Menuju konten utama

KPK: Sanksi Etik Hakim MA Perjelas Polemik Melepaskan Terdakwa BLBI

Bagi KPK, putusan etik Mahkamah Agung menjadi titik terang kontroversi  lepas mantan terdakwa kasus SKL BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung

KPK: Sanksi Etik Hakim MA Perjelas Polemik Melepaskan Terdakwa BLBI
Juru bicara KPK Febri Diansyah memberikan keterangan pers mengenai penetapan tersangka baru pada kasus suap proyek Dinas PUPR Kabupaten Pakpak Bharat, di gedung KPK, Jakarta, Senin (23/9/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

tirto.id - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah angkat bicara soal penetapan sanksi non-palu selama enam bulan kepada hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago oleh Mahkamah Agung. Ia menilai kasus BLBI akan menemui babak baru.

"Setidaknya memperjelas beberapa kontroversi dan keraguan sebelumnya," ujar Febri kepada Tirto.

Syamsul Rakan dinyatakan bersalah secara etik oleh MA karena bertemu dengan Ahmad Yani, pengacara Syafruddin Arsyad Tumenggung. Padahal mereka tengah berperkara di Mahkamah Agung. Sanksi itu juga terkait Syamsul belum mencopot papan advokat saat menjadi hakim MA.

Febri berkata KPK cukup kaget mendengar kabar sanksi etik terhadap Syamsul. Sebab, kasus BLBI yang ditangani Syamsul merugikan negara triliunan rupiah.

"Semoga sanksi ini semakin memperjelas persoalan sebelum putusan lepas tersebut diambil di MA," kata Febri.

KPK akan mempelajari terlebih dulu mengenai pelanggaran etik Syamsul apakah terkait dengan putusan pelepasan Syafruddin. KPK juga masih menunggu salinan resmi putusan kasasi Syafruddin, eks-Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

"Kami pastikan KPK serius dan berkomitmen mengusut kasus dengan kerugian negara Rp4,58 triliun ini. Khususnya penyidikan yang berjalan saat ini dan tindak lanjut usai putusan kasasi 9 Juli 2019," ujarnya.

Syafruddin merupakan terdakwa kasus korupsi surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesoa. KPK mendakwa Syafruddin telah merugikan negara Rp4,58 triliun. Kerugian ini terkait penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Perbuatan Syafruddin telah menghilangkan hak tagih terhadap Sjamsul, yang membuat pemerintah cuma menerima Rp220 miliar dari total penerimaan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun.

Hakim pengadilan tingkat pertama mengabulkan dakwaan KPK dan memvonis Syafruddin 12 tahun penjara. Syafruddin lantas mengajukan banding, tapi putusan itu memperberat hukuman menjadi 15 tahun penjara.

Syafruddin lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 9 Juli 2019, MA memutuskan Syafruddin bebas. Namun, ketiga hakim di MA punya pandangan berbeda.

Hakim Ketua Salman Luthan menilai perbuatan Syafruddin termasuk pidana, sementara hakim anggota Syamsul Rakan Chaniago menilai perdata. Adapun hakim anggota Mohamad Askin menilai perbuatannya pidana dan perkaranya termasuk hukum administrasi.

Para hakim sepakat menyatakan bersalah, tetapi Mahkamah Agung melepas Syafruddin setelah dua hakim memandang kasus itu bukan perkara pidana.

Baca juga artikel terkait KORUPSI BLBI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Andrian Pratama Taher