Menuju konten utama

Kriminalisasi Pencandu Narkotika Bikin Lapas Padat

Pencandu narkotika semestinya mendapatkan hak rehabilitasi demi mengurangi segunung masalah di penjara.

Kriminalisasi Pencandu Narkotika Bikin Lapas Padat
Pasien rehabilitasi narkoba Badan Narkotika Nasional Provinsi Jateng mengikuti pelatihan membatik di Balai Pelatihan Koperasi dan UMKM di Semarang, Selasa (18/4). ANTARA FOTO/R Rekotomo

tirto.id - Penjara di Indonesia kelebihan kapasitas 55 persen atau 101.266 jiwa. Dari angka itu, ada 31 persen narapidana dan tahanan korban yang jadi pengguna narkoba.

Dari Sistem Database Pemasyarakatan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM, Juni 2017, luas bangunan penjara di Indonesia sekitar 227 hektare. Luas ini tak melampaui luas lahan dua kampus besar di Indonesia: Luas lahan Universitas Indonesia 320 ha dan Institut Pertanian Bogor 250 ha.

Ada 6.115 jiwa penghuni yang masih kecanduan narkoba dan menjalani terapi metadon. Di sisi lain, dari April-Mei 2017, ada 236 tahanan meninggal dunia akibat kelebihan kapasitas penghuni penjara. Selama tiga bulan itu, ada 123.643 tahanan sakit.

Penjara kelebihan muatan membuat I Wayan Kusmiantha Dusak, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM, gerah. Ia menilai, salah satu biang masalahnya pada pengguna narkoba. Karena itu, katanya, para pencandu narkoba bak "sampah yang dilimpahkan" kepadanya dari proses peradilan.

“Ya, kami namanya tempat sampah, ya kami terima saja. Kami enggak bisa menolak sampah,” keluh Wayan.

Padahal yang teridentifikasi sebagai pengguna atau korban penyalahgunaan narkotika dikriminalisasi. Masalahnya berakar dari UU 35/2009 tentang narkotika yang menekankan hukuman, bukan pendekatan pemulihan korban.

“Praktiknya, selama ada kriminalisasi, enggak akan bisa menjawab solusi. Kalau kita mau tuntaskan masalah narkotika, orang-orang yang punya ketergantungan diobati. Pendekatan selama ini tidak ke situ,” ujar Ajeng Larasati dari LBH Masyarakat.

Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menambahkan UU Narkotika membuat bias antara mereka yang memakai narkoba dan penjual. Ada pemisahan seseorang yang membawa dengan menggunakan dalam pasal 111 dan pasal 127 yang seharusnya digabung. Masalahnya, orang yang memakai narkoba juga menguasai atau membawanya.

“Masih mengkriminalisasi pemakai,” ujar Ricky.

Pada pasal 4, penyalahguna dan pencandu narkotika dijamin mendapat rehabilitasi medis dan sosial. Ini dikuatkan dalam pasal 54 dan 127 bahwa pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi sosial. Namun, ketentuan itu dimentahkan dengan pasal 103 yang mengatur bahwa hakim "dapat" memutuskan terdakwa direhabilitasi. Ini menjelaskan undang-undang narkotika tidak konsisten.

Pencandu narkotika yang ingin mendapatkan rehabilitasi bisa secara sadar datang ke Instansi Penerima Wajib Lapor, atau biasa disingkat IPWL. Atau pencandu datang ke sana usai ditangkap polisi.

Perkara terakhir itu memunculkan dugaan kejanggalan dalam praktik polisi yang koruptif dan melanggar HAM.

Hal itu mengemuka dalam penelitian LBH Masyarakat pada Juni 2012 bertajuk “Membongkar Praktik Pelanggaran Hak Tersangka di Tingkat Penyidikan: studi kasus terhadap tersangka kasus narkotika di Jakarta". Riset berbasis metode wawancara setiap pekan terhadap 388 tahanan yang baru masuk Rutan I Cipinang, Jakarta Timur.

Riset menemukan, 193 responden dari 388 penghuni rutan (atau 49,7 persen) mengaku tidak menerima surat perintah penangkapan.

Secara keseluruhan, 264 responden mengalami kekerasan fisik, 269 responden mengalami kekerasan mental, dan 60 responden mengalami kekerasan seksual.

Dari angka itu, ada irisan dari responden yang mengalami kekerasan ganda. Hanya 82 responden (21 persen) yang sama sekali tidak mengalami kekerasan saat ditangkap oleh polisi.

Dari hasil penelitian itu, kita patut curiga bagaimana mekanisme operasi aparatur negara menangkap mereka yang dicurigai terkait kasus narkotika.

Seluruh aturan itu tercantum dalam Peraturan Kepala BNN 3/211 tentang Teknik Penyidikan dan Penyerahan di Bawah Pengawasan, Peraturan Kepala BNN 4/2011 tentang Teknik Penyidikan dan Pembelian Terselubung, serta Peraturan Kepala BNN 5/2011 tentang Petunjuk Teknis Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana dan Presekusor Narkotika.

Namun, ketiga peraturan ini dirahasiakan oleh BNN. Padahal, di Filipina, terdapat aturan serupa. Bedanya, aturan ini bersifat terbuka dan berpatok pada aspek HAM dan transparansi kerja aparat. (Filipina, bagaimanapun, bukan lagi jadi teladan negara yang berhasil menangani kasus narkoba sejak Rodrigo Duterte berkuasa dan main tembak dalam "perang melawan narkoba.")

Di Filipina, aturan itu terkait standar prosedur guna melakukan buy bust operation—operasi aparat dengan cara melakukan penyamaran dan membeli narkotika. Tujuannya untuk memancing penjual narkotika.

Aturan ini juga merinci teknik penjebakan, penyamaran, mengail informasi sebelum dan sesudah operasi. Ia disertai sanksi jika aparat negara menyalahgunakan wewenang atau melanggar aturan.

LBH Masyarakat sempat beradu argumen di Komisi Informasi Pusat melawan BNN. Tujuannya, agar ke depan praktik penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus narkotika menjunjung hukum, dilakukan secara sah. Selain itu, ada segudang kasus korban rekayasa atau penjebakan demi mengejar target penangkapan atas kasus narkotika.

“Banyak kasus di mana orang yang ditarget bukan penjual. Jadi didekatin sama perempuan, minta tolong dibelikan. Akhirnya, orang komunitas ditangkap. Dia bermain dengan polisi. Cepu menjebak tapi malah lepas,” jelas Ajeng.

Permohonan LBH Masyarakat dikabulkan majelis KIP, tetapi dalam peraturan Undercover Buy atau penyamaran terselubung ada beberapa pasal yang disensor. Beberapa di antaranya yang diberikan tapi dihilangkan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 3 sampai pasal 11, dan bagian lampiran.

“Dapat, tapi kontennya distabilo hitam. Dihitamkan supaya tidak bisa dibaca,” keluh Ajeng.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono menilai, tahapan usai penangkapan kerap jadi celah menjaring harta pencandu.

Biasanya pola yang dipakai: orang yang seharusnya terkena pasal 127 dan bisa direhabilitasi, dijerat dengan pasal 111 yang kemungkinan besar dipenjara.

Karena, menurutnya, UU Narkotika labil dan jika direvisi bakal menuntaskan masalah utama problem narkotika.

“Jadi, banyak kasus ada praktik di bawah tangan agar si pencandu kena pasal 127. Penyidik paling enggak mau pasal 111, pasal itu disimpan untuk negosiasi. Biasanya artis,” ungkap Widodo.

infografik HL Indepth Narkoba BNN

Palu Hakim antara Rehabilitasi dan Penjara

Jalur terakhir untuk mendapat rehabilitasi tergantung ke mana arah palu hakim di pengadilan. Hakim seharusnya menganggap pencandu sebagai korban.

