tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Wali Kota Kendari, Sulawesi Tenggara Adriatma Dwi Putra (ADP) dan mantan Walikota Kendari sekaligus calon gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun (ASR) sebagai tersangka kasus korupsi. Asrun adalah ayah dari Adriatma.
Kedua orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan 2 tersangka lain. "KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan empat orang tersangka," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Dua tersangka lain adalah Fatmawati Faqih (FF) dan Hasmun Hamzah (HAS). Fatmawati merupakan mantan Kepala BPKAD Kota Kendari sekaligus orang kepercayaan Asrun. Sementara Hasmun Hamzah adalah direktur utama PT Sarana Bangun Nusantara.
Basaria menjelaskan, kasus ini terungkap saat KPK mendapat informasi adanya penarikan uang senilai Rp1,5 miliar dari Bank Mega di Kendari, Sulawesi Tenggara. Penarikan uang dilakukan oleh pegawai PT Sarana Bangun Nusantara dan diduga diserahkan untuk Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra.
Setelah itu, kata Basaria, KPK menangkap dua pegawai PT Sarana Bangun Nusantara, yakni H dan R serta mengamankan buku tabungan senilai Rp1,5 miliar.
KPK pun langsung bergerak menangkap Hasmun Hamzah selaku Dirut PT Sarana Bangun Nusantara dan mengamankan Adriatma Dwi Putra, dan Fatmawati Faqih selaku orang kepercayaan Asrun.
Tim KPK pun memeriksa W selaku pihak swasta dan 5 orang selaku PNS di lingkungan Pemerintah Kota Kendari. Totalnya, KPK mengamankan 12 orang dalam operasi tersebut.
Adriatma Dwi Putra dan sang ayah Asrun diduga menerima hadiah dari Hasmun Hamzah. Hasmun juga diduga sering mendapat proyek di Kota Kendari sejak 2012. Tepatnya saat Asrun menjadi Walikota Kendari.
Salah satu proyek yang dipegang Hasmun Hamzah adalah proyek jalan Bungkutoko-Kendari New Port dengan nilai Rp60 miliar.
Diduga, Adriatma dan ayahnya menerima uang sebesar Rp 2,8 miliar dari perusahaan Hasmun Hamzah. Dengan rincian, sebesar Rp1,5 diambil dari bank dan Rp1,3 miliar diambil secara cash dari kas perusahaan.
Uang tersebut digunakan untuk kepentingan kampanye Asrun dalam Pilgub Sulawesi Tenggara 2018. KPK mengamankan bukti berupa buku tabungan beserta mobil yang digunakan untuk membawa uang.
Sebagai pemberi, KPK menyangkakan Hasmun Hamzah melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1.
Sementara itu, untuk penerima, Adriatma Dwi Putra, Asrun, dan Fatmawati Faqih disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto