Menuju konten utama

Asrun dan Adriatma: Potret Buram Politik Dinasti di Kendari

Dinasti politik keluarga Asrun dinilai menegasikan proses pengawasan penggunaan anggaran daerah.

Asrun dan Adriatma: Potret Buram Politik Dinasti di Kendari
Asrun dan Huqua berada di Kantor KPU Sulawesi Tenggara saat akan mendaftarkan diri untuk maju pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2018, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (8/1/2018). ANTARA FOTO/Jojon

tirto.id - Dugaan praktik korupsi yang melibatkan hubungan sedarah kembali terjadi. Kali ini giliran Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan sang ayah Asrun. KPK menangkap keduanya dalam operasi tangkap tangan pada Rabu (28/2) dini hari. "Jadi itu [penangkapan Asrun dan Adriatma dilakukan] KPK, bukan kami," kata Kabid Humas Polda Sulawesi Tenggara AKBP RM Sunarto kepada Tirto, Rabu (28/2).

Sunarto menjelaskan selain Asrun dan Adriatma, KPK juga menangkap lima orang lainnya. Ia mengatakan tujuh orang yang ditangkap sempat diperiksa KPK di Mapolda Sulawesi Tenggara. "Ada tujuh orang," ujar Sunarto tanpa merinci identitas para pelaku.

Internal KPK mengonfirmasi penangkapan Asrun dan Adriatma di Kendari. “Iya, tangkap tangan di Kendari,” kata sumber yang belum mau disebut namanya dengan alasan proses hukum di lapangan masih berlangsung.

Di jagat politik Kendari, nama Asrun dan keluarga tidaklah asing. Asrun pernah menjadi wali kota Kendari dua periode dari 2007-2012 sampai 2012-2017. Mantan Ketua DPW PAN Kota Kendari ini sekarang tercatat sebagai calon gubernur Sulawesi Tenggara didampingi kader PDIP Hugua. Keduanya mendapat dukungan mayoritas dari partai politik di Kendari yakni PAN, PKS, Gerindra, Hanura, dan PDIP.

Kuatnya pengaruh Asrun di tanah Kendari tampak dari jabatan walikota yang berlanjut ke putra keduanya Adriatma. Seperti sang ayah, Adriatma juga kader PAN. Ia menjabat sebagai Sekretaris Umum DPW PAN Sulawesi Tenggara periode 2015-2020. Hasil rekapitulasi suara KPU di Pilkada Kendari menunjukkan Adriatma dan pasangannya Sulkarnain menang dengan perolehan suara 62.025 (41%). Mereka mengungguli pasangan Abdul Rasak-Haris Andi Surahman yang memperoleh 55.769 (36,86%) dan pasangan Mohammad Zayat Kaimoeddin-Suri Syahriah Mahmud dengan perolehan suara 33.504 (22,14%).

Kuku politik Asrun tidak cuma menancap melalui anak-anaknya. Sang istri yakni Sri Yastin ialah Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Kota Kendari (2017-sekarang). Hasria, adik Asrun menjabat sebagai Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan KB Kota Kendari (2017-sekarang). Adik Asrun lainnya Askar Mahmud menjabat sebagai Kepala Bappeda Kota Kendari sejak 2013. Sedangkan Asrizal Pratama Putra, anak sulung Asrun kini menjabat sebagai Ketua Fraksi PAN DPRD Kota Kendari sejak 2015. Tahun berikutnya, Surunuddin Dangga yang merupakan paman Asrun menjadi Bupati Konawe Selatan.

Potret Buram Politik Dinasti

Penangkapan Asrun dan Adriatma menambah buram potret politik dinasti di Tanah Air. Selasa 26 September 2017 Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari dijadikan tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi oleh KPK. Rita, Ketua DPD Golkar Kalimantan Timur itu, adalah anak dari terpidana kasus korupsi Syaukani Hasan Rais (almarhum). Pada Desember 11 tahun silam, KPK menetapkan Syaukani sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Loa Kulu. Kasus korupsi ini merugikan negara hingga lebih dari Rp 15,3 miliar. Pengadilan Tipikor kemudian pada Desember 2007 memvonis Syaukani dengan hukuman penjara dua tahun enam bulan. Hukuman ini diperberat menjadi enam tahun penjara melalui kasasi di Mahkamah Agung. Namun, karena grasi yang diberikan Presiden SBY, hukumannya dipotong jadi tiga tahun.

Jumat 22 September 2016, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi mengikuti "jejak" ayahnya, Aat Syafaat (almarhum), menjadi pesakitan KPK. Iman ditangkap KPK melalui Operasi Tangkap Tangan pada Jumat (22/9) pekan lalu yang diduga berkaitan dengan proses perizinan di salah satu Kabupaten/Kota yang di Cilegon. Ayah Iman, Aat Syafaat pada 2012 lalu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas penyalahgunaan wewenang. Dirinya merekayasa pemenang lelang serta menggelembungkan alokasi dana pembangunan Dermaga Kubangsari. Atas perilaku itu setidaknya ada Rp 11 miliar uang negara yang digelapkan. Aat kemudian dihukum penjara 3 tahun 6 bulan pada Maret 2013 lalu.

