di malam harinya status Buni naik menjadi tersangka.
Fakta-fakta yang ditemukan oleh tim kuasa hukum Buni juga menyatakan proses yang selama ini dilalui Buni telah menabrak hukum acara. Selain itu, kliennya diduga menjadi korban kriminalisasi. Apa sebab?
Aldwin membeberkan, sebagai kuasa hukum ia merasa ada proses yang terlewati dalam hal ketidaksesuaian hukum acara dan peraturan, sehingga perlu diuji lewat praperadilan. Pertama, Buni diduga memotong video dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok dari durasi lebih dari 1 jam menjadi 30 menit. Kedua, dituduhkan telah memotong kata "pakai." Ketiga, dituduhkan telah membuat ujaran kebencian lewat caption yang dibuat dalam video.
"Apa yang dituduhkan dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE ini tidak main-main," ujarnya.
Padahal, menurut Aldwin, Buni hanya mengunggah ulang video yang dari akun Facebook NKRI, yang setelah ditelusuri keaslian video tersebut, didapatkan dari akun resmi pemprov DKI. Selain itu, caption yang dibuat Buni, dianggap hanya mengajak masyarakat untuk berdiskusi dengan menampilkan kalimat:
"[...] kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini."
Dengan yakin, ia menantang pelapor menanyakan rentetan prosedur yang diterapkan ke Buni kepada ahli hukum pidana. "Pasti ada hal yang dianggap unprocedural parsial, tanya saja Edi Setiadi atau Prof. Romli," kata Aldwin.
Sambil berjalan ke arah ruang sidang, Aldwin melanjutkan analogi bagi kliennya: "Seperti menangkap orang yang melaporkan maling hanya karena dianggap membuat gaduh. Aneh."
Dalam praperadilan ini, ia berharap adanya perlakuan yang adil bagi Buni, sama halnya seperti yang dilakukan pada gelar perkara Ahok.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara