Menuju konten utama

KPU Akui Pilkada 2018 dan Pilpres Belum Bisa Pakai e-Voting

Kajian yang selama ini dilakukan KPU baru memungkinkan untuk dilakukannya e-rekap atau rekap elektronik, belum mencapai penerapan e-voting.

KPU Akui Pilkada 2018 dan Pilpres Belum Bisa Pakai e-Voting
Seorang pelajar keluar dari bilik suara usai memilih ketua OSIS dengan sistem e-voting pada kegiatan Pemlihan Ketua Umum OSIS (Pemilos) di SMK 2 Solo, Jawa Tengah, Senin (27/2). Kegiatan pemilihan ketua OSIS dengan sistematika menyerupai pemilihan umum yang digagas Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut untuk memberikan pendidikan berpolitik kepada pemilih pemula serta tata cara pemilihan umum. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha.

tirto.id - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyatakan ketidakmungkinnya untuk melakukan elektronik voting (e-voting) atau pemilhan elektronik baik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Menurut dia, kajian yang selama ini dilakukan KPU, baru memungkinkan untuk dilakukannya e-rekap atau rekap elektronik.

“E-voting berarti mesin ada di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mesin itu tidak bergerak sendiri butuh saluran listrik. Pertanyaanya, apakah di semua TPS ada saluran listrik,” ujar Arief di Media Center KPU, Menteng Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2017).

Ia mengaku kajian yang dilakukan KPU menyatakan bahwa mesin di setiap TPS bisa berjalan normal, namun terkadang bermasalah dan mengalami kerusakan. Selain itu, ketika terjadi kerusakan, harus ada ahli yang berada di semua titik TPS atau, kata dia, setidaknya di seluruh kabupaten kota.

"Sehingga, sewaktu-waktu ada problem, mesin ngadat, petugas harus sudah siap. Kalau nggak siap pemilunya bisa tertunda," jelasnya.

Menurut Arief, mesin merupakan investasi jangka panjang yang harus dibayar mahal, bahkan termasuk memikirkan perawatan alat-alat tersebut untuk jangka panjang. Kemudian, KPU kabupaten atau kota harus mampu menyimpan mesin-mesin tersebut dengan baik.

“Sementara hingga saat ini masih banyak KPU kabupaten kota yang kantornya saja ngontrak. Gudang tidak punya. Alat itu harus dirawat dengan baik kalau tidak, tidak bisa digunakan pemilu berikutnya. Bisa nggak kita merawat dengan standar itu,” ujar dia.

Selain itu, perkembangan teknologi juga dianggap sangat cepat sehingga perlu adanya antisipasi mesin kedaluwarsa. Ia mencontohkan dengan smartphone yang dalam kurun waktu tertentu sudah tidak bisa lagi mendukung aplikasi tertentu. Ia takut kalau-kalau mesin yang sudah dipesan untuk e-voting kemudian tidak lagi mendukung beberapa waktu mendatang.

Dan yang terpenting, kata dia, terkait soal kultur masyarakat yang belum tentu siap menggunakan mesin tersebut dalam setiap pemilihan. “Kita akan kehilangan kultur yang selama ini dalam tanda kutip pesta di setiap TPS mereka bisa melihat 'oh sah, oh tidak sah'. Mereka bisa guyub antarwarga dan antarpemilih, mereka menyaksikan penghitungan suara. Nanti kan mereka nggak bisa lihat. Tit tit sudah masuk ke pusat,” ungkap dia.

Selebihnya, tren penggunaan e-voting di sejumlah negara sudah menurun sebab banyaknya peretasan di dalam sistem tersebut. Ia mencontohkan, penurunan tren penggunaan e-voting terjadi di Amerika Serikat dimana sebagian menggunakan e-voting sebagian menggunakan e-counting.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan tidak menutup kemungkinan menggunakan sistem e-voting di pemilu selanjutnya. Apabila diterapkan, kata dia, maka e voting akan lebih cepat dari rencana awal yang baru akan diterapkan pada Pemilu 2024.

Hal tersebut sebab pada tahun 2018, data kependudukan akan sudah siap baik yang dewasa maupun yang memiliki hak pilih.Sementara itu, KPU hanya tinggal melakukan verifikasi ulang.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2018 atau tulisan lainnya dari Chusnul Chotimah

tirto.id - Politik
Reporter: Chusnul Chotimah
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Yuliana Ratnasari