Beberapa kasus korupsi besar yang melibatkan orang-orang yang memiliki hubungan darah lain di antaranya adalah proyek pengadaan alat kesehatan di Banten tahun anggaran 2011 sampai 2013. Kasus ini melibatkan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah Chasan dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana yang ketika korupsi terjadi menjabat sebagai Komisaris PT Bali Pasific Pragama (BPP). Keduanya ditetapkan KPK sebagai tersangka karena terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Atut divonis tujuh tahun penjara, sementara adiknya lebih ringan, lima tahun penjara.

Tak cuma menjerat pejabat, korupsi sedarah juga melibatkan kalangan swasta. Anggoro Widjojo seorang pengusaha ditangkap KPK karena terbukti menyuap mantan anggota Komisi IV DPR, Yusuf E. Faishal, dalam kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Kementerian Kehutanan. KPK menetapkannya sebagai tersangka pada 2014 lalu. Adiknya, Anggodo Widjojo, juga tersangkut kasus korupsi karena berupaya menghalangi penyidikan KPK terkait dengan kasus sang abang.

Ada lagi kasus yang menjerat suami-istri M. Nazaruddin dan Neneng Sri Wahyuni. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus suap pembangunan wisma atlet di Hambalang. Tahun 2016, Nazaruddin juga didakwa kasus gratifikasi dan pencucian uang. Dari dua kasus itu, ditetapkan akumulasi hukumannya menjadi 13 tahun penjara.

Sementara Neneng terbukti bersalah melakukan korupsi pada proyek pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008. Total kerugian negara dari kasus itu sekira Rp 2,7 miliar.

Kasus-kasus lain yang akan tetap diingat publik di antaranya adalah Andi Mallarangeng dan adiknya Choel Mallarangeng, serta Akil Mochtar dan istrinya Ratu Rita.

Kader-kader PAN

Selain tentang dinasti politik, penangkapan Asrun dan Adriatma juga menambah daftar kepala daerah PAN yang diciduk KPK. Dua tahun sebelumnya, 23 Agustus 2016 KPK mengumumkan penetapan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka dalam kasus korupsi pemberian izin pertambangan. Selanjutnya ada nama Gubernur Bengkulu Zumi Zola yang ditetapan KPK sebagai tersangka Jumat 2 Januari 2018. Zumi diduga menerima hadiah atau janji selama menjabat sebagai gubernur.

Peneliti kelahiran Kendari di Indonesia Budget Centre Roy Salam mengakui kuatnya pengaruh dinasti politik keluarga Asrun di Kendari. Dia mengatakan dinasti politik keluarga Asrun tak hanya menyebar di level eksekutif tapi juga legislatif. Situasi ini membuat proses transparansi penganggaran dan penggunaan anggaran tidak ada. “Elitnya jaringan keluarga jadi tidak bisa saling mengawasi, DPRD tidak kontrol, jadi korupsi mudah. Karena kebijakan itu dikuasai mereka,” ujarnya kepada Tirto.

Pengaruh kuat dinasti politik Asrun di Kendari tak lepas dari kondisi sosial politik di sana. Menurut Roy, preferensi politik masyarakat Kendari dan kota/kabupaten lainnya di Sulawesi Tenggara sangat dipengaruhi sikap politik gubernur. Sehingga ketika Nur Alam yang merupakan kader PAN menjadi gubernur, masyarakat langsung mengindentifikasi ia mendukung Asrun yang merupakan Ketua DPW PAN Kendari sebagai wali kota. “Karena masyarakat [Kendari] patronase politiknya ke gubernur,” ujar Roy.

Faktor lain yang membuat dinasti politik Asrun langgeng di Kendari menurut Roy lantaran masyarakat sudah bersikap permisif dengan isu-isu korupsi. Situasi ini menurutnya tidak lepas dari lemahnya penindakan aparat terhadap para pejabat yang terindikasi korupsi. Situasi ini diperparah dengan kerja jurnalistik insane pers yang menurutnya telah terkooptasi kepentingan para pejabat. “Baru di zaman Nur Alam gubernur, KPK menindak,” ujarnya.

Adriatma termasuk kepala daerah termuda di Indonesia dengan usia 28 tahun 5 bulan ketika dilantik pada 9 Oktober 2017. Merespons perkara kedua kadernya, PAN belum mengambil sikap. Sekjen PAN Eddy Soeparno menyampaikan, pihaknya akan menunggu "informasi dan masukan lebih akurat" terkait penangkapan dua kadernya itu. "Kami baru bisa memberikan tanggapan," kata Eddy, Rabu ini. "Kami masih menunggu informasi yang lebih detail dan komprehensif dari pengurus DPW PAN Sultra yang memonitor perkembangan masalah ini secara seksama."

calon-kepala-daerah-ditangkap-KPK-CURRENTISSUE

Baca juga artikel terkait OTT KPK atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Wijaya

tirto.id - Hukum
Reporter: Muhammad Akbar Wijaya
Penulis: Muhammad Akbar Wijaya
Editor: Muhammad Akbar Wijaya