Fondasinya ialah Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No. SE-002/A/JA/02/2013 pada saat penuntutan, dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 dan 4 tahun 2010 saat vonis di pengadilan.

SEJA dan SEMA memuat gramatur atau ambang batas jumlah maksimal pemakaian narkotika dalam satu hari. Jika di bawah gramatur, seseorang patut direhabilitasi. Namun, Jaksa Penuntut Umum dan hakim kerap tak memedulikan kedua pedoman itu.

“SEJA dan SEMA itu konsepnya enggak yakin kalau pencandu masuk Lapas tidak bisa rehabilitasi. Polanya: gimana agar semua pengguna kena. Harusnya pola pikirnya pencandu adalah korban,” ujar Widodo dari ICJR.

Padahal, jika SEJA dan SEMA dipatuhi, kelebihan kapasitas penghuni penjara mampu dikurangi. Penjara akan steril dari praktik pembuatan pabrik narkotika. Anggaran negara pun bisa dihemat. Selain itu, pengguna yang perlu metadon untuk memutus dari ketergantungan narkotika bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.

“Di rutan khusus narkotika kadang metadon enggak datang. Artinya, mulai dari nol lagi,” ujar Widodo.

Penelitian ICJR menyimpulkan, niatan dan semangat SEMA maupun SEJA terkait penempatan korban penyalahgunaan narkotika gagal. Kegagalan ini "sudah sangat terlihat" saat proses penyidikan dengan semangat memenjarakan pelaku penyalahgunaan narkoba.

Itu tertuang dalam riset ICJR bertajuk “Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Peradilan: implementasi SEMA dan SEJA terkait penempatan pengguna narkotika dalam lembaga rehabilitasi di Surabaya,” yang terbit Mei 2016.

Penelitian itu memeriksa putusan PN Surabaya antara 2014 hingga 2015. Lalu disaring berdasarkan kriteria SEJA dan SEMA. Beberapa di antaranya: Pelaku tertangkap tangan, diadakan uji laboratorium dan hasilnya positif, didapatkan narkotika dengan jenis dan bobot sebagaimana diatur dalam SEMA, dan tidak ditemukan bukti pelaku terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Dengan kata lain, seluruh pelaku dalam putusan ini dapat diasumsikan pengguna narkotika. Sesudah disaring, ada 32 putusan.

Dari hasil studi itu, mayoritas tuntutan JPU atas terdakwa adalah pidana penjara (90 persen), dan hanya 10 persen yang menuntut direhabilitasi.

Sedangkan hakim hanya memutuskan tiga atau 6 persen dari seluruh putusan untuk rehabilitasi. Ketiga putusan rehabilitasi itu terkait terpidana anak.

Selain itu, barang bukti yang diajukan dalam pengadilan cenderung ganjil, tidak mengacu pada gramatur.

“Misalnya ditemukan narkotika golongan I satu gelas kecil, satu plastik, satu panci, satu bungkus linting,” ujar Widodo.

LBH Masyarakat pernah melakukan penelitian soal acuan hakim dalam memutuskan terpidana narkoba untuk menjalani rehabilitasi. Penelitian ini bertajuk “Di Ujung Palu Hakim: Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di Jabodetabek 2014,” terbit pada Maret 2016.

Penelitian itu menemukan, hanya 28 dari 522 putusan pada 2014 dari sembilan pengadilan negeri di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi memenuhi kriteria SEMA 4/2010. Dari 28 putusan itu ada 4 persen hakim menjatuhkan vonis penjara dan denda, 25 persen penjara, dan 71 persen rehabilitasi. Kecenderungan hakim saat itu patuh pada Surat Edaran Mahkamah Agung.

==========

Keterangan foto: Pasien rehabilitasi narkoba BNN Provinsi Jateng mengikuti pelatihan membatik di Balai Pelatihan Koperasi dan UMKM di Semarang (18/4). ANTARA FOTO/R Rekotomo

Baca juga artikel terkait NARKOBA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam