Menuju konten utama
Kasus Praperadilan Setnov

KPK: Status Penyelidik Bukan Wewenang Hakim Praperadilan

Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menyatakan bahwa sah atau tidak sahnya pengangkatan penyelidik dan penyidik bukan objek dan kewenangan hakim praperadilan.

KPK: Status Penyelidik Bukan Wewenang Hakim Praperadilan
Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto memberikan keterangan pers sebelum memasuki ruang rapat utama gedung DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (18/7). FOTO/Ahsan Ridhoi.

tirto.id - Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setiadi menyatakan bahwa sah atau tidak sahnya pengangkatan penyelidik dan penyidik bukan objek dan kewenangan hakim praperadilan.

Hal tersebut dikatakannya menanggapi dalil permohonan praperadilan Setya Novanto yang mempermasalahkan status ganda penyelidik atau penyidik di KPK.

"Berdasarkan kewenangan praperadilan yang secara limitatif diatur, maka dalil-dalil pemohon bukan lingkup pemeriksaan lembaga praperadilan karena sah tidak sahnya pengangkatan penyelidik dan penyidik bukan objek dan kewenangan hakim praperadilan tetapi objek dan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara," kata Setiadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/9/2017).

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Cepi Iskandar menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda pembacaan jawaban dari pihak termohon dalam hal ini KPK.

Oleh karena itu, kata dia, pengujian terhadap keabsahan keputusan pimpinan KPK Nomor: KEP-572/01-54/10/2012 merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi lingkup kewenangan dan kompetensi absolut dari Pengadilan Tata Usaha Negara yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa tata usaha negara.

"Oleh karena itu permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima," kata Setiadi.

Setiadi menjelaskan bahwa lembaga praperadilan merupakan sarana pengawasan horizontal yang terbatas pada pengawasan.

"Lingkup kewenangan praperadilan dalam Undang-Undang yakni KUHAP adalah memeriksa dan memutus sah tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan pergantian ganti rugi," tuturnya.

Sebelumnya, dalam dalil permohonan Setya Novanto menyebutkan bahwa penyelidikan dan penyidikan oleh pemohon adalah tidak sah dan cacat hukum. Pasalnya, penyelidik dan penyidik dalam perkara pemohon bukan penyidik dan penyelidik yang ditunjuk sebagaimana UU karena tidak berasal dari penyelidik atau penyidik Polri atau Kejaksaan atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berwenang.

Kemudian, dalam dalil permohonan itu juga menyebutkan bahwa kedudukan sebelas penyidik Polri yang diangkat menjadi pegawai tetap KPK bertentangan dengan kriteria penyidik yang ditentukan dalam UU KPK karena status ganda sebagai pegawai tetap KPK dan anggota Polri yang masih aktif.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (e-KTP) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya. Ia diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan e-KTP pada Kemendagri.

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri